chapter 6

34 5 0
                                    

Selamat membaca-


Suasana pagi hari dengan hawa dingin yang sangat menusuk batin. Sekujur raga terbelenggu dalam dinginnya pagi. Sang mentari menyapa pagi hari dengan senyumannya yang sangat mengagumkan hati. Senyumannya memancarkan kehangatan teriknya kala pagi hari yang sangat dingin.

"Aku yakin kamu udah dengar semuanya"

Erland yang tengah menikmati kopi hangat itu seketika beralih menatapku. Terlihat jelas di raut rasa bersalahku di wajahnya karena ketahuan sudah menguping pembicaraan antara aku dan nenek.

Setelah tahu keberadaan Erland, aku segera menarik nya keluar dari ruangan nenek di rawat. Aku membawanya ke sebuah Cafe yang terletak tidak jauh dari rumah sakit berada. Bukan tanpa sebab, tapi karena memang ada yang ingin aku katakan.

Suasana di cafe juga masih sepi, mungkin karena ini masih pagi jadi tidak banyak yang berkunjung. Tapi itu lebih baik, karena aku memang membutuhkan tempat yang tenang. Pikiran ku sudah kacau, aku tidak mau mendengar kebisingan.

Cahaya mentari masuk dari celah-celah pintu dan kaca, menyinari ruangan cafe tempat kami berada. Setidaknya ruangan yang penuh cahaya ini tidak membuat ku semakin sesak akibat masalah yang terus berdatangan.

"Maaf, aku emang sempat dengar obrolan kamu sama nenek"

Erland, memang meminta maaf tapi entah kenapa aku sama sekali tidak merasa dia benar-benar tulus melakukannya. Dari raut wajahnya, siapapun tahu kalau dia sedang bahagia. Sudah pasti dia senang, karena mendapat dukungan penuh dari nenek.

"Ayo kita nikah"

"Uhuk! Uhuk!"

Erland yang tadinya sedang menyeruput kopi seketika terbatuk hebat. Kopi itu mengalir dari mulutnya dan dengan cepat Erland meraih tisu kemudian mengelap meja. Jangan lupakan ekspresi nya yang panik, terkejut, juga senang campur aduk menjadi satu.

"Ka--kamu serius?" tanyanya terbata-bata sedikit tidak percaya.

Jujur saja sebenarnya aku cukup malu karena mengajaknya menikah dengan ekspresi tanpa dosa begini. Padahal, beberapa waktu yang lalu aku terang-terangan menolak sih bos kopi ini.

Melihat bagaimana aku memperlakukan dia kemarin, seharusnya Erland sudah tidak tertarik lagi padaku. Memangnya apa yang dia lihat? Aku sudah kejam dan bersikap tidak sopan, tapi dia terlihat sangat senang saat aku mengajaknya menikah.

"Aku serius---ini permintaan terakhir nenek, pastinya aku pingin mewujudkan apapun itu keinginannya"

"Pernikahan bukan hal sepele, kamu nggak bisa main-main soal ini. Aku nggak mau beberapa tahun ke depan kamu malah minta cerai. Aku cuma mau menikah sekali seumur hidup, Eve"

Siapapun tahu bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Aku juga tidak ada niatan main-main. Walaupun tidak dapat di pungkiri bahwa alasan utama aku ingin menikah dengan Erland karena permintaan nenek. Tapi aku juga akan berusaha dan belajar untuk mencintai pria di hadapan ku saat ini sembari membangun rumah tangga yang harmonis.

"Aku minta maaf karena udah bersikap kasar sama kamu kemarin. Tapi aku serius, aku nggak akan minta cerai kecuali kamu berkhianat. Aku akan belajar dan berusaha keras untuk mencintai kamu"

Kami saling bertatapan satu sama lain secara intens. Namun, detik berikutnya aku di buat terkejut ketika Erland mulai jalan mendekatiku, kemudian memeluk ku tanpa aba. Tubuh ku menegang, tapi aku membiar Erland memeluk ku tanpa berusaha untuk mendorong atau menghindarinya. Karena aku tahu, setelah ini kami akan menikah.

-Who Are You-

Hari pernikahanku dan Erland akhirnya tiba. Beribu tamu undangan memenuhi kursi di gedung yang kami gunakan untuk menyelenggarakan pernikahan. Acara pernikahan kami di dekorasi dengan tema fairy tale. terlihat begitu cantik dengan dipenuhi bunga-bunga yang didominasi warna biru. Bak berada di dunia dongeng, terdapat dua buah patung kuda berwarna putih dan lampu gantung yang membuat dekorasi terlihat lebih elegan serta cantik.

Aku mengenakan gaun dengan model off-shoulder dengan veil panjang dan aksen bordir, hingga memberikan kesan anggun dan memesona

Kami berjalan melewati red carpet, berjalan lambat menuju altar pernikahan---melewati bunga-bunga yang menghiasi sepanjang jalan. Sorakan-sorakan kebahagiaan pun terdengar. 

Tentu saja berita pernikahan kami menjadi topik pembicaraan hangat sekarang. Bagaimana tidak? Seorang desainer sekaligus model terkenal menikah dengan sosok pengusaha sukses berwajah tampan yang sangat di dambakan gadis seluruh kota.

Dapat ku lihat nenek tersenyum bahagia menatap ku dari kejauhan, duduk di salah satu kursi yang tersedia. Melihat senyum nenek membuat kedua sisi bibir ku saling berjauhan.

Aku semakin kuat menggandeng lengan kokoh Erland. Pria itu terlihat sangat bahagia. Sementara itu aku menahan gugup, jantungku berdebar tak karuan---padahal aku sudah biasa dengan keramain. Hanya saja, suasana di hari pernikahan ku terasa berbeda dengan acara-acara yang sering ku hadiri biasanya.

Saat untuk membaca janji pernikahan pun tiba. Erland mengucapkan janji pernikahan kami dengan suara lantang dan tegas, sembari menatapku dalam.
Setelahnya, giliran aku untuk membacakan janji serupa.

"Aku berjanji untuk menjadi istrimu yang jujur, setia, dan penuh kasih selama sisa hari-hariku.

Aku berjanji untuk menghormatimu, mencintaimu, dan menghargai kamu sebagai suamiku hari ini dan setiap hari.

Hari ini aku berkata, "Aku bersedia" tetapi, bagiku itu berarti, "Aku akan". Aku akan memegang tanganmu dan berdiri di sisimu dalam suka dan duka. Aku akan mendedikasikan diriku untuk kebahagiaan, kesuksesan, dan senyummu. Aku akan mencintaimu selamanya."

Tidak di sangka-sangka Erland meneteskan air mata. sontak para tamu mulai bersorak dan berkata bahwa Erland sangat mencintaiku, karna konon katanya seorang pria tidak akan meneteskan air matanya kecuali untuk ibu dan wanita yang benar-benar ia cinta. 

Tanpa mengelap air matanya yang terus mengalir, Erland membuka tudung kepala transparan berwarna putih yang menutupi wajahku. Perlahan namun pasti, Erland mendekatkan wajahnya, membuat ku memejamkan mata. Aku tahu ini adalah sesi berciuman.

Cup!

Dapat ku rasakan benda dingin, kenyal, dan lembut itu menyentuh kening ku. Sontak aku membuka mata dan mendapati Erland yang tengah menatapku sangat dalam--mengunci pandangannya untuk diriku seorang. Tatapan itu mampu membuatku berdebar untuk beberapa saat.

Who Are YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang