Selamat datang semester 6. Selamat datang tahun 2003.
Rendra sedang membereskan kamar kosnya mumpung libur dan sedang tidak ada kegiatan berarti. Dia juga sudah resign dari restoran tempatnya bekerja saat malam, karena ingin cepat lulus, dan mulai fokus ingin berbisnis.
Rendra memasang fotonya, di samping tempat tidurnya. Ada 6 orang dalam foto itu. Adhit, Satya, Pak Sigit, Pak Agam Mulyana, Pak Adam Witjaksono, Pak Aldi Rianto. Kumpulan orang 'kurang kerjaan'. Capek-capek berbisnis, kok malah dipakai buat orang lain. Begitu komentar beberapa orang. Rendra tersenyum sendirian.
Tak mengapa, sudut pandang orang memang berbeda. Dan tidak mengapa kalau mereka berenam dibilang kurang kerjaan, hanya karena mereka ingin berarti.
Lihatlah disekitar, ada banyak anak-anak yang kurang beruntung, baik dalam hal keuangan, keutuhan keluarga, dan lain-lain. Paling tidak, panti itu nantinya bisa menampung mereka, yang kurang beruntung dalam aspek itu, supaya mereka bisa punya akses pendidikan, kesehatan, dan aspek lain yang mereka perlukan.
Foto itu, juga jadi tonggak bersejarah dalam hidup Rendra. Proyek pertamanya sukses. Sekarang, dia punya beberapa database, tentang EO, PO Bus, Catering, dll. Ini modal. Sementara ini, dia membantu Pak Sigit sebagai bagian marketing. Membuat banyak waktunya diluar jam kerja tersita untuk belajar dan mencari 'pasar'.
Lamunannya terganggu karena ada yang membuka pintu kamar kosnya. Ternyata Dharma. Sedang main ke teman sebelah kamar Rendra. Dan sekarang mengajaknya jalan-jalan. Rendra mengiyakan. Mau diculik ke sanggar seni universitas pun Rendra mau. Mengharap malah.
"Koen nggak bosen ta, dadhi peraih IPK tertinggi ben semester? Tak ajari ngeluyur ben rodok dadhi menungso yo?" goda Dharma sambil menghidupkan motornya. (Kamu nggak bosan kah, jadi peraih IPK tertinggi terus tiap semester? Aku ajarin ngeluyur biar agak jadi manusia ya?).
Rendra tertawa kecil. Belum tahu saja Dharma, bahwa Rendra akhir-akhir ini jarang keluyuran di kampus karena sibuk ngeluyur cari duit.
"Ayo ke sanggar ae Dhar, ajari aku duniamu. Mumet aku karo duniaku." Dharma reflek melihat spion, begitu aman langsung berbelok kiri, ke arah sanggar universitas.
"Tenan? Biasae misuh lek tak jak neng sanggar?" (Beneran? Biasanya mengumpat kalau aku ajak ke sanggar?)
"Tenan." (Bener)
Dharma tidak komentar lagi. Menurut saja ke sanggar. Memang kemungkinan besar, orang-orang didalam sana sudah banyak berganti. Rendra tak peduli. Karena tempat ini, pernah memberinya arti yang dalam. Melihat senyum perempuan yang entah siapa. Yang kadang, hanya dengan mengingatnya saja, sudah kembali menerbitkan senyum di wajah Rendra. Seperti sekarang. Mengingatnya, yang duduk di sudut sana, bermain gitar, dan menyanyi bersama. Suatu kekhilafan yang mencengangkan.
Rendra ikut Dharma turun, mendekat ke arah teras sanggar, beramah tamah sebentar, lalu membiarkan Dharma lanjut ngobrol dengan mereka. Rendra menimpali, hanya bila perlu.
Yang sekarang Rendra pikirkan adalah, menggiring pembicaraan, supaya nyerempet ke arah perempuan yang entah siapa itu.
Bagaimana caranya? Yang tidak mencolok maksudnya.
"Eh Ren, nyanyi lagi gih, daripada bengong ntar kesambet." pinta seseorang, berarti orang lama, buktinya masih inget kejadian berbulan-bulan lalu itu.
"Saya nyanyinya justru pas kesambet aja malah." jawab Rendra sambil tersenyum lebar. Dalam hati, berterima kasih pada si penanya barusan, karena sudah sedikit banyak membuka jalan.
"Oo ya wes, silakan ngelamun dulu sampe kesambet." balas si yang minta tadi, diiringi tawa kecil yang lain.
"Yang bikin saya kesambet ya gegara ada yang bikin kepancing sih."
Si penanya tadi termenung sebentar, menerawang, mengingat-ingat. Siapa yang memancing?
Dharma menunduk, memilih pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Oh, Andin?" seru si penanya itu. Yang lain manggut-manggut. Itu paling masuk akal. Dia terbius pesona Andin.
"Namanya Andin?"
Mereka kompak mengangguk.
"Nggak pernah nanya Dharma?"
Mana mungkin, Rendra sejak saat itu, tiba-tiba sibuk dengan belajar bisnisnya, jadi interaksi dengan Dharma hanya sebatas tugas kuliah saja. Jadi Rendra menggeleng.
"Namanya Andin, bentar tak telepon dulu, sapa tahu bisa kesini." Wah ini baru mantap. Rendra nyengir.
"Apa nggak ngganggu Andin?" tanyanya basa basi. Aslinya mengharap.
"Halah, biar aja. Kengangguren kok dia, makanya S2 segala." Rendra kesedak ludahnya sendiri. Gawat. S2?
"S2?"
Mereka mengangguk santai. Ada yang merokok, ada yang membaca koran, dan lain-lain.
"Tua dia itu. Maksudnya dibanding kamu." jawabnya lalu terkekeh. Dharma tersenyum kecut. Itulah salah satu alasan dulu kenapa meski Dharma tahu temannya jatuh cinta pada Andin, Dharma tidak berniat mengenalkannya.
"Cemerlang dia. Kuliah S1 nya cuma 3,5 tahun, langsung lanjut S2. Reputasinya itu yang secara tidak langsung mendongkrak citra kami para orang seni."
Baik. Beda usia yang lumayan, dan si cewek yang lebih tua. Bukan masalah. Karena masalahnya, Andin mau atau tidak bersama Rendra?
Rendra geleng-geleng sendiri. Kenapa mendadak rasanya dia jadi orang yang kurang jelas begini?
"Wes, iso jare." (Udah, bisa katanya).
Semoga binar bahagia Rendra saat mendengar itu, tidak terlalu tampak. Sekarang, ayo rileks dulu. Jangan sampe terlihat kalau sedang grogi menanti Andin.
Mereka, ada yang sepertinya sedang membicarakan terkait rencana pentas teater gabungan dari beberapa fakultas. Yang Rendra agak kaget, ternyata dari FKG (Fakultas Kedokteran Gigi) ada yang ikut. Hebat juga masih bisa membagi waktu antara kuliah dan seni. Atau mungkin yang ikut masih semester-semester awal sehingga masih punya waktu.
Dharma sudah sibuk menata tumpukan kanvas di tepi dalam ruangan. Kalau ingin melihat sisi lain Dharma, lihatlah saat dia melukis. Saat dia begitu tenggelam dalam kecintaannya terhadap seni rupa, terlihat begitu serius, tidak cengar cengir dan agak panikan seperti saat sedang kuliah. Entah, kok bisa dia pilih jurusan FKM.
Ternyata urusan menunggu Andin itu tidak perlu waktu lama, karena yang bersangkutan sedang di gedung paska sarjana, yang jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 2 kilometer.
Setelah beberapa bulan tidak bertemu, Andin masih tetap memesona, sama seperti saat Rendra melihatnya dan kesambet sampai jadi penyanyi dadakan. Ya, tapi sebenarnya mulai SMA dia sudah dibilang bersuara merdu dan banyak teman-teman band melamarnya. Tapi Rendra cukup tahu diri, suara saja tidak cukup. Gayanya yang kaku, dan pendiam ini tidak "menjual" sama sekali kalau untuk ngeband.
Beda dengan yang sedang berjalan ke teras sanggar ini. Gadis manis, lesung pipit yang menambah keindahannya, senyum ceria dan langkah anggun ini, jelas cocok mendampingi Rendra, sebagai penyeimbang dirinya yang kaku. Pas bukan, punya istri yang luwes?
Oke, Rendra, sadar dulu. Jangan mikir kejauhan. Tuh, sampai Andin lewat begitu saja dan duduk di teras sanggar bersama yang lain, dan Rendra masih termangu.
"Hei, mantan duetmu sing nggoleki mau, duduk aku." (Hei, mantan duetmu yang mencari tadi, bukan aku).
Andin tertawa lebar.
"Endi cak?"
Dan mereka serempak, menoleh ke arah Rendra, yang hanya bisa nyengir. Baiklah, pertemuan kedua yang pasti kurang berkesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cethik
General FictionCatatan perjalanan seorang Alvarendra Adibrata Adanu. Pernah mengalami kegelapan, mudah saja membuat orang menghargai kehadiran cahaya. Tapi bagi mereka yang tidak pernah mengalami kegelapan, apa mudah membuat mereka begitu menghargai cahaya, sekec...