(9 november 2021)
Aku adalah seorang dokter yang ditugaskan oleh direktur rumah sakit untuk menangani wabah penyakit misterius yang melanda sebuah desa terpencil di pinggir kota Bandung. Desa itu terletak di ujung danau verrotten. Desa itu sangat kumuh dan terisolasi dari dunia luar. Penduduknya hidup dalam kemiskinan dan ketakutan. Menurut laporan yang ku terima, penyakit ini menyebabkan demam tinggi, muntah darah, dan kejang-kejang. Beberapa kasus bahkan berujung pada kematian.
Aku dan timku datang ke desa itu dengan membawa peralatan medis dan obat-obatan, berharap bisa menyelamatkan nyawa mereka. Namun, begitu kami tiba di desa itu, kami disambut dengan sikap bermusuhan dari sebagian besar warga desa. Pikirku: dengan pakaian hazmat yang kami gunakan, wajar saja jika mereka bersikap seperti itu. Mungkin mereka mengira kami adalah orang-orang jahat yang akan mencuri organ mereka. Namun, tebakanku itu segera sirna, ketika aku mendengar teriakan-teriakan mereka.
"Kami tidak butuh dokter!", "Kami hanya butuh dukun!", "Pergi saja dari sini!"Apa? Dukun? Aku merasa tersinggung dengan perkataan mereka. Bagaimana mungkin mereka lebih memilih dukun daripada dokter? Ketika negara kita belum merdeka, para prajurit kita mati-matian untuk mengusir penjajah, dan ketika mereka terluka, siapa yang menyembuhkan mereka? Dukun? Bukan!, Tapi seseorang yang seperti kami yang menyembuhkan mereka, dengan ilmu kedokteran yang mereka miliki. Bukan dukun yang hanya mengandalkan mantra-mantra.
Meski kami merasa marah dan kecewa dengan perkataan mereka, kami tidak menyerah. Kami mencoba meyakinkan mereka bahwa kami datang dengan niat baik, bahwa kami bisa membantu mereka sembuh dari penyakit ini. Tetapi, mereka tetap bersikeras menolak kami. Mereka menolak untuk diperiksa atau diberi obat oleh kami. Bahkan, mereka mengancam akan menyerang kami jika kami berani mendekati mereka.
Di tengah kerumunan warga yang beringas, ada seorang pria tua yang keluar dan mendekati kami. Dia memperkenalkan dirinya sebagai kepala desa. Dia juga meminta maaf kepada warganya karena sudah mengundang kami tanpa sepengetahuan warganya. Dia juga berusaha menjelaskan kepada warganya bahwa kami adalah dokter yang bisa dipercaya, dan meminta mereka untuk memberi kami kesempatan sekali saja. Setelah beberapa saat berdebat, akhirnya mereka setuju, dengan syarat kami hanya diberi waktu dua hari saja.
Kami dipandu oleh kepala desa menuju balai desa, yang dijadikan sebagai pusat kesehatan darurat. Di sana, kami melihat pemandangan yang menggemparkan. Puluhan orang tergeletak lemah di lantai, dengan wajah pucat dan basah oleh keringat dan darah. Beberapa di antaranya mengeluarkan suara-suara yang menyeramkan, seperti erangan kesakitan atau ringisan ketakutan. Aku merinding melihat pemandangan itu. Namun, aku tidak boleh menyerah. Aku harus melakukan pemeriksaan dan mencari tahu penyebab penyakit ini.
Kami mulai melakukan pemeriksaan terhadap para pasien yang ada di balai desa. Kami mengambil sampel darah, urine, dan ludah mereka. Kami juga mengukur suhu tubuh, tekanan darah, dan denyut jantung mereka. Kami mencatat semua data yang kami dapatkan, dan mencoba menganalisisnya dengan alat-alat yang kami bawa.
Sementara itu, aku juga mencoba berbicara dengan beberapa warga desa yang masih sadar. Aku ingin tahu lebih banyak tentang desa ini, dan penyakit yang menyerang mereka. Aku bertanya tentang kebiasaan hidup, pola makan, sumber air, dan hal-hal lain yang mungkin berhubungan dengan penyakit ini.
Namun, jawaban yang aku dapatkan sangat mengecewakan. Warga desa itu tidak mau banyak bicara dengan aku. Mereka hanya menjawab sesuatu tentang hal mistis.
Aku merasa frustasi dengan jawaban mereka. Aku tidak percaya dengan hal-hal mistis seperti itu. Aku yakin bahwa penyakit ini memiliki penyebab ilmiah, yang bisa dijelaskan dengan logika dan fakta.
Setelah beberapa jam melakukan pemeriksaan, kami akhirnya menemukan sesuatu yang mencurigakan. dan itu membuat kami sangat ketakutan.
Kami saling berdebat dengan hasil pemeriksaan itu: kami bertanya-tanya, bagaimana mungkin penyakit itu bisa menyerang manusia? Kami memikirkan banyak hal tentang itu. Namun, tidak sempat memikirkan lebih jauh, karena tiba-tiba kami mendengar teriakan yang menggema dari luar balai desa.
Kami berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi. Di luar, kami disambut oleh pemandangan yang mengerikan. Sekelompok orang yang berlari-lari ketakutan, dikejar oleh sesuatu yang tampak seperti manusia, tapi bukan. Sesuatu yang tampak seperti manusia itu berkulit pucat, bermata merah, dan berlumuran darah. Mereka menggigit dan mencabik-cabik orang-orang yang mereka kejar, tanpa ampun. Kami tidak percaya dengan apa yang kami lihat.
Apakah ini mimpi buruk?
Kami melihat kepala desa tadi, sudah tergeletak tak bernyawa di tanah, dengan leher terkoyak. Darahnya masih segar, menandakan bahwa ia baru saja tewas. Aku merinding melihatnya. Aku sadar bahwa kami juga yang ada di dalam balai desa dalam bahaya. Aku yakin ini akibat dari wabah penyakit ini.
kami segera berbalik dan berlari kembali ke dalam balai desa untuk memberitahukan kepada timku yang masih melakukan pendataan kepada para pasien. Aku berteriak kepada timku itu, "Cepat, kita harus pergi dari sini! Ini bukan penyakit biasa!". Ketika salah satu anggota timku bertanya, "Apa yang sedang terjadi?", salah satu pasien yang ada di depanku, tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya, dan menggigit leher salah satu anggota timku. Darah menyembur dari luka gigitan itu dan memercik ke wajahku. Aku terkejut dan mundur beberapa langkah. Aku melihat pasien itu menggeram dan melompat ke arahku. Aku berusaha menghindar, tapi dia terlalu cepat. Dia berhasil menangkap tanganku dan menggigitnya. Aku merasakan rasa sakit yang luar biasa dan berteriak sangat keras. Salah satu timku yang berada di sisiku, menendang pasien itu sampai melepaskan gigitannya dan terpental jauh.
Seketika, aku kehilangan kesadaran sesaat. Ketika aku tersadar kembali, Aku terkejut dengan apa yang aku lihat. Aku melihat semua anggota timku terkapar di lantai, tubuh mereka hancur dan berlumuran darah. Aku melihat para pasien yang seharusnya kami selamatkan, kini berubah menjadi makhluk-makhluk mengerikan yang mengaum dan menggigit. Aku melihat kengerian yang tak terkatakan di depan mataku.
Aku tahu aku tidak akan bisa bertahan lama. Aku tahu aku akan segera mati. Aku tahu aku akan segera berubah menjadi makhluk itu. Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak mau menjadi makhluk yang tidak berperasaan dan tidak berpikir. Aku tidak mau memakan sesama manusia. Aku tidak mau menyakiti sesama manusia. Aku tidak mau menjadi musuh manusia.
Aku mencari-cari senjata apa pun yang bisa aku gunakan untuk mengakhiri hidupku. Aku melihat sebuah pisau di dekatku. Aku meraihnya dengan tangan yang masih utuh dan menusukkannya ke jantungku dengan sekuat tenaga. Aku merasakan darah memancar dari dadaku. Aku merasakan denyut nadiku berhenti. Aku merasakan kesadaranku lenyap.
Aku berharap ini adalah akhir dari mimpi buruk ini.
Aku menutup mataku dan menyerahkan diriku kepada kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zombie Attack - Nusantara
TerrorSeorang dokter dan timnya ditugaskan untuk mengatasi wabah penyakit misterius yang menyerang sebuah Desa kumuh di Bandung. Desa itu bernama Desa Awal Wirama. Namun mereka tidak menyadari bahwa penyakit itu sebenarnya adalah virus zombie. Desa Awal W...