3. The Food

220 14 37
                                    

Kasur Halen luar biasa berantakan. Banyak tumpukan pakaian di atasnya. Sekarang masih jam 7:00 malam, terlalu awal untuk mempersiapkan diri. Tapi Halen tidak dapat menahan diri untuk mencari pakaian yang pantas untuk dikenakan. Semua pakaian rumah atau gaun tidurnya punya potongan terbuka. Sementara pakaian lainnya terlalu formal karena dibeli untuk pertemuan atau berada di luar rumah. Masih ada setengah jam lagi. Halen saat ini fokus menggunakan pengering rambut, suaranya mengisi kamar yang sepi. Bunyinya tidak terlalu mengusik.

Gaun tidur tidak buruk, sepertinya. Halen memiliki satu gaun tidur berwarna putih, hanya perlu dipakaikan kemeja untuk luarannya. Dan untuk gaya rambut, dia akan membiarkan rambutnya terurai saja. Dia mematikan pengering rambut dan bangkit berdiri menuju ke kasur. Jarinya yang lentik mencari gaun tidur kesukaannya di tumpukan pakaian, lalu memeriksa wangi gaun itu.

“Ini aja,” kata Halen berusaha melepas pakaian yang sedang ia pakai. Cermin memperlihatkan buah dadanya yang padat dan bulat, segera terbalut oleh gaun satin. Talinya seperti potongan mi yang sangat tipis dan lentur, cukup panjang sehingga sebagian belahan dadanya tampak. Ada karet pada bagian pinggang, membentuk tubuhnya dengan sempurna. Panjang gaun tidurnya di atas lutut, Halen tidak suka dengan gaun tidur yang terlalu panjang. Dia tidak merasa kedinginan dengan adanya selimut. Dan dia akan menggunakan kemeja sebagai luaran, nanti.

Telepon Halen berdering ketika dia sedang merapikan pakaian di atas kasur. Dia membaca nama Dewa tertera pada layar gawainya. Halen cepat–cepat menerima panggilan itu, lupa pada niat awalnya untuk mengenakan kemeja. Dia tidak ingin membuat Dewa menunggu terlalu lama, dan ternyata Dewa hanya mengenakan kaus putih polos tanpa lengan di seberang sana. Mata laki–laki itu seperti terkejut, tapi hanya sedetik saja.

“Masih setengah jam lagi, kan?”

Ini udah jam delapan.”

Halen mengintip jam pada layar gawai, “astaga, maaf. Ayo mulai kalau gitu.”

Kamu udah siap ?”

Dari tampilan di layar, Dewa sepertinya sudah duduk di kursi. Dia pasti berada di meja belajar atau meja kerja. Ada banyak buku di belakangnya, tertata rapi di lemari. Hampir sama seperti perpustakaan. Betapa Halen ingin ke sana dan melihat kamarnya secara langsung. Desain yang dipakai mungkin minimalis, dengan warna dominan putih dan cokelat muda. Halen tiba–tiba saja sadar bahwa dirinya masih berada di ranjang.

“Udah, kok,” kata Halen. Dia menuju ke meja dengan sedikit tergesa. Lalu meletakkan gawainya di depan. Rasanya kurang nyaman untuk tetap menggunakan gawai, tapi dia juga merasa tidak enak bila ganti perangkat. Dewa hanya diam di sana, menunggu Halen karena gadis itu terlihat sibuk dengan dirinya sendiri. Dia jelas–jelas belum siap, tidak seperti apa yang dikatakan. Tapi laki-laki itu tidak keberatan. Dia tidak melayangkan protes dan menunggu dalam diam, sepertinya pura–pura menunduk dan membaca buku. Tidak ingin memperhatikan Halen yang tengah sibuk mencari–cari sesuatu. Kemungkinan besar buku dan alat tulis.

“Ayo mulai, Dewa…”

Aku kirim link file–nya dulu, coba kamu cek.”

Laporan Dewa sangat rapi. Baik tulisan, kosa kata, hingga tepi batas yang digunakan, seakan dia sudah pernah menerima tugas seperti ini sebelumnya. Halen membaca, sambil mengagumi isi laporan itu. Dia lupa bahwa Dewa tengah menunggu respon darinya. Laki-laki itu hanya diam, dia mengamati Halen. Mata gadis itu berbinar seakan dia baru pertama kali melihat permata.

Gimana?”

“Udah oke semua. Kamu gak masalah kerjain laporannya sendiri?”

Gak masalah, sih. Memang kamu mau rombak lagi?”

GREENLIGHT |  HENXIAO ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang