4. Dewa

187 13 10
                                    

Halen tidak datang ke sekolah pada hari berikutnya. Dia bahkan tidak memberi kabar pada Karin, dan lagi pula tidak akan ada yang mencarinya, kan? Perasaan kesal masih menghantuinya sejak tadi malam. Dia sudah mengutuk Dewa lebih dari sepuluh kali, tapi laki-laki itu mungkin tidak merasa, atau sedang bermesraan dengan Michelle di kelas sekarang.

Halen memakai waktu yang ia punya untuk meyakinkan diri sebelum pergi ke orang pintar. Dia juga ingat ketika masih anak-anak dulu pernah ikut mendiang neneknya pergi ke orang pintar untuk meramal usaha keluarga mereka. Dan sepertinya memang ampuh –nyatanya Halen hidup tanpa berkekurangan sekarang. Lagi pula daripada disebut dukun, orang itu lebih terlihat seperti pemimpin suatu agama. Dinding tempat itu dipenuhi jimat dan beberapa ornamen berisikan doa pendatang keberuntungan. Ada beberapa bunga kering –entah untuk hiasan atau penangkal sial, Halen hanya melihat-lihat sekilas.

"Halen, cucu dari Reynold?" tanya wanita lansia itu –duduk dengan tenang dan berwibawa di balik meja, lalu lanjut berbicara, "karena laki-laki?"

"Saya gak berharap dia sama saya, tapi setidaknya unhappy."

"Unhappy seperti apa yang kamu maksud? Dia diam-diam sering perhatikan kamu juga."

Pada detik ini, Halen tidak percaya pada orang itu. Tapi dia masih mengontrol tingkah dan wajah, cukup untuk sekedar menghargai, lalu berkata, "bullshit."

"He is, tapi kamu bukan prioritas dia, I can see it."

"Then ?" Halen lelah berbasa-basi. Dia ingin segera pulang dan menyelesaikan ini semua. Terasa seperti konseling, tapi dengan seorang yang punya keahlian khusus. Mereka sama-sama diam, dia merasa bahwa wanita itu mengerti bahwa Halen tidak sepenuhnya percaya.

"Then ?"

"What should I do ?"

"Tujuannya apa?"

"Dewa. Tujuannya Dewa," kata Halen.

"But you don't trust me," kata wanita itu sambil mengangkat satu alis. Berhasil membuat Halen terdiam dan menggigit bibir bawah. Dia tidak sepenuhnya seperti itu, memang tidak percaya, tapi ada sisi lain dari dirinya yang percaya.

"Percaya, nenek pernah kasih buktinya," jawab Halen.

"Pernah dengar istilah blood can do magic ?"

Halen langsung menggelengkan kepala. Tidak ada gunanya juga untuk berhobong di sini, orang itu lebih paham dan tahu banyak hal. Seperti biasa, Halen hanya pernah melihat kemanjuran dari istilah itu di series horror saja, melibatkan ritual dan mantra, hal-hal sejenis itu. Namun, kali ini sepertinya serius. Orang di depannya ini mengambil satu buah kertas warna merah untuk menulis jimat– Halen tidak dapat membaca dan memahami tulisannya.

"Artinya Dewa."

Oh Tuhan. Nama laki-laki itu dijadikan sebagai tulisan dalam jimat. Halen mulai berpikir kalau tindakannya berlebihan. Dia semakin ragu, lalu berkata, "kenapa namanya ditulis di situ?".

"Pasang di bawah ranjang. Warna merah di sini menggantikan fungsi benang merah yang ada, supaya kamu dijadikan rumah," jelas orang itu. Kali ini terdengar sedikit masuk akal karena tali merah ada di dalam legenda.

"Rumah?"

"Rumah. Dia cuma mau lihat dan dengar kamu, buat pengganti benang merah yang asli," jelas orang itu tenang. Dia memberikan kertas itu kepada Halen, "kapan kamu menstruasi?" lanjutnya.

Udara di sana menjadi dingin. Halen menggelengkan kepalanya sesudah menerima kertas jimat dari orang itu. Dia tidak yakin, rasanya tidak mungkin akan disuruh memberi darah menstruasi ke orang lain, kan? Tubuhnya mulai bergerak tidak nyaman, "belum."

GREENLIGHT |  HENXIAO ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang