Bugh!
"Anak gak tau diuntung, bisanya cuma nyusahin!"
Jake meringkuk dilantai, membiarkan pukulan demi pukulan dilayangkan oleh sang ayah pada punggungnya. Kebas. Sudah terbiasa sebab hampir setiap hari, ia selalu merasakan perlakuan sama.
Kalau bukan demi ibu, mungkin Jake sudah menyerah.
"Lo dateng ke rumah orang itu lagi? Bener bener harus mati, lo!"
Orang itu yang dimaksud adalah sang ibu. Sepuluh tahun bercerai, membuat Jake sulit sekali bertemu ibunya. Ditambah, hak asuh jatuh ke tangan sang ayah akibat ibu sakit — Jake seolah berada dalam penjara.
"Ayah ... maaf ..."
Hanya ungkapan kata maaf yang dapat dilontarkan oleh Jake, punggungnya nyeri sekali — bahkan mungkin sudah luka akibat hantaman kayu sedari tadi — Jake tidak menangis, bahkan ketika ia harus. Tidak apa dia dipukuli, asal jangan ibu.
Sebuah panggilan masuk ke ponselnya mengalihkan atensi ayah. Di Penghujung kesadaran, ditemani lampu temaram, Jake ditinggalkan seorang diri di dalam gudang. Bahkan, untuk mati pun Jake enggan.
Omong-omong, Heeseung baru datang dengan membawa sepeda miliknya yang tertinggal di sekolah sore tadi. Ayah tidak marah, tapi beliau mengancam untuk tidak memberi Jake makan, malam nanti. Tidak apa, toh, memang seperti itu setiap harinya. Tak jarang, Jake hanya mendapat satu sendok nasi setengah basi dan sedikit lauk — sebagai upah karena telah menjadi anak yang rajin. Asal perutnya terisi, Jake tidak masalah.
* * *
"Dari bunda." Sunghoon menyerahkan sebuah kantong plastik berisi makanan begitu tiba di kelas Jake.
Sedari tadi, Cowok Park itu sudah menanti di tempat biasa ia menunggui Jake makan siang. Namun, sudah lebih dari dua puluh menit, bahkan jam istirahat nyaris habis — Si mata bulat tak menunjukkan eksistensinya sama sekali. Heran, Sunghoon memilih untuk menyusul ke kelas — mengabaikan tatapan heran Jaehyuk dan Jisung di koridor.
Jake tersenyum, senang hati menerima kantong plastik itu. Ia belum makan sejak kemarin, ancaman ayah tak main main dan Jake kepayahan menahan lapar. Beruntunglah, hari ini Sunghoon memberinya sesuatu untuk dimakan.
"Cepet makan, gue tungguin."
"Eh, nanti ada guru—"
Sunghoon duduk di bangku Jake. Kalau ditinggalkan, ia khawatir Jake tak akan memakan makanannya. "Ga ada, cepet."
Jake mengangguk patuh. Hati-hati, ia membuka kotak makan tadi. Nasi, ayam dan sayur, plus buah apel kupas.
"Hoonie, makasih ..."
Sunghoon mengernyit, "Hoonie?"
"Dari Jake. Itu Jake yang panggil, hanya boleh Jake."
Meski bicaranya serampangan, Jake adalah sosok lucu — anak itu benar-benar sangat lucu menurut Sunghoon. Entah dari gestur tubuh, caranya makan, menulis — ah, semuanya. Sunghoon suka segala hal menyoal Jake.
Dibuang jauh-jauh rasa malu yang menghinggapi. Jake merasa ada begitu banyak hal baik terjadi padanya selama beberapa hari belakangan. Khususnya, sekelompok anak yang awalnya ia kira bebal — justru mereka lah penyelamat dirinya. Jake senang, ia merasa tak sendirian lagi.
Pun sosok pentolan sekolah disampingnya ini, dia selalu memiliki cara untuk datang dan meraihnya. Entah Sunghoon sedang mencari apa dalam dirinya, yang jelas, selama itu tidak menyakiti fisik, Jake tidak apa-apa.
"Enak ga, masakan bunda gue?" tanya Sunghoon begitu Jake menanggalkan setengah dari nasi di kotak.
Jake mengangguk ribut. Ini sih, bukan enak lagi — tapi enak sekali. Jake lupa kapan terakhir kali makan seperti ini, sebab, ayah terus membelikannya mie instan, terkadang tahu dan tempe saja.
"Bunda Hoonie pintar masak — e-enyak!"
Si Park berdecak, "Kalau lagi ngunyah, jangan ngomong dulu. Nanti lo keselek."
"CIE PACARAN NI YE." Heeseung menyoraki dari daun jendela, ia mengintip bersama Taehyun dan Beomgyu — kelakuan tiga anak itu memang kadang-kadang diluar nalar.
Sunghoon tak menjawab, ia hanya melirik. Tapi sanggup membuat mereka lari tunggang langgang menuju kelas. Akan sangat merepotkan bila mereka terkena bogem mentah dari Sunghoon, meski sering kali diam, cowok itu atlet basket — pukulannya lumayan membuat pusing juga.
"Lo nanti sore sibuk ga?"
Jake menoleh, lantas menggeleng pelan. "Kenapa?"
Sunghoon berdiri sembari mengantongi tangan di saku, hendak pulang ke kelasnya. "Nanti mau main ga? jam 4 an, sama anak anak juga. Kalau lo mau dan dibolehin, gue jemput."
Persetan akan dipukuli oleh ayah, Jake mengangguk mantap. Mungkin saja, ia tak akan mendapat tawaran serupa lain waktu — selagi masih punya kesempatan, ia harus menjajaki tiap peluang — membuat sepenggal kisah dimasa sekolah, agar tak ada sesal nantinya.
"Makasih lagi, Hoonie."
KAMU SEDANG MEMBACA
NOVEMBER RAIN | SUNGJAKE
FanfictionSunghoon tidak dungu, batinnya selalu berseru bahwa hanya Jake yang ia mau.