19. The Road

13 1 0
                                    

"Hei, apa kamu juga salah satu orang yang terjebak di tempat ini?" tanyaku sambil tetap memperhatikan tingkah orang itu.

Dia masih diam. Tentu saja seperti tidak menghiraukanku. Justru kini pandangannya menatap lebih dalam ke luar kaca yang dipenuhi kegelapan. Setelah itu, kedua lubang kupingnya ia sumbat dengan benda kecil di setiap telinganya, yang terhubung langsung melalui tali panjang yang saling bertautan. Sepertinya dia memang tidak ingin berbicara denganku.

Aku pun mencari posisi tempat duduk yang paling nyaman di gerbong ini. Diriku duduk di kursi kelima, tepat beberapa baris berseberangan dengan kursi orang tadi. Lalu tubuhku bergerak menuju ke sisi jendela dan meletakkan Garula yang tertidur di kursi kosong yang ada di sampingku.

Pundakku bersandar di sandaran kursi yang lumayan empuk itu. Lalu mencoba memejamkan mata untuk ikut beristirahat seperti Garula. Sudah beberapa hari aku memasuki tower ini, dan rasanya tubuhku sangat lelah karena tidak bisa tidur dalam beberapa hari tersebut. Aku terus melaju dan melanjutkan perjalananku menuju tempat ini. Tidak pernah terbesit pun untuk memejamkan mata, karena sedikit waktu yang aku habiskan di tower mungkin akan bergerak lebih jauh. Seperti orang-orang menyebutnya, bahwa waktu di dalam tower mungkin telah terhenti.

Lokomotif ini terasa nyaman dan berbau menenangkan. Aku tidak tahu aroma apa yang kucium. Selain campuran aroma kopi yang khas, ada sedikit aroma pohon ek yang lumayan menyengat. Bau seperti kayu yang dibakar di atas gumpalan salju. Sensasi ini mengingatkanku saat pesta perburuan dan aku terjebak di dalam hutan akibat ulah beberapa bangsawan.

Perasaan ini terasa sangat nostalgia untukku. Sensasi dingin dari musim dingin serta hangatnya lokomotif yang kutumpangi. Berpadu menjadi satu, lalu menemani perjalanan kali ini dengan penuh perasaan terima kasih. Karena dapat meluangkan waktu untuk sedikit duduk atau sekadar memejamkan mata. Ya ... walaupun akhirnya aku juga yang harus waspada dengan segala tekanan yang akan datang.

"Pada salju terakhir ini .... Aku serahkan semuanya. Antara rasa sakit atau kebaikan. Di tempat ini ... kuucapkan selamat tinggal."

Laki-laki itu bersenandung. Aku mendengar suaranya yang sangat merdu. Dari suaranya yang serak. Diriku dapat mendengar banyak pilu serta dambaan untuk seseorang, melalui bait demi bait syairannya.

Tubuhku gemetar saat lokomotif yang kutumpangi tiba-tiba mengeluarkan bunyi roda bergesekan. Aku memegangi Garula kembali, lalu mendekapnya erat-erat. Sambil tetap mempertahankan posisi dudukku, agar goncangan di lokomotif ini tidak terlalu memberikan dampak parah. Baik untuk Garula yang tertidur, atau diriku yang masih kelelahan.

"Santai saja, memang kereta tua ini akan seperti itu setiap kali akan keluar menuju lautan luas."

Suara seorang laki-laki kembali terdengar. Aku menoleh melihat seseorang yang sedang duduk di kursi yang ada di barisan kedua. Suara serak yang berbicara denganku itu terdengar seperti miliknya. Alisku tertaut saat melihat orang itu tidak menoleh sedikit pun.

"Apa kamu selalu menaiki lokomotif ini?" tanyaku. Lalu kelopak mataku berkedip saat mendapati pemandangan hitam di jendela tadi tiba-tiba berubah menjadi hamparan lautan musim dingin yang begitu indah. "Kita akan menuju ke mana setelah ini? Apa di tempat itu akan ada monster yang mengerikan atau teka-teki penuh misteri?"

"Tidak ada semua itu."

"Lantas, lokomotif ini akan membawaku ke mana?"

Tiran Sadboy Terjebak Dalam Novel Mainstream [Season 1 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang