4

2 3 0
                                    


Theo mengangkat sebelah alisnya, merasa terkejut karena kehadiran Emely yang datang secara mendadak tanpa izin darinya.

Theo berdiri penuh wibawa. "Siapa yang menyuruhmu masuk kedalam sini, Putri Mahkota?" ini bukan pertanyaan, melainkan sindiran secara halus.

Emely menghiraukan sindiran tersebut, dia memilih duduk di bangku yang sudah disediakan.

Kemudian bersila kaki, ia menatap dingin arah lawannya.

"Aku ingin kesepakatan."

"Untuk?" tanya Theo.

Emely tertawa sinis, dia berdiri di hadapan Kaisar yang di segani banyak orang.

"Menurut mu Yang Mulia?" tanya Emely kembali.

Theo mendorong Emely kebelakang. Merasa risih karena jarak mereka cukup dekat.

"Kau tinggal menjawab, apa susahnya?"

"Dan Yang Mulia tinggal memahami nya juga, lalu apa susahnya?"

"Kau!" Theo merasa dipermainkan. Gadis ini pandai membuatnya emosi dengan cepat.

"Huh, sudah kuduga Anda adalah Kaisar yang mudah tersulut emosi. Dengar, aku ingin kesepakatan antara  aku dan Yang Mulia."

"Berani sekali kau mengatakan hal tersebut." Theo mengambil pedang yang ia simpan dibalik jubah. Ia menyodorkan pedangnya ke leher Emely. Emely tak melawan, dia menunggu kelanjutan Theo.

Tak bisa menahan diri, Theo menggoreskan sedikit luka di lehernya. Menggoreskan dengan penuh kebencian.

"Kita belum nikah dan kau bersikap kurang ajar padaku."

"Maafkan aku." Emely tak boleh gegabah, dia membutuhkan dukungan Theo suatu saat nanti.

"Aku datang kemari untuk membahas pernikahan kita dan juga kesepakatan. Aku sudah menulis nya disini, Anda bisa membacanya."

Emely memberikan kertas hasil tulis tangannya. Dia buru-buru menulis saat ide jahat terpintas diotaknya.

"Apa-apaan ini? kau pikir kau siapa mengaturku? aku Kaisarnya disini, dan kau cuman-"

"Maaf menyela Yang Mulia, sebentar lagi aku akan menjadi Istrimu. Sebagai seorang Istri, aku berhak mengatur kehidupanmu." Jawab Emely menunduk. Ia tau Kaisar pasti marah padanya.

"Kau tulis ulang kembali kesepakatan ini. Ada beberapa yang harus ku ubah." Theo melempar kertas tadi ke lantai.

"Baik Yang Mulia." Emely mengambil kertas lain dan mulai menulis kesepakatan pertama. Menghiraukan sakit di lehernya.

"Dari siapa duluan Yang Mulia?"

"Dari mu saja,"

"Baik Yang Mulia. Kesepakatan pertama, kita tidak boleh menyimpan rasa satu sama lain."

"Mengapa? kita suami-istri sudah seharusnya itu terjadi. Kesepakatan pertama dihapus!" titah Theo.

Emely tersenyum tipis. "Apa Yang Mulia benar-benar mencintaiku?" tanya Emely.

"Eh-" Theo terdiam, dia bingung mengapa gadis itu mempertanyakan jawaban yang sudah dia berikan.

"Tidak usah berpura-pura lagi Yang Mulia, aku tau kebenarannya. Yang Mulia tidak mencintaiku," lirih Emely bersedih. Dia gadis biasa yang sakit hati di nikahi tanpa adanya perasaan. Dia gadis biasa yang ingin di nikahi dengan alasan cinta bukan politik atau hal lainnya.

Suasana menjadi canggung karena pernyataan Emely. Theo sendiri tak tau harus mengatakan apa, karena perkataan Emely benar. Ia tak mungkin berbohong lagi.

Permaisuri PandegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang