1. Class President

227 17 27
                                    

Cortea's School adalah salah satu sekolah besar dan unggul di negara itu. Semua orang berlomba untuk menjadi siswa di sana sebagai simbol kesuksesan yang dapat dibanggakan. Hal ini terkait dengan nasib baik dari para lulusan Cortea's yang sukses di luaran sana dengan pilihan karir yang beragam. Namun, tidak menutup kemungkinan ada beberapa lulusan yang lenyap ditelan bumi karena tidak mampu beradaptasi -katanya. Cortea's hanya menerima orang-orang berani, cerdas, dan penting, tentu saja dengan banyak uang untuk membayar semua kebutuhan sekolah. Sehingga orang terbelakang dan kolot tidak akan ditemui di sana dan mencoreng nama sekolah.

Halen Salim adalah salah satu siswa di Cortea's. Seorang gadis yang sangat cantik dan berani, kata orang-orang yang mengenal namanya. Dia terkenal mandiri. Gadis yang sangat pendiam dan hanya memiliki satu teman. Tak seorang pun yang berani menatapnya lebih dari lima menit karena auranya yang gelap. Bagi sebagian orang, itu menakutkan. Namun, beberapa menganggap bahwa Halen terlalu indah dan sulit ditebak. Matanya seperti rubah, terlihat cantik dengan banyak rahasia di dalamnya. Tidak ada yang dapat menarik perhatiannya, selain satu orang di kelasnya.

Dewa Sastra, sang ketua kelas.

Laki-laki itu terlihat mengenakan jam tangan berwarna putih. Sangat bukan dirinya, batin Halen, sebelum melirik ke arah pergelangan gadis yang duduk di sebelah Dewa. Gadis itu mengenakan jam tangan dengan model dan warna yang sama. Kekanakan, kutuk Halen dalam hati. Tentu saja berusaha mengabaikan mereka berdua karena sudah terbiasa dengan keadaan itu di kelas. Ini bukan pertama kali ia melihat Dewa dan Michelle -kekasih Dewa mengenakan barang yang sama.

"Halen, udah kerjain tugas belum?"

"Matematika? Udah."

"Aku belum, gimana dong ini?"

Sahabat Halen bernama Karin. Mereka memiliki kepribadian yang cukup berbeda, well, sangat berbeda sebenarnya. Bila Halen melambangkan ketenangan, maka Karin sebaliknya, bising dan banyak bicara. Dan mereka sudah saling mengenal sejak duduk di bangku sekolah pertama. Awal mula Karin memulai percakapan dengan topik aneh, yaitu pendapat Halen tentang karya dengan nilai dan makna kekerasan.

"Kerjain, Rin."

"Tolong salinin punya kamu dong, Len."

"Manfaatnya buat aku?"

"Nanti aku bantu biar kamu bisa deket sama Dewa."

Itu terdengar seperti janji busuk. Mustahil. Meski Halen tidak mengenal Dewa, dia sangat yakin bahwa laki-laki itu sangat mengasihi dan sayang pada kekasihnya. Michelle seorang gadis yang beruntung, memiliki kecantikan yang luar biasa dan juga kekasih yang tampan dan pintar seperti Dewa. Halen selalu bersikap sewajarnya ketika menanggapi ucapan Karin. Lagipula suaranya tidak terlalu keras hingga didengar oleh siswa lain.

"Mana mungkin."

"Percaya aja, pasti bisa."

"Dia bucin sama Michelle."

"Kita kan gak tahu aslinya, Len."

"Stop it."

"Please... Aku juga mau bantu kamu."

"Terserah. Aku bantu kamu bukan karena ngarep sama omongan kamu barusan, ya."

Tentu saja Halen tidak pernah berharap pada bayangan seperti itu. Bahwa dia dan Dewa akan bersama dan menjalin sebuah relasi romantis yang serius. Itu sangat mustahil. Tidak mungkin terjadi. Dewa bahkan tidak mengingat Halen sebagai teman di sekolah dasar ketika mereka ada di usia kanak-kanak. Dan Halen adalah orang asing bagi Dewa, tidak terlihat, hanya bayangannya saja.

GREENLIGHT |  HENXIAO ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang