Selamat membaca-
Pagi-pagi sekali aku mendapat panggilan dari bi Irna---pembantu di rumah nenek. Aku pikir nenek memerintahkan bi Irna untuk menelpon ku hanya untuk melepas rindu, ternyata dugaan ku salah. Aku malah mendapat kabar buruk yang mampu membuat tubuh ku melemas seketika.
"A--apa? Aku ke sana!"
Tanpa membuang waktu lebih lama aku pun segera bersiap untuk kembali ke kampung halaman ku.
Di perjalanan aku segera menelpon Bella dan memberi tahu situasi yang tengah aku alami. Ia pun mengerti dan bersedia membantu pekerjaan ku di butik dengan senang hati. Bella sangat baik dan tulus, aku terlalu kejam padanya tadi malam. Padahal Bella tidak salah karena membangunkan ku, tapi aku malah membentaknya hanya karena mimpi itu. Aku harus segera meminta maaf pada Bella saat kembali ke ibu kota nanti.
Aku menyetir dari ibu kota sendirian, aku terlalu panik dan tidak sabar untuk menunggu supir tiba. Berjam-jam lamanya akhirnya aku pun sampai di desa yang terlihat tak asing di mataku. Walau sudah cukup lama aku meninggalkan tempat ini, nyatanya tidak ada yang berubah.
Suasana sore hari ini sama persis seperti yang ada di dalam mimpi ku. Akan tetapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain, karena kini nenek adalah prioritas ku.
"Nenek"
Tanpa sadar aku menitikkan air mata, aku tidak kuasa melihat keadaan nenek ku tercinta yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang. Pemandangan ini membuat ku sesak.
"Eve, nenek rindu" ucapnya lirih, detik itu juga aku merasa diriku adalah cucu yang buruk dan tidak tahu diri.
Sedari kecil nenek lah yang telah merawat dan menjaga ku. Nenek mengambil peran penting dalam hidupku, menjadi sosok ayah dan ibu---menggantikan mereka yang telah lebih dulu berpangku pada yang maha kuasa.
"Maafin Eve nek, maaf" hanya itu yang bisa aku ucapkan di sela isak tangis ku.
Di dunia ini hanya nenek yang aku punya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika nenek juga ikut pergi menyusul ayah dan ibu. Membayangkan saja membuatku ingin pingsan.
"Nenek nggak apa-apa. Ini cuma faktor usia...uhuk-uhuk!"
"Ayo nek, kita ke rumah sakit sekarang. Nenek harus mendapat pengobatan terbaik!"
"Nenek lebih nyaman di sini"
Sekeras apapun aku menyakinkan nenek, beliau tidak akan pernah mau menyetujuinya. Ini benar-benar membuatku putus asa, aku hanya dapat memanggil dokter untuk merawat nenek. Apalagi di desa ini tidak ada rumah sakit karena penduduknya sangat sedikit. Akibatnya nenek tidak bisa mendapatkan pengobatan maksimal.
Akhirnya karena kondisi nenek yang tidak baik-baik saja aku memutuskan untuk kembali menetap di sini sementara waktu. Aku tidak perduli dengan pekerjaan ku yang menumpuk dan pastinya kehilangan banyak tawaran.
Di rumah nenek tidak begitu sepi seperti biasanya karena ada dokter dan dua suster yang ku pekerjakan untuk menjaga dan merawat nenek.
"Kamu nggak pulang ke kota? Kamu pasti banyak pekerjaan...uhuk-uhuk!!"
Aku menggeleng lemah.
"Pekerjaan itu bisa aku selesaikan nanti, fokus aku sekarang cuma nenek"
Nenek hanya diam, ia meminta ku untuk menemaninya menikmati teh di teras rumah. Padahal sudah ku larang, namun beliau bersikeras ingin keluar dari kamar dengan alasan bosan.
"Nggak terasa, sekarang umur mu sudah 26 tahun ya Eve"
"Iya nek"
Tak tahu kenapa firasat ku jelek jika nenek mulai membahas tentang umur ku.
"Kapan kamu menikah? Nenek tidak sabar mau gendong cicit. Tahu sendiri kan nenek semakin tua"
Ini bukanlah kali pertama nenek membahas soal pernikahan. Jangan kan untuk menikah, aku bahkan tidak memiliki pacar. Aku tidak tertarik dengan hal semacam itu dan tidak berniat untuk melakukannya. Aku kaya, uang ku banyak, jadi aku berfikir tidak perlu untuk menikah.
"Jangan bahas-bahas umur deh nek. Aku nggak ada pikiran untuk menikah, tahu sendiri aku nggak pernah pacaran"
Nenek tersenyum tipis mendengar jawabanku.
"Sebetulnya nenek sudah ada calon untukmu Eve. Dia pria yang baik, nenek mempercayakan dia untuk menjaga kamu kalau nanti nenek sudah tidak ada"
Hatiku berdenyut sakit mendengar ucapan nenek. Dari ekspresi wajahnya saja, terlihat jelas nenek sedang tidak main-main.
"Besok dia akan datang ke sini, tolong kamu jamu dia dengan baik" pinta nenek.
Aku tidak sanggup menolak keinginan nenek, jadi aku hanya bisa diam dan pasrah sembari menatap taman mini yang berada di pekarangan rumah nenek.
-Who Are You-
Pagi kembali datang, sinarnya cahaya mentari menyinari bumi, Angin pagi menusuk membuat bulu kuduk berdiri. Pemandangan pepohonan hijau menenangkan hati. Aku menghirup kuat-kuat udara segar menyehatkan ini karena udara di ibu kota sangat menyesakkan.
Biasanya pagi-pagi begini aku sudah siap untuk pergi ke butik atau bersiap untuk melakukan pemotretan. Tapi hari ini aku kembali ke rutinitas dulu, menyiram tanaman, berkebun, memetik sayur dan bunga, memberi pakan ternak kesayangan nenek dan lain-lain.
Ini sangat menyenangkan, aku menikmati kegiatan ini sembari melepas lelah akibat padat nya jadwal kerja ku di ibu kota. Selain menjaga dan menemani nenek yang sakit, hitung-hitung aku juga berlibur di sini. Rasanya sangat nyaman, tidak akan ada yang mengusik ku di sini.
"Permisi..."
Suara bariton itu menyapa indra pendengaran ku. Aku yang tengah memetik tomat pun sontak mengalihkan pandangan menatap sang pemilik suara.
Di depan pagar kayu sana terlihat seorang pria tampan dengan pakaian santai. Kulit putih, rambut hitam, hidung mancung, bibir merah, serta mata sipit. Sungguh memanjakan mata. Namun jika di bandingkan dengan pria yang selalu muncul dalam mimpiku, Erland bukanlah apa-apa.
Sebenarnya aku terkejut mendapati siapa yang bertamu pagi-pagi begini. Tak di sangka, orang yang nenek maksud kemarin adalah erland?! Hah...Sungguh membuat ku bertanya-tanya, dari mana mereka saling mengenal.
"Morning, Eve" sapanya sembari tersenyum manis, seakan-akan kejadian beberapa hari lalu di restoran tidak pernah terjadi.