DUA bulan musim semi pun terlewati. Satoru mencoba untuk menata kembali hati dan pikirannya, terlebih ujian tengah semester sudah ada di depan mata. Melihat betapa individualisnya para siswa di kelas 2-A, membuat Satoru seakan berada di tempat yang salah. Namun, bila Satoru melihat adanya sosok gadis yang tahun lalu ia kenal, mau tak mau dirinya jadi berusaha keras untuk merasa betah.
"Gojo," ujar seseorang. "GOJO SATORU!"
Sang empunya nama akhirnya menoleh dan sontak berdiri karena terkejut. Ternyata yang memanggilnya adalah guru matematika dan kebetulan sedang mengulas ulang materi untuk persiapan ujian tengah semester.
Dengan tatapannya yang nyalang, Satoru disuruh maju ke depan untuk mengerjakan sebuah soal induksi matematika. Lebih seperti membuktikan bahwa 5 pangkat 2n + 3n - 1 dapat habis bila dibagi 9.
Satoru sedikit kelabakan karena rasa terkejutnya belum sepenuhnya musnah, padahal ini adalah soal yang mudah.
Melihat betapa kacaunya kondisi teman anehnya, langsung saja Shoko mengacungkan tangan dan mendapatkan perhatian dari sang guru saat itu juga.
Shoko tersenyum sambil menunjukkan telapak tangan di hadapan Satoru, tepatnya untuk meminta kapur yang masih berada di genggamannya.
Dalam sepersekian sekon, kapur itu telah berpindah ke tangan gadis berambut cokelat, dan Satoru diminta untuk kembali duduk di kursinya.
Satoru memperhatikan setiap gerak-gerik Shoko. Tulisan gadis itu terbilang rapi, lebih rapi daripada dirinya. Lantas yang paling penting adalah cara penyelesaian soal tersebut. Satoru merasa sangat bodoh dan tidak berguna hanya karena tak dapat mengerjakannya di depan sana.
"Jangan melamun terus makanya!" tegur Kento.
"Kata siapa gue melamun!" jawab Satoru tak terima.
"Minta diajarin si Ieiri sana! 'Kan lo dekat sama dia."
"Hah?" respons Satoru dengan suara yang membahana di tempatnya.
Secara otomatis, puluhan pasang mata langsung tertuju ke arahnya dan sang guru pun bertanya, "Ada apa, Gojo?"
"Ah, anu ... gak apa-apa, Pak. Saya cuma baru nemu jawabannya," ujarnya gelagapan.
Sumpah, Satoru panik sekali. Entah apa yang membuat jantungnya berdebar cukup kencang. Berkat ucapan Kento barusan atau justru karena responsnya sendiri yang berakhir menarik perhatian banyak orang, termasuk dengan sosok yang sedang dibicarakan?
♡♡♡
Tanpa terasa, ujian tengah semester pun berakhir. Satoru harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah manusia yang sempurna. Rasanya nyaris mustahil untuk menjadi yang paling unggul di antara yang unggul. Lagi pula, ia juga selalu berpegang teguh pada pendiriannya bahwa nilai akademik bukanlah segalanya.
Lain halnya dengan Kento yang tampak puas dengan usaha kerasnya. Begitu pun Shoko yang terlihat santai-santai saja dengan senyum tersemat di wajahnya.
"Kenapa? Kusut banget muka lo," ledek Shoko.
Satoru menggelengkan kepala. "Gue cuma merasa kayaknya gue gak cocok di kelas ini. Gak ada ribut-ributnya. Gak seru," jawab Satoru asal.
"Lo aja kalau gitu yang bikin keributan, nanti gue bantu."
"Hah? Suka ngaco, lo! Parah!"
Shoko tertawa terbahak melihat ekspresi Satoru yang berubah-ubah akibat candaannya.
"Bentar lagi musim panas. Mendingan lo rencanain liburan, jalan-jalan. Baru UTS aja lo udah stres," ujar Shoko.
"Tapi, UAS dulu 'kan? Baru libur," responsnya lesu sambil memosisikan kepalanya di atas meja.
Melihat ekspresi Satoru yang kembali muram, seketika Shoko berseru, "Ah, gimana kalau belajar bareng? Lo mau?"
"Serius?" tanya Satoru yang mendadak bersemangat.
Shoko memberi tanggapan berupa anggukan.
"Terus mau belajar di mana?"
"Di mana aja. Yang penting akses ke stasiun keretanya gampang, ya?"
Seketika Satoru memberikan acungan jempol pada gadis mungil itu.
♡♡♡
Sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, Satoru dan Shoko akhirnya sering bertemu di akhir pekan untuk belajar bersama, persiapan UAS lebih tepatnya. Untungnya saja kelas 2-A jarang mendapatkan tugas atau pekerjaan rumah sehingga mereka bisa benar-benar mempelajari apa yang harus dipelajari.
Terkadang mereka bertemu di perpustakaan kota, di restoran cepat saji, di taman, dan yang paling terakhir adalah di kediaman keluarga Satoru yang berada di Tokyo.
Benar seperti apa yang Satoru pernah ceritakan bahwa banyak sekali koleksi burung beserta kandang milik ayahnya. Shoko sampai bingung dan membatin seandainya ia adalah orang awam, pasti akan mengira bahwa dirinya sedang berada di pameran burung antik atau bahkan kebun binatang.
Suasana di rumah yang begitu megah itu pun jadi terasa ramai sebab suara kicauan burungnya saling bersahutan.
Shoko juga sempat mengira bahwa sepertinya Satoru akan kesulitan untuk tidur siang jika begini kondisinya. Namun, Shoko segan untuk bertanya demikian.
Selama di sana, Shoko disambut dengan sangat baik oleh para pekerja rumah tangga, disuguhi berbagai camilan dan minuman, bahkan disiapkan berbagai lauk untuk makan siang.
"Makan yang banyak, biar cepat besar!" ledek Satoru.
Mendengar hal tersebut membuat Shoko geram dan langsung mencubit lengan Satoru yang kini duduk bersebelahan dengannya di ruang makan.
"Satoru ... yang tinggal di rumah ini sebenarnya berapa orang, sih?"
"Hmmm, 12 orang kali, ya? Gue, ayah, juru masak, tukang kebun, tukang bersih-bersih, sopir, sama orang yang direkrut untuk ngurusin burung piaraan ayah."
"Terus ibu lo?"
"Oh, ibu di Kyoto, di rumah utama. Anggota keluarga yang lain pada tinggal di sana. Sebenarnya rumah ini dibangun cuma karena sayang aja sama tanahnya, hampir ditawar sama pemerintah gitu untuk pembangunan apalah gue gak ngerti sebelum gue lahir. Jadinya ... begini, deh."
"Ooh ... gitu," respons Shoko. "Berarti betul ya kalau keluarga lo itu yang punya toko mochi terkenal di Kyoto?"
"Gue gak tahu yang dimaksud terkenalnya ini gimana. Tapi, ya berkat usaha itulah keluarga gue syukurnya ... gak kekurangan dan bisa membuka lapangan pekerjaan untuk warga sekitar."
Shoko tersenyum dan mengangguk mendengar penuturan Satoru.
Entah mengapa, makin mengenal Satoru membuat Shoko semakin merasa bahwa lelaki itu adalah anak baik-baik, meskipun terkadang agak aneh.
"Omong-omong, liburan musim panas nanti lo ada niatan mau pulang ke Kyoto gak?" tanya Satoru.
"Eh? Lo mau ke Kyoto?"
"Rencananya gitu. Sejak naik kelas, gue belum ketemu sama ibu soalnya."
Shoko sedikit bimbang. Sebenarnya ia sangat menghindari untuk pulang ke Kyoto di waktu liburan seperti itu. Sebab Shoko tak ingin berakhir menghabiskan waktu di klinik ayahnya selama liburan. Namun, kapan lagi ia bisa bermain bersama teman sekolah di tempat tinggalnya yang sebenarnya?
"Shoko. Hei!" ujar Satoru lantaran sang gadis terlihat sibuk sendiri dengan pikirannya.
"Oh, ya .... Asalkan lo di sana temanin gue main, biar gue gak dipenjara di klinik ayah gue."
Satoru tertawa sambil mengacak rambut Shoko gemas. Lantas Shoko kembali mencubit Satoru dengan geram karena rambutnya telah diacak-acak.
"Oke. Gue bakal ajak lo main ke mana pun lo mau. Dan, kita berangkat dari sininya bareng aja, naik mobil. Biar gue tahu lokasi rumah lo di mana. Oke?"
"Ih, gue jadi enak kalau gitu."
Lagi-lagi Satoru tertawa dengan respons dan tingkah lucu gadis di sampingnya. Tidak tahu saja bahwa sebenarnya Satoru telah menahan diri mati-matian untuk tidak merusak suasana. Hati Satoru ingin meledak rasanya.
Hei, Shoko ... lo jangan gemas-gemas kenapa? batin Satoru. []
![](https://img.wattpad.com/cover/355899135-288-k574795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
『私恋してる』I'm in Love | SatoShoko (Jujutsu Kaisen)
Fanfiction[Completed] Tingkah Shoko ternyata memang benar-benar di luar nalar. Aneh, unik, apa pun itu sebutannya, pokoknya hanya Shoko seorang yang mampu membuat Satoru merasa seperti ini.