9. Latgab TNI

555 61 42
                                    

"Kiran!"

Satu keluarga di dalam ruang keluarga tersentak mendengar suara keras dari arah teras. Tak lama, pintu terjelebak dengan kuat. Memunculkan Cakra dengan wajah piasnya di sana. Lelaki itu langsung memindai ruangan, lantas berlari ke arah putri bungsunya. Mendekapnya erat-erat tanpa bicara apa-apa.

Kiran cukup tersentak, haru sesaat mendengar gumaman rasa syukur Ayahnya. Kali ini, segala amukan Cakra lenyap. Kalah oleh rasa cemas yang tak terkendali. Setelah cukup lama puas memastikan putrinya dalam kondisi utuh, Cakra duduk di sisi Kiran dan terdiam.

Abram telah melaporkan situasinya dengan detail. Bahkan mengurus para perampok itu ke kepolisian.

"Kamu nggak apa-apa, Kiran?" tanya Cakra, suaranya masih bergetar.

Kiran mengangguk pelan, dia kembali memeluk Cakra dari samping. Kemudian Cakra mengecup kepalanya lama.

"Temen-temen kamu bagaimana?"

"Zeze dan Sophia baik-baik, mereka nggak ada yang luka. Tapi Zeze kayaknya masih syok."

Cakra menghela nafas. Wajar Reze masih linglung usai dijadikan sandera. Moncong pistol di kepalanya pasti akan menjadi kenangan mengerikan.

"Papa kan udah bilang, Kiran. Ambil tokonya jangan di tempat itu." keluar juga omelan Cakra. "Di sana masih lumayan sepi. Gimana kalau Mayor Ram tak ada di sana? Ya tuhan..."

Cakra tak bisa membayangkan nasib putrinya. Perampok itu membawa senjata api. Mereka tak main-main dengan targetnya. Tapi yang jadi pertanyaan Cakra sejak awal, sebenarnya dia penasaran atas dasar apa Abram mengunjungi toko pernak-pernik putrinya.

"Pah, ngomelnya nanti saja. Lagipula siapa yang tahu bakal kejadian kayak gini." Aurora menyela pembicaraan.

Hera nyaris tak berkata apa-apa sebab kaget oleh kabar adiknya. Ia melirik Kiran lekat, lantas nyeletuk. "Pah, gimana kalau Kiran dinikahin aja sama Abram."

Sekala— suaminya, melongo. Aurora terdiam kaget. Cakra menganga atas saran putri pertamanya itu. Lantas, Hera dengan cuek melanjutkan.

"Abram udah lolos seleksi mantu dari Papa, kan? Melihat Papa biarin Abram bawa Kiran dari Bandung ke Jakarta, itu udah lampu neon untuk lelaki itu, kan?"

Kiran berdiri seketika, bulu kuduknya berdiri. Ia menggeleng kuat-kuat, menatap horor sang kakak. "Nggak mau! Kiran nggak mau punya suami kayak Papa!"

Gantian Cakra yang melotot. "Emang kenapa sama Papa?!"

Kiran meringis, maksudnya bukan benar-benar begitu. "Kiran nggak mau punya suami tentara!"

Cakra mendengus keras, pernah mendengar kalimat itu dari mulut Hera. Dan Kiran kini mewarisinya.

"Makin kamu tolak, makin jodoh kamu sama tentara!" Cakra menyahut ketus.

"Ih! Nggak mauuu!" Kiran sampai bergidik membayangkan dirinya menjadi istri lelaki berseragam.

Hera tertawa terbahak-bahak sampai bayi dalam gendongannya menangis, perempuan itu teringat dengan dirinya sendiri yang juga sama ogahnya dengan Kiran. Untung Hera dapat menggaet cucu konglomerat kedua di Indonesia. Jadi, nggak nyesel deh dia nolak cowok berpangkat yang waktu itu!

"Kiran pokoknya belum mau menikah! Kiran masih setia sama Haechan!"

***

Keesokannya, Kiran bersama Hanan yang tak ada jadwal terbang mematuhi panggilan kepolisian untuk bersaksi. Ia melihat Abram dan rekannya di sana, Sophia juga datang dengan Reze.

Unexpected HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang