Chapter 14

995 99 0
                                    

Seminggu.

Sudah seminggu penuh Lisa tidak berbicara dengan Jennie. Apakah Lisa menghindari Jennie? Tentu saja tidak. Jika ada, dia mencoba untuk berbicara dengannya, bahkan menemuinya. Dia hanya ingin melihat gadis itu tersenyum lagi. Karena, sejauh yang ia lihat, Jennie menolak untuk menatap matanya atau bahkan menunjukkan sedikit pun kebahagiaan.

Lisa senang melihat Jennie bahagia.

"Ada tanda- tanda keberuntungan?" Jisoo bertanya melalui ponsel. Lisa menghela napas dan menggenggam ponselnya lebih erat lagi. Ia berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit sebelum menutupi pandangannya dengan lengannya, menghalangi cahaya terang. Dia benci cahaya terang itu, itu membuatnya sakit kepala. Dan, satu-satunya cahaya yang dia butuhkan adalah Jennie.

"Tidak," jawabnya datar. Jawabannya membuat Jisoo menghela nafas panjang. Lisa sudah mencoba segalanya. Mencoba berbicara dengannya di sekolah, meneleponnya, mengiriminya pesan. Dia bahkan mencoba mendatangi rumah Jennie tapi diusir secara halus oleh orang tuanya (yang terlihat sangat sedih untuknya) atau oleh kesunyian.

"Aku merindukannya Chu," bisik Lisa, bahkan tidak yakin apakah Jisoo dapat mendengarnya, mendengar nada lemah yang ia miliki. Tapi, dengan cara Lisa menghela nafas lagi, ia tahu yang lebih tua bisa mendengarnya. Bagaimanapun juga,Lisa tidak peduli jika ia mendengarnya. Yang Lisa pedulikan hanyalah dirinya.

"Dia akan datang padamu Lali. Cobalah untuk bersabar dengan gadis itu, kau tahu dia. Dia tidak pandai membicarakan masalahnya. Makanya kenapa ada di situasi seperti ini sejak awal. Ugh!" Jisoo mengerang kesal. Hal itu sedikit membuat seringai kecil dan geli tumbuh di bibir Lisa. "Kalau saja kalian berdua langsung mengaku saja daripada memainkan permainan aneh ini, permainan dorong-dorongan..."

Lisa mendengus, "Dengan cara yang terjadi sebelumnya, rasanya sulit untuk percaya bahwa Jennie memiliki perasaan untukku." Itu memang benar. Bagaimana dia bisa tahu? Kenapa Jennie tidak mengatakannya saja? "Kenapa dia tidak bisa mengatakannya padaku?" Lisa bertanya, berharap untuk mendengar hal yang benar. Lisa perlu mendengarnya.

"Kenapa kamu tidak bisa mengatakannya lebih dulu?" Lisa tetap diam. Jisoo memberinya waktu sejenak sebelum melanjutkan. Keheningan sesaat itu seperti memberi waktu bagi Lisa untuk memahami setiap kata. Untuk memproses semuanya.

"Dia memiliki alasan yang sama dengan mu. Dia takut. Kau takut. Kalian berdua sangat takut bahwa kalian akan merusak apa pun yang kalian miliki. Namun, pada akhirnya, kalian berdua tahu bahwa yang kalian inginkan, yang benar-benar kalian inginkan adalah bersama satu sama lain, tetapi rasa takut yang kalian berdua pegang menghalangi kalian untuk mencoba. Jadi jawablah aku, apakah kamu mencintai Jennie?"

Lisa bahkan tidak ragu-ragu saat menjawab, "Ya." Dia menurunkan lengannya dari wajahnya dan merasakan senyum kecil menghiasi bibirnya, "aku sangat jatuh cinta dengan Chu-nya."

Dia bisa mendengar suara tawa kecil di telepon, "Baiklah kalau begitu, katakan padaku mengapa kamu belum memberitahunya?" Senyum Lisa goyah. Ia duduk dan menyandarkan punggungnya ke bingkai tempat tidur, matanya tertuju pada tangannya yang memainkan ujung kemejanya.

"Yah, seperti yang kamu katakan," mata Lisa perlahan-lahan menengadah ke arah dinding dan menatap foto Jennie yang tersenyum cerah ke arah kamera. "I'm scared to ruin the friendship.."

"Tapi, sampai kapan kamu akan membiarkan rasa takut itu mengendalikan hidup mu?"

Lisa mengembuskan napas panjang dan mengusap-usap rambutnya dengan jari-jarinya, "aku..." sebelum dia sempat menyelesaikannya, bel pintu rumahnya berbunyi. Dan, karena ibunya sedang keluar dengan ayahnya untuk kencan malam mingguan mereka, ia tahu bahwa ia harus beranjak, sayangnya, memeriksa siapa yang datang.

"Tunggu, ada orang di depan pintu," gerutunya, sudah beranjak dari tempat tidur. Jisoo bersenandung mengerti saat si pirang berjalan menuju pintu depan. Mendengar bel pintunya berbunyi lagi membuatnya mengerang kesal saat ia hendak mengintip dari lubang intip, "Siapa- oh." Genggamannya pada kenop pintu menegang.

"Apa? Siapa?"

Lisa menarik napas, "Itu dia." Jantungnya berdegup kencang hingga ia dapat merasakan irama yang keras bergetar di seluruh tubuhnya. "Jennie," jawabnya terengah-engah."

Di sana, tepat di depan pintu kayu, berdiri seorang gadis berambut cokelat kecil, menunduk dan gelisah dalam posisinya yang gugup. Itu dia, gadis yang ingin dia ajak bicara sepanjang minggu. Tapi mengapa dia merasa sulit untuk membuka pintu? Itu adalah rasa takut lagi. Jika bukan karena Jiso0, ia pasti sudah melepaskan tangannya dari gagang pintu dan bersembunyi di kamarnya.

"Lalu kenapa kau masih berbicara denganku?! Buka pintunya, idiot!"

Lisa menelan ludah dan mengangguk, "B-Baiklah.. aku buka pintunya." katanya agak terengah-engah.

"Oh! Dan Lisa? Aku ingin kau mengingat sesuatu."

"Apa?" Lisa bertanya, tidak pernah mengalihkan pandangannya dari gadis cantik di balik pintu. Gadis itu terlihat sama takutnya dengan yang Lisa rasakan.

"Kau tidak akan pernah mengetahui apa pun jika kau terus membiarkan rasa takut itu menahan mu." Dan, dengan itu, Lisa hanya bisa mendengar nada telepon yang mati. Jisoo menutup telepon dan meninggalkannya untuk menghadapi ketakutannya sendiri. Jadi, dia melakukan apa yang dia tahu harus dia lakukan.

Dengan tarikan napas terakhir yang gugup, Lisa membuka pintu dan berhadapan langsung dengan Jennie yang terlihat siap untuk pergi, namun bukan untuknya. Wanita berambut cokelat itu benar-benar menghadapnya dengan mata yang terlihat takut dan sangat rentan. Namun, ketika Lisa tersenyum, rasa takut itu hilang sama sekali dan sorot mata Jennie berubah menjadi cerah.

There's my light.

.
.
.
.
.
.
.

Ruin The Friendship (JENLISA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang