2. Food and Beverage

132 13 23
                                    

Hari itu adalah hari libur. Halen memutuskan untuk menolak ajakan Karin sejak hari Jumat kemarin karena belum siap untuk pergi ke orang pintar -dukun. Mungkin lebih tepatnya belum siap meninggalkan akal sehat miliknya. Di sisi lain, ada rasa bangga karena dia masih mampu menahan diri. Atau mungkin Karin saat ini sudah berada di sana sendirian, Halen tidak ingin peduli, tapi ada rasa cemas kalau saja sahabatnya bertindak sendirian dan membawa nama Halen di depan orang itu.

“Halen, malam minggu di rumah aja?”

Mama Halen merupakan sosok ibu yang dingin. Dia cenderung kaku dalam memberi perhatian, bahkan seingat Halen justru tidak pernah. Sikap dan cara bicaranya sungguh canggung. Sangat mencerminkan kualitas hubungan mereka -yang tentu saja tidak dekat, tapi juga tidak berselisih.

“Iya, ma.” Halen mengangguk.

“Mau ikut dinner di luar?”

No, thanks…” kata Halen. Bila mengiyakan ajakan sang mama, berarti akhir pekan yang dia miliki akan tetap buruk. Memang tidak seburuk datang ke dukun, tapi tetap saja buruk. Halen mengenal rekan mamanya dengan baik, wanita-wanita (ada beberapa yang menuju usia lansia) hobi bergosip. Biasanya mereka akan membicarakan orang yang tidak ikut berkumpul pada hari itu. Oh, Halen sangat berharap bahwa dia tidak membawa karakter itu dari ibunya.

“Kamu gak bosen di rumah terus?”

Sambil mendengus, Halen kembali menggelengkan kepala. Baru kali ini mamanya memastikan sampai dua kali. Bagi Halen, itu termasuk sikap yang aneh. Terutama belakangan ini, mamanya mulai bertanya tentang hubungannya dengan laki-laki. Demi apapun, mungkin mau dijodohkan lagi, batin Halen. Dia tidak menjawab saat mamanya mengeluarkan suara untuk pamit. Dan dia sendirian lagi di rumah megah ini. Tubuhnya kecil, tapi semakin kecil karena berada di dalam rumah yang besar. Umur rumahnya sangat tua, tapi tetap terawat karena dipoles setiap tahun.

Sejak Halen bayi, tidak ada yang berubah di sana. Posisi perabot masih tetap sama di tempatnya, dan bersih dari debu. Dewa pernah ke sini saat mereka masih ada di sekolah dasar. Dia anak yang sangat ekspresif sebelumnya. Mudah tertawa nyaring dan bahkan menangis saat kakinya tidak sengaja menendang kaki meja. Halen terkekeh mengingatnya. Dewa adalah anak yang sangat penuh dengan emosi. Dia heran bagaimana laki-laki itu dapat menyembunyikan semuanya saat ini. Atau dia hanya menunjukkan emosinya di depan Michelle.

Gawai Halen berdering nyaring. Karin, nama itu dibaca oleh Halen dalam hati. Dia memutuskan untuk menerima panggilan itu. Suara Karin di seberang langsung menusuk gendang telinga Halen bersamaan dengan rasa antusiasnya.

“Halen, kamu kemana aja?!”

“Kenapa?”

“Baca grup kelas!”

“Ada tugas lagi? Aku males buka grup kalau hari Sabtu.”

“Besok disuruh masuk sama Pak Reno! Liat dulu pembagian kelompoknya!”

Tunggu dulu. Kalau Karin sangat menggebu seperti sekarang, hanya ada satu kemungkinan yang terjadi. Dan Halen memutuskan untuk menutup sambungan. Angka pesan yang belum terbaca di grup kelas sudah mencapai 200 lebih. Pertanda buruk, ternyata memang ada perintah pada siswa untuk masuk besok, hari Minggu. Tujuannya pembekalan untuk praktik mata pelajaran wirausaha umum. Halen membaca pesan dengan cermat, lalu menemukan namanya bersanding dengan nama Dewa di dalam satu kolom.

Food and Beverage  :  

1.) Halen Salim & Dewa Sastrawijan

2.) Haruna Fin & Galih Budiono

GREENLIGHT |  HENXIAO ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang