02

277K 14.2K 472
                                    

Pelajaran Ekonomi baru saja selesai. Pak Agus melangkah keluar membawa buku akutansi di tangannya. Anak-anak menghela nafas panjang, merasa jenuh dengan nilai jutaan yang sekali salah hitung harus diulang dari awal. Tidak terkecuali Bian dan Denny, yang setelah itu malah main adu panco.

"Yang menang traktir batagor kantin."

"Goceng."

"Iyedah."

***

Mereka berdua kini tengah duduk di kantin. Denny sudah memesan dua piring batagor untuknya dan untuk yang akan mentraktirnya. Tidak lama kemudian, dua piring yang dipesan diantarkan ke meja. Bian tertegun sebentar, melihat porsinya berbeda dengan porsi Denny.

"Lu mesen berapa si?"

"Gue goceng."

"Piring gue!"

"Setengah nya."

"Tapi ini sedikit banget?" Bian mengangkat piringnya dan menggerak-gerakkan ke kanan ke kiri, melihatnya dari berbagai sisi.

"Setengah dari setengahnya, maksud gue."

"SERIBU?" Bian menoleh ke temannya itu. "Lo kata gua anak SD?!" Bian menjitak kepala Denny lalu bangkit membawa piringnya ke tukang batagor yang sedang sibuk melayani murid-murid lain. Ia ingin meminta porsinya ditambahkan.

Denny hanya terkekeh, menengok ke arah Bian yang sedang berdiri di samping gerobak. Tapi, matanya tiba-tiba membulat saat menangkap seorang anak perempuan yang berdiri tepat di sebelah Bian.

Itu Bianca! Ucapnya tanpa suara. Bian mengernyit, temannya yang satu ini hanya menggerak-gerakkan mulutnya, membuat ia tidak mengerti.

Itu Bianca, goblok! Katanya lagi. Kali ini sambil menunjuk-nunjuk ke anak perempuan berseragam putih cemerlang. Yah, namanya juga anak baru, seragamnya pasti masih seperti iklan-iklan pemutih di TV.

"Apaansi?" Sekarang Bian bersuara, membuat anak perempuan yang berdiri di sebelahnya menoleh ke arahnya. Awkward, Bian ikut menoleh dan mereka malah saling pandang satu sama lain meski tidak begitu lama.

"Yah tolol kan," Denny gereget sendiri. Ia tidak mau mengurusi lagi, lebih baik menghabiskan batagor di hadapannya.

Setelah berterimakasih ke abang batagor, Bian kembali duduk di sebelah Denny yang batagornya tinggal setengah. "Apaansi nyet?"

"Itu tadi cewek di sebelah lo yang namanya Bianca." Bisik Denny tapi tidak begitu jelas.

"Audah serah lu." Bian memalingkan wajahnya dari Denny, berkutat dengan batagor 5000 miliknya.

"Budek bangetsi lo! Itu tadi yang liat-liatan sama lu, anak baru yang namanya Bianca!" Kata Denny tepat di telinga Bian, membuat Bian berhenti mengunyah perlahan.

"Lu tolol ngomong yang jelas. A-I-U-E-O. Dikasih suara sama Allah ngomong kayak orang gagu, lah mana gua tau itu yang namanya Bianca."

"YA! BAGUS SEKALI." Ujar Denny, gemas. Dengan jelas perempuan yang bernama Bianca ikut menoleh ke arah Bian dan Denny di meja kantin yang dekat dengan tongkrongan tukang batagor.

Denny menundukan kepalanya malu, sedangkan Bian hanya senyum sekilas ke arah Bianca setelah merasa diperhatikan, lalu melanjutkan kegiatannya.

***

"Rendy Abiansyah?"

"Ada Pak!" Bian mengangkat tangan kanannya, menunjukkan kalau ia hadir.

"Oh iya," Pak Roni yang sedang mengabsen murid-murid berhenti sejenak, melepas kacamatanya. "Di XI-IPA 2 ada anak baru namanya Rendita Bianca, mirip-mirip gitu ya, sama nama kamu."

"Jauh Pak." Respon Bian yang sebenarnya tidak tertarik sama sekali dengan topik barusan. I juga sebenarnya bingung kenapa belakangan ini banyak sekali yang membicarakan tentang anak baru itu di hadapannya, dan menyangkut-pautkan dengannya.

"Jodohnya Bian pak!" Denny menimpali, membuat kelas ricuh. Pak Roni hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng memaklumi, kemudian melanjutkan pekerjaannya.

"Gua tabok lu!" Ancam Bian segera.

Tentu tidak selalu, selama pembelajaran, Bian akan diam mendengarkan guru menerangkan. Dia juga sama seperti anak laki-laki yang lain, yang mudah jenuh kalau seorang guru sudah bicara mutar-mutar pada satu topik pembelajaran atau saat penjelasan dari guru sudah tidak bisa dijangkau oleh otak mereka.

Terkadang apa yang dikatakan guru di depan kelas malah membuat ngantuk seperti apa yang dialami Bian saat ini. Lama-kalamaan ia mulai menguap, lalu tertidur di atas mejanya dalam hitungan detik.

***

Lain kelas, lain cerita.

Anak baru ini duduk di meja ketiga dari kanan, ketiga juga dari depan, di sebelah Farah. Ia sedang berkutat dengan tugas rangkuman biologi yang tadi diberikan guru piket karena Bu Yuli tidak masuk.

"Bianca," Tiba-tiba suara anak laki-laki terdengar dari belakang. Dia menoleh, mengerutkan dahinya. Apa?

"Edo suka sama lu katanya."

"IH APAANSIH KAGAK! Boong Ca boong,"

Bianca hanya memerhatikan Edo dan Raga bergantian tanpa ekspresi, lalu berbalik melanjutkan rangkumannya lagi.

"Yah Do, lo ditolak mentah-mentah tuh namanya!" Samar-samar Bianca mendengar suara Raga lagi, disusul suara Edo yang bersuaha membantah tuduhan Raga.

"Gapapa sih, suka kan wajar. Manusiawi kali." Bianca angkat bicara, tapi pandangannya tidak lepas dari gambar sapi yang akan ia jiplak dari buku cetak.

Tiba-tiba kelas menjadi begitu hening dari sebelumnya setelah mendengar suara Bianca yang sebenarnya pelan. Beberapa di antara mereka jadi tersenyum lega seakan-akan sesuatu telah mengingatkan diri mereka bahwa menyukai seseorang tidaklah salah.

Memang manusiawi, kan?

***

Sepulang sekolah, Bianca menaruh tas nya di atas kasur, melepas kancing kemeja sekolahnya satu persatu dari atas dan meninggalkan tanktop putih yang melekat di tubuhnya. Ia langsung merebahkan diri, menarik nafas sambil memejamkan mata.

Tiga detik kemudian matanya terbelalak karena satu wajah yang masih asing lewat di benaknya, membuat frekuensi pernafasan Bianca menjadi cepat dari biasa, membuat jantungnya berdegup dua kali di luar batas normal.

Anak itu menatap Bianca tepat pada retina.

Kalau saja tadi tukang batagor tidak memberikan piring pada saat-saat seperti itu, ia akan mati kena serangan jantung.

"Lebay banget gila." Bianca terkekeh sendiri, geli akan pemikirannya barusan. Ia mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajahnya yang kusam akibat polusi jalanan. Ia bertanya-tanya dalam hati siapa namanya.

***

A-Bian-Ca (DIBUKUKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang