O5. Redlight

124 8 25
                                    

Tetesan-tetesan air dari pakaian Dewa mengotori lantai rumah, tapi Halen tidak keberatan dengan hal tersebut. Ia lebih mengkhawatirkan keadaan Dewa karena kulit pria itu tampak sangat pucat. Sepatunya sudah ditinggal di dekat pintu utama, sehingga Dewa tidak merasa bersalah saat ikut masuk ke kamar Halen. Tanpa meminta izin atau apapun, Halen langsung mengambil handuk dan berdiri di depan Dewa. Perbedaan tinggi badan mereka membuat Halen sedikit mengangkat dagunya.

"Lepas dulu biar gak sakit."

Dewa hanya mengangguk, lalu melepas pakaiannya. Tubuhnya terasa hangat meski pakaiannya dingin. Halen menerima kemeja pria itu dan melipatnya.

"Kamar mandinya di situ."

"Aku gak bawa pakaian ganti."

Tujuan mereka bertemu adalah melakukan survei, Halen baru ingat. Dewa tidak akan membawa pakaian ganti hanya untuk itu. Tidak salah, tapi Halen bingung harus melakukan apa. Tidak ada pakaian laki-laki atau maskulin di rumahnya –terutama ukuran tubuh mereka yang berbeda. Ada handuk, tapi Dewa tidak mungkin hanya menggunakan itu hingga pakaiannya kering.

"Aku punya handuk kimono, semoga cukup di kamu," Halen membuka lemari pakaian –dan melihat isi lemari itu membuat Dewa tersadar bahwa gadis ini seperti ratu. Semua pakaiannya tampak feminin dengan warna-warna pastel –pun yang tengah dipakai saat ini, Dewa dapat melihatnya meski sebagian tertutup jaket.

"Coba dulu," Halen membawa handuk putih, ukurannya di bawah ukuran Dewa –cukup jauh, tapi setidaknya dapat dipakai terlebih dahulu. Dewa tidak mungkin telanjang di sana.

"Aku izin mandi dulu."

"Iya– pakai aja air hangatnya," Halen keluar kamar terlebih dahulu. Gadis itu memberi pakaian Dewa pada asisten di rumah agar dapat segera dicuci. Ketika melewati dapur, Halen baru ingat kalau ia belum menawarkan Dewa minuman. Jari telunjuknya menyentuh wadah teh dan kopi secara bergantian. Ia tidak yakin apa pilihan Dewa, tapi mungkin saja kopi karena mereka ingin menjual kopi sebagai bagian dari tugas –tidak ada salahnya membuat kopi sekarang. Mereka bisa tetap survei kopi milik Halen.

"Gula?" Halen bergumam sambil menggigit bibir bawahnya, tidak yakin dengan minuman ini karena tidak mengenal Dewa. Ia tersadar bahwa mereka tidak dekat. Tidak memahami laki-laki itu. Minuman, warna, atau hal-hal lain yang disukai ataupun tidak. Pada akhirnya, Halen tidak memasukkan gula ke dalam minuman Dewa.

"Maaf, aku lupa tanya kamu mau minum apa tadi," suatu kebetulan saat Halen masuk ke kamar, Dewa baru saja keluar dari kamar mandi. Rambut pria itu setengah basah dan tampaknya handuk milik Halen memang terlalu kecil. Tubuh Dewa tetap tertutup dan untungnya tali kimono itu tetap dapat diikat.

"It's okay, sorry kamu jadi sibuk."

"Bikin kopi gak sesibuk itu," Halen terkekeh dan menaruh cangkir kopi di atas meja. Ia duduk di salah satu sofa yang ada, sehingga Dewa ikut duduk di sebelahnya. Tidak seperti Dewa, Halen hanya minum air mineral. Hal tersebut membuat Dewa sungkan, tapi tetap minum –menghargai pemilik rumah. Mereka berdua terdiam. Suasana menjadi canggung –mereka sama-sama bingung mencari topik pembicaraan karena tidak dekat, dan juga terlalu malas bila membahas tugas.

"Kamu nyaman pakai jaket kayak gitu?" Dewa berusaha membuka topik obrolan baru karena Halen terlihat kurang nyaman saat minum. Lengan jaketnya kurang panjang, sehingga dilipat tiap ingin mengambil cangkir.

"Boleh aku buka?"

Itu terdengar seperti pertanyaan retoris. Pada dasarnya Dewa tetap dapat melihat sebagian kulit Halen yang putih dan pucat. Belahan dadanya mengintip dari balik jaket, tampak sangat cantik dan padat. Dewa hanya mengangguk karena ia merasa terganggu– paha hingga kaki Halen tidak tertutup.

GREENLIGHT |  HENXIAO ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang