13. The Stage

19 3 0
                                    


Aku langsung melangkah mendekati pola berbentuk anak panah. Pola tersebut berada tepat di bawah huruf 'N' dengan segitiga berwarna yang memisahkan antara pola itu dengan pola yang lainnya.

Mataku memperhatikan ke mana arah yang ditunjuk oleh segitiga tersebut. Itu pintu lain yang ada di ujung ruangan ini. Aku menyadari beberapa hal saat berdiri di atas pola berbentuk anak panah. Garis cahaya mulai terlihat ketika pola tersebut mengeluarkan cahaya kekuningan. Pandanganku mengikuti ke mana garis tersebut berakhir. Pintu yang ada di seberangku, menjadi akhir dari garis cahaya yang kulihat. Seketika tubuhku merinding begitu angin kencang menyapa kulitku. Apa lantai empatpuluh sembilan memang sedingin ini?

Suara gesekan lembar kertas terdengar kembali ketika angin kencang berembus melewati pintu yang terbuka. Beberapa lembar kertas berterbangan terbawa angin hingga berserakan di sekitar pola-pola yang kupijak. Aku tetap dapat melihat garis cahaya tersebut meski dedaunan kering menutupi jalan yang akan kutempuh. Setelah semua ini, mari melihat akhir yang sebenarnya.

"Ayo kita lihat tempat itu."

Aku melangkah melewati benda-benda yang berserakan. Kakiku beberapa kali menginjak dedaunan kering hingga menimbulkan suara menyebalkan. Sambil menggenggam pegangan pedang, diriku dalam posisi bersiap alih-alih berjalan cepat menuju pintu tersebut.

Aku tidak tahu apa yang ada di ujung sana. Jelas saja diriku bersiaga agar menghindari serangan mendadak yang dapat menimbulkan luka lumayan parah. Walau aku memang telah melatih tubuhku untuk beradaptasi di tempat ini, serangan tiba-tiba pun dapat berakibat fatal jika aku tidak segera menghindar.

"Dan saat ini di luar sana adalah petunjuk terakhir yang baru aku lihat."

Saat langkahku terhenti di depan pintu. Indra penglihatanku menangkap banyak sekali pola berbentuk anak panah yang melayang di udara. Semua cahaya itu terlihat sangat terang, bahkan mengalahkan terangnya langit sore di dalam lantai tower kali ini. Semua anak panah itu melayang saling menunjuk satu sama lain, membentuk lingkaran. Dan seketika berubah menjadi pola baru yang terlihat lebih lebar melayang di udara.

Apa maksud dari semua ini?

Telingaku berdengung ketika pola baru itu berputar. Suara lonceng terdengar berdenting begitu cepat saat aku memperhatikan perubahan pola tersebut. Pandanganku terlihat buram dalam beberapa saat. Entah kenapa, tiba-tiba tubuhku limbung.

"Apa kamu mendengar ini?"

Suara seorang laki-laki muncul di telingaku. Aku ragu dengan apa yang kudengar, tetapi suaranya terasa sangat familier. Diriku seperti kenal dengan suara ini.

"Kamu harus membantai Camelot."

"Kamu harus membunuh Casselion."

Suara itu semakin bertambah kencang. Kepalaku menjadi pusing begitu mendengar apa yang diucapkan suara itu. Kata-kata yang kudengar saat ini seperti apa yang selalu menghantui kepalaku tiap kali berhadapan langsung dengan Casselion.

Aku melihat banyak lembar kertas yang beterbangan dari dalam pola besar di udara tersebut. Kertas-kertas itu memasuki bangunan tadi dan membuat tempat boss terakhir dipenuhi oleh lembaran asing yang berputar seperti badai di dalamnya. "Ke-kenapa semua kertas itu pergi ke sana?"

Seolah pusat dari lantai ini adalah tempat itu.

Aku bergerak kembali menuju bangunan tadi. Suara-suara di telingaku tidak berhenti bermunculan saat aku sedang berlari ke sana. Tidak, jangan menggangguku seperti ini. Diriku tidak terlalu nyaman karena semua ini.

"Kamu harus berperan seperti karaktermu!"

Orang di telingaku berteriak. Suaranya yang kencang seketika membuat badai tadi menghilang. Kertas-kertas kosong berserakan terlihat sangat kacau. Dan di tengah-tengah pola yang tadi aku lihat. Terlihat cahaya putih berkabut yang melingkar seperti gerbang teleportasi yang digunakan oleh Pak Tua Merlin. Aku melihat angka limapuluh melayang di atas gerbang tersebut, seolah menjadi penghubung antara lantai ini dengan lantai yang akan segera aku tuju.

Akhirnya, aku dapat melihat akhir dari dunia ini. Dan aku dapat melihat takdir yang telah mengekangku.

Suasana terasa sangat dingin saat aku mulai mendekat ke arah gerbang tersebut. Atmosfer ini lebih dingin daripada lantai duapuluh yang didominasi oleh dataran es. Gerbang tersebut mengeluarkan kerlipan kekuningan saat aku melihat lebih dekat. Jantungku berdetak lebih cepat begitu melihat bayang-bayang wajahku yang memantul di dalam gerbang tersebut.

Mataku terpejam. Suara-suara yang biasanya kudengar perlahan menjadi sunyi. Tempat ini benar-benar berubah tanpa suara ketika aku berdiri di depan gerbang.

Dengan segenap keyakinan hati dan perasaan percaya diri. Aku melangkahkan kakiku ke dalam lingkaran cahaya di depanku. Setelah diriku benar-benar telah melangkah. Pandanganku mulai memburam tergantikan dengan cahaya putih perlahan memasuki indra penglihatanku. Aku akan tetap maju, seberat apa pun rintangan di depanku.

"Kamu akan melihat akhir setelah perjalanan ini."

Suara pemandu yang sempat memberitahu mengenai teka-teki di lantai empatpuluh sembilan terdengar kembali. Aku melanjutkan langkahku meski tahu tidak ada ujung dari gerbang cahaya ini. Meski kesunyian yang akan menemaniku, tetapi aku tidak akan pernah menyerah untuk melihat petunjuk yang diberikan oleh lembaran buku saat aku baru memasuki tempat ini.

Aku memang tidak ada gambaran mengenai lantai limapuluh. Entah itu samudera yang penuh dengan kelam. Atau neraka yang diikuti rasa takut. Tempat apa pun, semuanya akan aku lewati. Dan walau beribu-ribu abad waktu berlalu di dalam gerbang ini, aku tetap mengejarnya. Harapan itu. Harapan di mana aku dapat melihat dunia melalui sudut pandang yang lebih jelas. Harapan untuk membalaskan rasa sakit Eric. Juga harapan agar Camelot benar-benar damai. Walau aku bukan lagi bagian dari mereka yang memperjuangkan keselamatan.

"Aku harap lembaran kertas itu tidak pernah salah."

Mataku berkedip sesaat setelah aku mengucapkan perkataan tersebut. Samar-samar aku melihat kembali sesosok orang mirip diriku yang sedang berdiri dari jarak beberapa meter. Seolah dia telah memperhatikanku sejak aku pertama kali memasuki gerbang ini. Apa kamu bagian dari lantai limapuluh?

Aku memperhatikan orang di depanku dengan saksama. Rambutnya yang putih bersih. Mata merah serta rahang yang tegas. Kulit putih pucat yang terdapat kantung mata kehitaman. Dia seperti diriku. Diriku dahulu yang tidak tahu apa-apa saat orang-orang mulai mengarahkan pedangnya ke arahku.

Sorot mata orang di depanku terlihat sendu. Tubuh tinggi tegap yang memakai pakaian biru berjubah merah itu bergetar. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan sampai seluruh tubuhnya bergerak sangat memprihatinkan. Namun, sebagai orang yang memiliki tampilan itu. Aku dapat meyakini jika rasa bersalah menghantui orang itu. Ekspresinya mirip saat aku bercermin setiap selesai menangis merindukan Ibunda yang telah tiada.

"Sepertinya, aku yang ada di tempat ini sangat beruntung, ya," ucap seseorang yang penampilannya mirip dengan diriku.

***

1007 kata

Tiran Sadboy Terjebak Dalam Novel Mainstream [Season 1 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang