Vivianne yang membawa keranjang berisi pakaian kotor itu tiba-tiba menghentikan langkah saat matanya yang coklat menemukan sosok tegap Arthur tengah duduk di atas batu sungai. Hubungannya dengan sang Raja sedang tidak baik setelah insiden malam itu yang telah terjadi berulang kali, Vivianne sampai tidak bisa mengingat jumlahnya. Ia berniat untuk pergi, tetapi kepulan asap berbau tembakau di sekitar Arthur menghentikan niatnya.
Dari tempatnya berdiri saat ini, Vivianne bisa melihat jari-jari panjang Arthur yang kasar memegang sebuah cerutu. Bibir yang tadi malam sempat menjamah miliknya kali ini mengapit lintingan daun itu dengan mata terpejam. Rahangnya yang sudah tegas ikut menegang seakan apa yang berada di antara bibirnya bukanlah cerutu melainkan lidah milik wanita tercantik Orison.
"Sejak kapan kau merokok?" Suara Vivianne terdengar lirih jika dibandingkan dengan derasnya aliran sungai. Ia mengambil posisi tepat di samping Arthur lalu mulai mengamati cara laki-laki itu menghisap dan mengeluarkan asap dari mulutnya yang sedikit terbuka.
Sontak setelah Arthur menyadari kehadiran Vivianne, ia langsung melempar cerutunya ke arah sungai. "Kau mau membunuhku?" Jawab Arthur tajam. Ia menoleh ke arah Vivianne sebelum dengan sengaja membuka kemeja hitam di badannya dan membuang kain itu ke sembarang tempat. "Bau tembakau, kau tidak boleh menciumnya," imbuh sang Raja asal.
"Jawab saja pertanyaanku, sejak kapan kau merokok, Yang Mulia?" Vivianne rupanya masih teguh pada pendiriannya. Ia tidak terganggu dengan penampilan Arthur yang kini setengah telanjang meski guratan bekas luka di kulit sang Raja seolah meminta untuk disentuh lama.
"Sudah lama," balas Arthur singkat. Ia mengangkat bahu lalu menggelengkan kepala sebelum benar-benar mengarahkan matanya untuk menatap Vivianne lekat. "Mungkin 9 tahun lalu?"
Mendengar itu, Vivianne menghela napanya kasar. Ia tahu posisinya sebagai istri Arthur adalah sesuatu yang mutlak. Namun, berhadapan dengan sang Raja selalu saja membuatnya tampak seperti orang paling bodoh yang tidak tahu apa-apa. "Dan kau tidak memberitahuku soal itu?"
"Aku memang tidak berniat untuk memberitahumu." Arthur hanya mampu tersenyum lelah. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya dengan serius atau merasa bersalah, ia justru berdiri dan mengambil alih keranjang berisi gaun kotor Vivianne lalu membawanya ke sungai.
"Mau kau apakan pakaianku?" Nada bicara Vivianne terdengar lebih berani. Ia melangkah cepat untuk mengejar Arthur yang saat ini sudah masuk ke area sungai. Wajah Vivianne seketika memerah malu saat sang raja dengan santai mulai menggerakkan tangannya yang kekar untuk mencuci pakaian kotor yang ia bawa. "Biar aku saja! Dewi Nyx, aku bisa digantung jika membuat Raja Orison mencuci baju!"
"Siapa yang berani menggantungmu?" Arthur tertawa lebar saat melihat ke arah Vivianne yang mencoba untuk berjalan di antara batu guna menggapai tempatnya duduk saat ini. "Kau kecil juga ya rupanya," imbuh sang Raja sambil mengangkat gaun istrinya yang sedang ia cuci tanpa rasa canggung.
Wajah Vivianne memerah. "Arthur!" Ia berteriak kesal sebelum dengan cepat berlari ke arah laki-laki yang kini masih mencoba untuk menggodanya itu.
"Hei, hati-hati!" Arthur baru saja menyelesaikan kalimatnya saat tiba-tiba tubuh Vivianne menabraknya keras. Ia bisa saja menahan istrinya dengan mudah, tetapi karena sejak awal ia berniat menggoda Vivianne, Arthur justru membiarkan tubuh keduanya jatuh ke aliran sungai. Arthur menjadi tumpuan bagi Vivianne, sedangkan kedua tangannya bergerak melindungi kepala sang Ratu dari bebatuan sungai yang mungkin saja bisa melukai istrinya itu. "Sudah ku bilang hati-hati," bisik Arthur tepat di telinga kanan Vivianne.
"Kau pasti sengaja!" Vivianne yang berada di atas Arthur menggunakan satu tangannya untuk menutup mulut sang Raja. Ia berdecak lalu bergerak untuk memindahkan tubuhnya ke lain tempat yang justru ditahan Arthur dengan kedua tangannya.
"Memang," balas Arthur sembari menghembuskan napasnya yang panas ke arah leher Vivianne yang terbuka. Lengannya yang kekar masih saja memeluk pinggang Vivianne erat sambil sesekali memainkan rambut istrinya yang kini basah karena air sungai. "Bagaimana rasanya tinggal jauh dari ibu kota?"
"Biasa saja," jawab Vivianne masam.
Arthur langsung tertawa. "Padahal aku berharap kau bisa bertemu banyak orang selain bangsawan-bangsawan sialan itu."
Meski wajah Arthur tampak tidak berubah, ada nada serius di balik kalimatnya. Ia mengeratkan pelukannya di tubuh Vivianne, tidak peduli pada air sungai yang mengalir di bawahnya ataupun pada ocehan burung yang hinggap di atas ranting pohon willow. Dari sudut mata birunya, Arthur melihat wajah Vivianne dengan lekat. "Lain kali aku akan mengirimu ke Varsawa di ujung benua sana agar kau hanya bisa melihat laut dan rawa."
"Lalu aku akan meminta Ale untuk mengirim surat cerai ke Kuil Agung," balas Vivianne yang langsung membungkam sang Raja.
"Sebelum Alejandro bisa mendengar permintaanmu, aku akan lebih dulu mengirim tentara ke Maeve dan mengurung seluruh keluargamu di sana." Saat mengatakan hal itu, wajah Arthur tidak menampilkan perubahan ekspresi yang berarti. Hanya saja, genggaman kedua tangannya di pinggang Vivianne mengerat, bahkan semakin erat tatkala ia membawa tubuh itu ke pangkuannya. Arthur kini tidak lagi berbaring di aliran sungai. Raja Orison itu bersandar di sebuah batu besar dengan sang istri yang berada tepat di atas pahanya.
"Omong kosong." Vivianne hanya bisa menekuk bibirnya. Tiba-tiba, sebuah ide gila terbersit di dalam pikirannya yang kacau. "Aku ingin mencoba merokok."
Dan setelah kalimat itu, bibir Arthur membungkam milik Vivianne kasar.
____
"Kau itu gila, ya?!"
"Sumpah, aku tidak tahu kalau gaunmu hanyut!" Arthur tidak mau mengakaui kesalahannya yang meninggalkan gaun Vivianne di aliran sungai sementara keduanya larut dalam ciuman. Ia tiba-tiba lupa pada niatnya untuk membantu Vivianne mencuci dan justru berakhir dalam keadaan hampir bercinta di atas bebatuan yang licin. Arthur yakin dirinya sudah tidak waras dan perlu segera menyucikan tubuhnya di kolam Kuil Agung jika ia sudah kembali ke ibu kota.
"Kau tahu aku cuma membawa tiga gaun ke tempat ini dan dua di antaranya kau biarkan hilang begitu saja!"
Arthur langsung berlari mengejar istrinya yang kini tampak merajuk. "Dewi Nyx! Everie, perhatikan langkahmu!"
"Peduli apa kau dengan langkahku, hah?!" Teriak Vivianne tidak terima. Di Courtland, ia kehilangan minat untuk memperlakukan Arthur sebagai seorang raja. Vivianne pun malas jika harus berkata sopan pada orang yang selalu saja membuat darahnya mendidih seperti air di tungku api.
"Aku akan membelikanmu gaun baru, Eve! Ya Tuhan, itu hanya gaun dan kau bertingkah seolah baru saja kehilangan emas." Raja Orison itu berhasil menghentikan langkah istrinya dengan satu kali rengkuhan. Arthur mencubit pipi Vivianne karena kesal. "Maaf, maafkan aku, ya?"
"Ya sudah... Tapi kau harus membelikanku kue wortel juga." Vivianne kali ini menghentikan langkahnya dan membiarkan Arthur membawa tubuhnya yang basah ke dalam pelukan.
"Kue wortel lagi? Kau tidak bosan?"
"Tidak tuh," jawab Vivianne seadanya. Ia dan Arthur berjalan beriringan menuju ke perkemahan. Suaminya itu diam dan hanya melangkah meski sesekali jemarinya yang kasar mengusap tangan Vivianne.
"Everie jika suatu saat aku melakukan hal buruk, apa kau akan membenciku?" Ucap Arthur setelah beberapa saat sibuk dalam pikirannya.
Vivianne tampak merenung. "Tergantung hal buruk apa yang kau lakukan. Aku tidak akan membencimu hanya karena kau menghilangkan gaun ataupun memakan kue milikku."
Arthur tergelak masam sambil menyentuh pipi kemerahan istrinya. "Jangan membenciku, Everie..."
Vivianne masih ingin menjawab Arthur. Hanya saja, sebuah suara lirih dari perempuan tua yang tiba-tiba muncul dari arah hutan membuat sang Ratu terdiam.
"Dewi Nyx rupanya sangat berbaik hati pada orang tua ini hingga aku bertemu dengan Elang dan pasangannya yang tidak sempurna. Bukan begitu, Yang Mulia?"
13 November 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
An Unwanted Crown
Fantasy[17+] Fantasy-romance Vivianne menginginkan Arthur Leander, bukan takhta ratu Orison. Ia mencintai sang laki-laki, bahkan sebelum janji di hadapan Dewi diucapkan, tidak juga saat mahkota emas diletakkan di atas kepalanya. Vivianne hanya membutuhkan...