Bagian 5 - 6

36 12 0
                                    

5

Hari demi haripun berlalu, aku duduk di kamar, menatap langit malam yang penuh bintang. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, sesuatu yang membuatku merasa bingung dan dilema. Dan itu adalah penyesalan, penyesalan atas pengakuan cinta yang baru saja aku lakukan.

Sial, kenapa juga aku harus merasakan itu. Dia sahabatku, gadis yang telah aku cintai, tapi aku tahu, mengungkapkan perasaan itu mungkin dapat merusak persahabatan kami. Namun, aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi, jadi aku memutuskan untuk mengungkapkannya.

Misel membutuhkan waktu untuk berpikir, dan aku memberinya waktu itu. Tapi setiap hari yang berlalu, setiap detik yang berlalu, membuatku merasa semakin menyesal.

Aku merasa menyesal karena mungkin aku telah merusak persahabatan kami. Aku merasa menyesal karena mungkin aku telah membuat Misel merasa tidak nyaman. Aku merasa menyesal karena mungkin aku telah membuat segalanya menjadi rumit. Pikiranku sangat kacau saat itu, sangat kacau.

Aku mencoba berbicara dengan Misel, mencoba menjelaskan bahwa aku tidak ingin merusak persahabatan kami. Tapi setiap kali aku mencoba, aku merasa takut. Takut bahwa aku hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Hingga suatu hari dia mengajakku untuk bertemu ditaman sekolah,

"Bayu, kita perlu bicara," kata Misel, dia terlihat serius, dan itu membuatku merasa cemas.

"Misel, aku..." Aku mencoba berbicara, tapi dia mengangkat tangannya, memintaku untuk diam.

"Bayu, aku sudah berpikir tentang ini," katanya. "Dan aku rasa... aku rasa kita harus menjaga jarak untuk sementara waktu."

Aku terdiam. Aku merasa seperti ditampar. Aku merasa seperti jantungku hancur. Aku merasa seperti dunia berhenti berputar.

"Misel, aku..." Aku mencoba berbicara lagi, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokanku.

"Maaf, Bayu," kata Misel, suaranya lembut. "Aku butuh waktu untuk berpikir tentang ini. Aku butuh waktu untuk memahami perasaanku."

Aku mengangguk, meski hatiku berteriak menolak. Aku mengerti, aku mengerti bahwa ini adalah hasil dari tindakanku. Aku mengerti bahwa ini adalah penyesalan yang harus aku tanggung.

Sejak hari itu, aku dan Misel menjaga jarak. Kami masih berteman, tapi tidak seperti sebelumnya. Tidak ada lagi tawa dan cerita. Tidak ada lagi belajar bersama. Tidak ada lagi kami.

Setiap hari, aku merasakan penyesalan yang mendalam. Aku merasa menyesal karena telah merusak persahabatan kami. Aku merasa menyesal karena telah membuat Misel merasa tidak nyaman. Aku merasa menyesal karena telah mengungkapkan perasaanku.

Tapi di tengah penyesalan itu, aku juga merasakan sesuatu yang lain. Aku merasakan rasa sakit, rasa kehilangan, dan rasa rindu. Aku merindukan Misel, sahabatku, gadis yang aku cintai.

Misel, maafkan aku, aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku tidak ingin seperti ini, jauh dan asing. Misel aku rindu, maafkan perasaanku saat itu..

6

Pagi itu, aku mencoba menghibur diri dirumah dengan membersihkan kamar, cuci sepatu, cuci baju dan semua kesibukan yang bisa membuatku lupa soal kemarin. Mumpung hari minggu pagi ini cuacanya agak cerah gitu.

Setelah bertarung dengan semua kesibukan itu akhirnya selesai juga. ahh, lega rasanya, badan rasanya agak sedikit cape tapi tak apa, dari pada harus memikirkan masalah kemarin yang lebih menguras pikiran.

“Yu, makan!” Teriak ibuku dari dapur.

“Iya bu” jawabku sambil bergegas ke dapur untuk makan.

Akupun makan bersama ibu di dapur saat itu, oh tuhan tidak ada kenikmatan yang lebih nikmat dari masakan ibuku.

Setelahnya aku duduk diruang tamu untuk menonton tv, sambil menikmati teh hangat buatanku. Aku mendengar suara telepon rumah berdering,

“Bu ada telpon!” Aku memanggil ibu.

Karna tidak ada jawaban dari ibu, akupun segera mengangkat telepon itu.

“Hallo”

“Iya, hallo bisa bicara dengan bayu?”

“Iya saya sendiri ini siapa?” Tanyaku.

“Hai yu, ini aku misel.”

Aku terdiam dengan jantung yang berdebar, sedikit senang bercampur bingung, kenapa tiba-tiba dia menelepon gumamku.

“Oh iya sel, kenapa?”

“Sore nanti ada waktu gak? Aku mau ajak kamu jalan. Bisa?"

Aku terdiam sejenak,ah.. mau mati saja rasanya, sambil memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang akan terjadi. Tolong lah biarkan aku sehari saja tenang tanpa memikirkan semua tentang kamu misel.

“Iya bisa-bisa”

“Okedehh, sampai ketemu nanti sore jam 15.00 jangan telat jemputnya.” ucap misel dan langsung menutup teleponnya.

“Sial.” Kata yang bisa aku ucapkan waktu itu.

Sorepun tiba, aku bersiap-siap dengan motorku langsung menjemputnya dirumah. Kami hanya keliling kota saat itu sambil membicarakan yang tak lain tentang pelajaran dan kampus yang akan dimasuki nantinya setelah lulus.

“Kita mampir beli minum yuk, sambil duduk di pantai. sunsetnya bagus, lumayan buat foto-foto” ucapnya sambil menepuk bahuku.

“Oh.. iya - iya, kita mampir beli minum dulu” jawabku sambil langsung mengarahkan motor ke sebuah minimarket.

Setelahnya kami duduk di tepi pantai sambil menikmati senja saat itu, tapi satu hal yang tidak aku tahu, jika hari itu adalah hari terberat dalam hidupku.

“Sunsetnya bagus yah” ucap misel sambil menatap sayu ke arah senja.

“Iya bagus”

“Yu aku mau ngomong, soal jawaban aku” ucapnya lagi yang membuat aku langsung melirik kearahnya.

"Bayu, aku menghargai perasaanmu," katanya, matanya menatapku dengan lembut. "Aku menghargai keberanianmu untuk mengungkapkannya. Tapi..."

"Aku rasa, kita sebaiknya tetap menjadi sahabat," lanjutnya.

Aku terdiam. Aku merasa seperti ditampar. Aku merasa seperti jantungku hancur. Aku merasa seperti dunia runtuh.

"Misel, aku..." Aku mencoba berbicara lagi.

"Maaf, Bayu," kata Misel, suaranya lembut. "Aku tahu ini mungkin sulit untukmu. Tapi aku rasa ini yang terbaik untuk kita berdua.

Aku mengangguk, meski hatiku berteriak menolak. Aku mengerti bahwa ini adalah hasil dari tindakanku. Aku mengerti bahwa ini adalah penyesalan yang harus aku tanggung.

“Udah santai aja, gosah merasa bersalah gitu.” Sambil menahan air mata agar tidak jatuh.

“Kita kan tetep bakalan kek dulu kan? Udah santai aja. Awas aja kalo persahabatan kita renggang karna ini" lanjutku sambil mencoba menenangkan hati.

“Iya bayu.”

“Eh dah gelap, pulang yok” ajakku.

“Yodah, yuk” jawabannya.

Kamipun pulang dengan diam seribu bahasa saat itu, aku mengantarnya kerumah. Setelahnya akupun kembali kerumahku.

Selama perjalanan, aku hanya bertanya-tanya didalam pikiranku, ditemani air mata yang jatuh tanpa aba-aba. Apakah akan seperti dulu? Pertanyaan yang selalu aku lontarkan untuk diriku sendiri pada malam itu.

Entahlah, mungkin aku adalah orang yang paling bodoh karna mencintai sahabatku sendiri, yang seharusnya tidak aku lakukan.

Jika waktu seandainya bisa diputar kembali..

Kena-ngan AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang