Bab. 1. Kenyataan Pahit

54 19 40
                                    

Kejujuran memang menyakitkan, tapi lebih baik tahu diawal dari pada harus di pendam.

- Serpihan Ilalang -

💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜

Senandung lagu ulang tahun mengalun syahdu. Suasana bahagia dan haru mampu membubuhkan lengkungan manis di sudut bibir gadis yang baru saja genap berusia 17 tahun.

Gambaran keluarga bahagia, dengan kedua orang tua yang lengkap. Harmonis, tidak pernah menuntut, selalu mengerti keadaan putri satu-satunya. Tapi di hari sweat seven Ten -nya justru ia mendapatkan kenyataan pahit, yang bahkan tak pernah sedikitpun ia bayangkan. Atau bahkan orang lain duga.

"Barokallahu Fii 'Umrik Nak..." ucap Zafira, sang Bunda. Lalu memeluk erat putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Aamiin, makasih Bunda. Yeay Nana udah dewasa. Besok buat KTP ya Bund," harap Najwa.

"Emang boleh secepat itu?" cetus Firman yang langsung nimbrung bersama istri dan anaknya.

"Ih Ayah, boleh lah. Ya kan Bunda?"

"Iya Sayang, besok Bunda bakalan bantu urus."

"Cie udah 17 aja sih, putri Ayah. Mau lanjut kuliah dimana Nak?" tanya Firman sambil mensejajarkan duduknya di samping Najwa.

"Ga tahu yah pengen bebas dulu, gap year boleh gak Yah?"

"Kenapa gap year? Bukannya langsung lebih baik, nanti saat lulus kamu juga masih muda masih bisa terus lanjut studi." ungkap Firman.

"Kalau Bunda terserah kamu aja Na, tapi kata Ayah benar. Toh kalau gap year kamu mau ngapain di rumah? Kerja juga ga mungkin kan. Kita bahkan mampu membiayai kamu sampai kapan pun," sela Zafira.

"Bukan gitu Ayah Bunda, gimana ya Nana jelasinnya!"

"Coba kamu kasih alasan supaya kita bisa menerima dan mempertimbangkan keinginan kamu?"

Bukannya Firman menolak permintaan putrinya, ia hanya ingin tahu alasan dan memberikan yang terbaik untuk putri satu-satunya itu. Ia kemudian mengusap bahu Najwa, mengganggukkan kepalanya untuk menuntut jawaban dengan berusaha tenang.

"Nana pengen kuliah di Luar Negeri, dalam satu tahun gap year nanti Nana pengen mendalami bahasa asing terlebih dahulu. Supaya lebih siap dan banyak belajar dulu untuk mempersiapkan buat lanjut ke Studi," jawab Najwa sedikit takut melihat ekspresi kedua orang tuanya.

Firman hanya menganggukkan kepala, sedangkan Zafira merasa sedih dengan ungkapan putrinya.

"Apa Nana ngga mau dekat dengan kita lagi? Kenapa harus kuliah jauh-jauh?" tanya Zafira.

"Bukan gitu maksud Nana Bunda, Nana sayang kalian. Nana hanya ingin pengalaman diluaran sana, kan kalau Nana pengen pulang kan tinggal bilang. Uang Ayah kan banyak. Hehe," ucapnya diakhiri tawa. Sifat Najwa memang cenderung ke Ayahnya, mau seserius apapun pasti ada aja ending jokesnya.

"Baiklah kalau keinginan kamu seperti itu Nak, yang penting kamu bahagia," pungkas Firman dengan berat hati. Mau tidak mau Zafira pun mengangguk, mengiyakan ucapan suaminya.

"Tapi..." ucap Firman serasa tercekat tenggorokannya.

"Tapi apa Yah?" tanya Najwa. Firman menatap istrinya, meminta persetujuan yang sebelumnya sudah mereka bahas. Zafira hanya menganggukkan kepala.

Najwa bingung dengan raut muka sedih yang terpancar dari wajah kedua orang tuanya. Sebelum Firman melanjutkan ucapannya, Zafira memberikan buka berwarna hitam berpita ungu. Buku Diary yang sudah belasan tahun silam ia rahasiakan kepada putrinya.

Dear AZERBAIJAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang