Baru sekali anak laki-laki berbaju abu-abu itu berhasil memasukkan bola hitam bergaris emas ke dalam ring, seorang perempuan memanggil namanya dari pinggir lapangan sambil berjalan girang meghampiri.
"Rara? Kamu ngapain ke sini?" Bian mendekati perempuan yang bernama Rara, mengabaikan bola yang memantul dan menggelinding entah ke mana.
"Gak apa-apa, cuma pengen ke sini. Gak boleh?" Yang perempuan melingkarkan tangannya ke leher si laki-laki, seakan-akan tindakan itu menunjukkan sebuah tanda kasih sayang.
"Boleh lah," Bian meletakkan tangannya di pinggang Rara, kemudian satu tangannya mengusap ujung kepala perempuan itu. "Tapi mending kamu pulang aja deh, nggak enak tau main basket diliatin!"
"Loh, kalo tanding emang nggak diliatin gitu?"
"Maksudnya, nggak enak diliatin pacar sendiri..." Bian tersenyum, menampakkan ketampanannya yang bertambah dengan satu lengkungan di bibirnya. "Nggak konsen."
Rara tertawa, sehingga tangannya yang melingkari leher Bian perlahan mengendur. "Siap, Kapten! Saya melanjutkan perjalanan dulu." Ujarnya.
"Kamu mau ke mana?"
"Rumah Tami." Rara melepas tangannya, mundur dua langkah dari Bian, kekasihnya. "Kan rumahnya dia lewat sini, terus aku liat kamu lagi main basket. Yaudah deh, aku berhenti dulu."
"Oh, yaudah hati-hati. Udah sarapan kan?"
Yang ditanya mengangguk sambil mengacungkan jempolnya ke udara.
"Dadah!" Rara melangkah mundur, melambaikan tangannya ke arah Bian. Kemudian ia kembali ke motor matic nya yang diparkir di samping lapangan, dan pergi meninggalkan Bian.
Laki-laki itu kembali ke depan ring, bermain dengan pacar keduanya.
***
"Mantep bro nilai MTK lo nyaris sempurna!" Denny merampas bola basket dari Bian yang baru masuk ke dalam kelas. Bian hanya sedikit terkejut karena suara Denny yang memekikkan telinga, lalu ia mengambil tempat duduk di sebelah anak itu.
"Nih kertas nya, 98 coy!" Denny meletakkan kertas ulangan harian yang dlaksanakan tiga hari yang lalu.
Bian meraihnya, memeriksa setiap nomer yang pernah dia kerjakan lalu tersenyum simpul sambil meletakkannya lagi.
Nilai sembilan tentu sudah biasa untuknya, tapi ini baru yang kesekian kalinya ia mendapat angka sembilan di mata pelajaran Matematika. Senang, sungguh. Tapi karena sifatnya yang terkesan dingin dan anteng, dengan mudahnya dia hanya meluapkan kebahagiaan menjadi sebuah senyum singkat.
"Makan apa lu sebelum ulangan?" Denny turun dari atas meja, duduk dengan benar di kursi sebelah laki-laki yang telah ia kenal sejak SMP.
"Orok bayi." Bian mengecilkan volume suaranya menjadi lebih serius sambil melirik ke penjuru kelas. "Katanya kalo makan itu, otak lo jadi encer kalo ngerjain MTK." Lanjutnya setelah tatapan matanya kembali kepada Denny.
"SUMPAH?!"
Bian mengernyit mendengar suara tinggi teman sebangkunya, sudah tidak heran lagi kenapa temannya yang satu ini memiliki suara yang besar sekali. melngeluarkan iPod dari saku celananya dan memasang headset di telinga kanan.
"Eh bro, lo serius gila? Makan orok?" Denny merendahkan suaranya, mendekat kearah Bian. "Najis jijik."
Dengan santai, Bian mengeluarkan iPod dari saku celananya dan memasang headset di telinga kanan. Namun sebelum ia menyalakan lagu, laki-laki itu menjawab pertanyaan Denny.
KAMU SEDANG MEMBACA
A-Bian-Ca (DIBUKUKAN)
Teen FictionBagaimana kalau suatu hari aku menemukan fakta bahwa aku mencintaimu dengan cara yang berbeda dan bersifat involunter? || Copyright©2012-All Rights Reserved