10

54 8 6
                                    

🥀🥀🥀

Gamma benar-benar menepati ucapannya, ia menunjukkan sikap layaknya seorang pria yang mencintai wanitanya. Gamma yang memang sedari awal selalu ada untuk Mecca, kini lebih-lebih lagi. Tak jarang sehari sampai tiga kali pria itu datang ke rumah Mecca, untuk mengantarkan makanan. Dari sarapan, cemilan dan makan malam. Meski Gamma sibuk mengantarkan paket, ia tetap menyempatkan mampir, atau sekedar menyimpan makanan di pagar rumah gadis itu.

Mecca sempat melarang, tetapi Gamma tetaplah Gamma. Ia malah menyuruh Mecca diam. "Cukup rasain sampe lo percaya kalo gue itu bener-bener cinta sama lo!"

Sebulan, dua bulan, sampai tiga bulan berlalu. Gamma tetap sabar menunggu, walaupun belum ada kepastian dari Mecca. Wisuda yang selama ini Gamma tunggu-tunggu sudah mereka lewati, dunia kerja yang sesungguhnya sudah menunggu mereka. Gamma dengan setia menemani Mecca ketika gadis itu membuat lamaran, mengantarnya menyebar cv bahkan Gamma sampai rela menemani Mecca galau saat gadis itu tak diterima di perusahaan impiannya.

Gamma sendiri masih tetap menjadi seorang kurir, ia cukup bersyukur memiliki pekerjaan yang halal. Sebab perusahaan tempatnya magang dulu belum memiliki lowongan, jadi ia harus bertahan dengan pekerjaannya yang sekarang.

"Lo mau ngelamar kemana lagi?" tanya Gamma saat melihat meja belajar Mecca kembali dipenuhi hvs serta amplop coklat.

"Kemana aja, yang penting gue nggak jadi beban orang tua sama lo lagi," celetuk Mecca.

Gamma berdecak mendengar ucapan Mecca. "Lo berlebihan, siapa yang bilang lo beban gue?"

"Tuh, buktinya," ujar Mecca sambil menunjuk ke arah tiga plastik bening di tangan kanan Gamma.

"Ini?" Gamma mengangkat tangan yang memegang tiga plastik itu. "Ini yang lo bilang beban? Kayaknya lo kelamaan ngejomblo jadi rada stres, ya?"

"Enak aja!" Mecca jelas tak terima.

Pemuda yang mengenakan jaket parka itu terkekeh-kekeh, lalu mendekat dan menempelkan salah satu plastik yang berisi es teh hijau lima ribuan pada pipi Mecca. "Mending kita pacaran, aja, daripada mental lo makin kena."

Mecca jelas kaget, ia menjauhkan cup es itu dari pipinya. "Dih, ogah."

Tawa Gamma memenuhi kamar mecca, ia sangat senang melihat Mecca yang misuh-misuh karena ulahnya. "Serius, Ca, lo mau ngelamar kerja kemana lagi?"

"Perbankan," sahut Mecca singkat.

"Emang ada loker?" Gamma mendudukan tubuhnya di ranjang Mecca, sambil memakan cakue yang ia bawa.

"Kata temen gue ada, makanya gue mau cobain ke sana," papar Mecca, lalu menoleh pada Gamma. "Lo bilang itu buat gue, kenapa malah lo makan sendiri?"

"Lah, gue kira lo kagak mau. Daripada mubazir, ya, mending gue makan, kan?" kata Gamma di sela aktivitasnya memakan cakue.

"Wah, bener-bener ini anak." Mecca bangkit dan melangkah ke arah Gamma. Ia segera mengambil plastik-plastik dari tangan Gamma, lalu melihat isi plastik lainnya. "Ini punya gue! Awas lo makan lagi!"

"Dih, posesifnya. Bagi dikit, kek, Neng. Gue juga laper ini," ucap  Gamma.

"Laper, tuh, makan nasi. Bukannya makanin jajanan gue," sinis Mecca.

Gamma terkekeh-kekeh, lalu bangkit. "Yok, lah, makan. Gue udah beli ayam richesee abal-abal itu di bawah."

"Richesee abal-abal?" Mecca sedikit tidak mengerti. "Emang ada?"

"Ada, tadi pas nganterin paket nggak sengaja gue tau. Rasanya, sih, mayan. Nggak terlalu beda sama ayam richesee asli, cuma yang ini masih home made. Harganya juga jauh beda, mau nyobain nggak? Kalo nggak mau, gue bawa ke rumah Kavian aja," jelas Gamma.

200 Days || Xie Junze ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang