6. Ibu Mertua

110 16 4
                                    

"Mmmhhh...panas. Jangan peluk-peluk!" Nada menyingkirkan tangan yang tersarang di lingkaran perutnya, sebenarnya masih ingin memejamkan mata tapi teringat sesuatu.

Nada lantas membuka mata seketika, bangun meraba tubuhnya. Lalu memejamkan mata bernafas lega, "masih lengkapMAS!!"

Nada memegang dadanya, setiap hari selalu dibuat kaget dengan keberadaan Aras. Dipandanginya seisi kamar, Nada seperti melewatkan sesuatu.

Benar!

Di acara amal tadi!

Nada bergerak mencari sesuatu di sekelilingnya, kertasnya, kertas berharganya, dimana!

"Mas liat kertas Nada ga? Yang ada tanda tangannya itu?" Ujarnya mendapati dirinya sudah berganti pakaian.

Nada terdiam sejenak, ia teringat sesuatu, lagi, "mas Nada hampir mati tadi!!" Ujarnya histeris mengingat kembali bagaimana tiba-tiba ia kesulitan bernafas.

Dipandanginya Aras yang bergerak bangun, menunggu reaksi pria itu. "Nada diracuni mas, pasti karna cake yang di acara tadi," ujarnya lagi penuh prasangka buruk. Orang bilang yang manis-manis itu mematikan. Pantas saja, semua cemilan yang ia ambil begitu memanjakan mulut, ternyata mengandung racun. Tapi kenapa hanya Nada, kenapa hanya Nada yang teracuni.

Aras bergerak sebentar mengambil ikat rambut dari pergelangan tangan Nada, mengikat sebentar surai bergelombang perempuan itu. "Jangan sentuh laki-laki sembarangan lagi Nada." Ujarnya menyelipkan anak rambut istrinya itu.

"Kenapa?" nada mendelik sinis pada suaminya, "Mas Aras baru sekarang cemburunya, telat, Nada udah terlanjur mau cerai." Ujarnya mengembalikan lagi anak rambut yang diselipkan Aras.

Aras diam saja memandangi wajah penuh permusuhan yang dilayangkan Nada.

"Nada juga sudah bilang, latihan-pisah-kamar, tadi apa? Kenapa peluk-peluk Nada? Nada ini gak mau ya disentuh sama tangan mas yang udah meluk-meluk perempuan lain." Ujarnya memceramahi Aras berakhir terbatuk karena terlalu banyak bicara.

Nada mengambil minum sebentar untuk diteguk, bersiap mengoceh lagi namun jadi teringat kertas berisi tanda tangan idolanya lagi.

"Mas lihat kertas kecil yang isi tanda tangan tidak?" Seperti dua sifat, Nada kembali melayangkan pertanyaan dengan nada berbeda.

Nada berdiri dari ranjang, menyingkap selimut mencoba mencari potongan kertas berharganya yang jika pulang nanti akan ia abadikan di ruang tamu.

"Mas ayo! Bantuin Nada cari, jangan diam aja." Gerutunya mendorong Aras dari posisinya agar bergeser, siapa tau saja pria itu tengah menduduki kertas berharganya.

"Kembali tidur Nada,"

"Kertas berharga Nada..." gumamnya membongkar semua tumpukan bantal. Tidak memperdulikan Aras. Berharap Azriel datang menyeret pergi tuannya itu.

Nada menoleh sekilas begitu pintu diketuk, Aras turun dari ranjang untuk membuka kuncian pintu, sedang Nada lanjut mencari kertas berharganya di bekas dudukan Aras.

"Tuan besar berkunjung," Aras seketika menoleh pada Nada yang sibuk dengan kegiatannya, lalu berjalan keluar tanpa sepatah kata, menuruni anak tangga menemui sepasang kekasih yang menunggunya di sofa besar di sana.

"Kenapa tidak mengabari?" Tanyanya memeluk sang mama yang datang tiba-tiba.

"Mama dengar kejadian di acara amal tadi Aras."

Aras duduk memandangi wanita paruh baya itu.

"Kenapa tidak dipercepat saja Aras?"

Aras diam mengalihkan pandangannya dari Sang Papa, "tidak bisa." Gumamnya kemudian.

One Day at Rainy Day  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang