02

213 26 31
                                    

Assalamualaikum, ketemu lagi sama Gamma-Mecca di hari Rabu ini🥰

🥀🥀🥀

Gamma Mahendratta, seorang anak tunggal dari pasangan Asep Abdul Kareem dan Umayah. Asep yang hanya perantauan dari Kota Kembang, terpikat dan bahkan sampai menikah dengan Umayah. Wanita asli betawi yang lemah lembut, tetapi memiliki sifat malas. Berbanding terbalik dengan suaminya yang terkesan rajin dan perfeksionis.

Dari pernikahan mereka, lahirlah Gamma. Mahendratta bukanlah sebuah nama belakang dari kedua orang tuanya, bukan juga marga. Namun, tetap terselip doa dan harapan yang tercurah pada nama itu.

Asep yang saat itu terkena PHK dan sulit mencari pekerjaan lagi, harus ikhlas saat ia ditunjuk menjadi seorang marbut. Yang ada dalam pikiran Asep saat itu hanya mendapat uang untuk susu sang anak, jadi mau apapun itu pekerjaannya, akan Asep kerjakan asal halal. Dari sana Asep memboyong Umayah dan Gamma bayi ke sebuah rumah, yang dikhususkan untuk sang marbut. Rumah yang dibangun dari tanah wakaf warga, tepat di samping kanan dan menghadap masjid. Rumah dengan ukuran minimalis itu, menjadi istana mereka selama bertahun-tahun dan menjadi saksi seluruh tumbuh kembang Gamma.

Berbeda dengan Gamma yang terlahir dari keluarga sederhana, Mecca lahir dari keluarga yang bisa dibilang memiliki ekonomi menengah ke atas. Gadis itu pindah ke daerah Gamma saat usia mereka delapan tahun, semenjak saat itu Gamma dan Mecca cukup dekat. Rumah mereka pun hanya terhalang beberapa rumah saja.

Ayah Mecca adalah seorang pegawai PLN, sedangkan sang bunda adalah guru taman kanak-kanak. Siang hari Gamma dan Mecca terkadang belajar bersama di rumah Mecca, lalu sore harinya mereka mengaji bersama di masjid.

Gamma awalnya baik pada Mecca, tetapi tingkahnya berubah seratus persen setelah mereka kembali dekat di kelas tiga SMP. Usil, selalu mencari masalah pada Mecca. Namun, over protektif pada gadis itu. Gamma sampai mengatakan, "Nggak ada yang boleh gangguin Mecca, kecuali gue."

Pemuda itu selalu berada di sekitar Mecca, Gamma sampai ikut kemanapun Mecca bersekolah. Dari sekolah menengah atas di SMA Cendrawasih Jakarta, sampai ke Universitas di UIN Syarif Hidayatullah. Hanya saja, mereka selalu berbeda jurusan. Saat Mecca masuk IPA, Gamma masuk IPS. Saat Mecca masuk Fakultas Ekonomi dan bisnis, Gamma justru masuk Sanis dan Teknologi. Akan tetapi, semua itu tak pernah membuat mereka jauh. Keduanya justru semakin dekat, bahkan saling membutuhkan. Tanpa sadar Mecca selalu bergantung pada Gamma, begitu juga Gamma.

Hari-hari mereka selalu dihabiskan dengan pertengkaran, tetapi juga kepedulian. Mecca yang memiliki paras manis, selalu menjadi incaran para mahasiswa. Entah itu kakak tingkatan mereka, atau adik tingkatannya. Gamma tidak pernah melarang Mecca berpacaran, sebab ia tahu gadis itu akan sulit untuk dinasehati saat sedang jatuh cinta.

"Tai kucing aja yang asem bakal Mecca jadiin pengharum ruangan, kalo lagi jatuh cinta." Gamma akan mengatakan hal itu saat kebodohan Mecca tentang cinta kembali terulang, sebab memang itu faktanya.

Mecca tipikal gadis yang akan mencintai dengan sepenuh hati, bukan setengah-setengah. Gamma sudah merasakan itu, karena dulu hubungan mereka selesai oleh ulah Gamma sendiri. Andai dulu Gamma tidak merajuk perihal ikan Gupi, mungkin sampai sekarang mereka masih tetap menjadi sepasang kekasih.

Padahal Mecca sering disakiti oleh beberapa pria, terbukti sudah berapa banyak pemuda yang masuk rumah sakit karena ulah Gamma.  Akan tetapi, gadis itu tak memiliki rasa trauma sedikit pun. Hari ini bisa saja Mecca menangis, mengunci diri di kamar dan menghabiskan banyak tisu karena disakiti. Bisa saja satu bulan kemudian, dia sudah kembali tersenyum riang dan dekat dengan pemuda lainnya. Itulah Rumaisya Al-Mecca Edelweis, gadis yang selalu menjadi ratu di hati Gamma.

"Assalamualaikum, Pak," sapa Gamma saat ia selesai memarkirkan motor semilyar umatnya.

Asep yang sedang membersihkan langit-langit masjid pun menghentikan sejenak pekerjaannya, ia menoleh pada sang putra yang datang tak sendiri. "Waalaikumsalam, udah pulang lu, Tong?"

"Udah, Pak. Ya kali wujud Gamma di sini, belum pulang. Nggak usah kadang-kiding, Pak," ujar Gamma.

Ia simpan ransel pada ubin masjid, lalu gegas membuka sepatu Vans-nya. Selesai dengan semua itu, Gamma segera mengambil alih pekerjaan sang bapak.

"Sini! Biar Gamma aja yang kerjain, Bapak istirahat aja. Gamma udah bawa pasukan, tuh," tunjuknya pada dua pemuda yang ikut bersamanya itu.

"Eh, Kav, Dim, lu pada ngikut lagi kemari?" sapa Asep pada dua teman putranya, yang ia kenal dari Gamma menjadi mahasiswa baru di UNI Syarif Hidayatullah.

"Iya, Pak, biasalah kita pan tiga serangkai. Jadi, kemana-mana harus bareng," tutur Kavian sambil menyalami Asep.

Mereka memang sering ke sini, apalagi saat ketiganya sama-sama menyusun skripsi. Mereka akan diam seharian di masjid, berkutat dengan buku, laptop serta yang lainnya. Ketika anak muda lain memilih kafe sebagai tempat yang nyaman untuk menyusun skripsi, Gamma dan kedua temannya lebih memilih Masjid yang katanya memiliki angin surga.

Suasana masjid itu memang terasa sejuk dan tenang, beberapa pohon besar dan rindang menjadi penyebabnya. Belum lagi tanaman hias yang selalu Asep rawat, menjadikan masjid itu tepat ternyaman. Apalagi di sore hari, banyak anak kecil yang bermain sembari menunggu guru ngaji mereka datang.

"Cih, kalo gue ke neraka lo berdua mau ikut bareng juga sama gue?" ucap Gamma sinis, dengan tangan yang mulai menggerakan sapu panjangnya.

"Dih, sirik aja lo!" timpal Kavian.

Dimas hanya menggeleng. Ia ikut menyalami ayah sahabatnya itu, seraya menyodorkan sebuah plastik hitam. "Bapak udah makan? Dimas bawain ketoprak Mang Subur buat Bapak."

"Wah, makasih, ya, Tong." Asep mengambil plastik hitam itu, lalu berbisik. "Temen lu berdua ngapa?"

"Biasa, Pak, si ikan gupi punya jantan baru," celetuk Kavian.

"Ikan gupi? Jantan?" Pria paruh baya itu menautkan kedua alisnya.

Kavian berdecak. "Ck, si Mecca, Pak. Anak gadis Bapak."

"Eleh, gelo sugan! Masa anak gadis Bapak disamain sama ikan hias." Keluar lah bahasa daerah dari mulut bapak-bapak berusia enam puluh sembilan tahun itu. "Eh, tapi beneran Neng Mecca punya jalu baru?"

Dimas terkekeh-kekeh. "Iya, Pak. Sebenernya cowoknya masih cowok tiga bulan yang lalu, tapi anak Bapak keki gara-gara diingetin kalo Mecca udah ada yang punya."

Gamma yang sedari tadi menyimak pembicaraan tiga pria berbeda usia itu pun gerah sendiri, ia mengalihkan atensinya dari langit-langit masjid ke arah Kavian dan Dimas. "Lo berdua mau bantuin gue, apa mau gibah sama Bapak Asep bin Kareem itu?"

Bukannya marah, Asep malah menggeleng. Gamma terkadang setidak sopan itu padanya, tetapi ia tahu putranya hanya bercanda. "Lo bertiga beresin, deh, gue mau makan dulu. Dan buat lo, Gam. Mending lo cari cewek lain aja, masih banyak cewek yang mau ame lo. Kalo Neng Mecca nggak mau jangan dipaksa, malu juga kita sama orang tuanya, Gam. Kita udah banyak nyusahin mereka, masa lu mau bawa anak semata wayangnya sengsara bareng sama lu."

Gamma menghela napas. "Iya, Pak, Gamma inget, kok."

🥀🥀🥀

200 Days || Xie Junze ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang