Bagian 7 - 8

31 11 4
                                    

7

Hari-hari setelah hari itu aku terasa seperti roller coaster emosional. Setiap kali bertemu dengannya, hatiku berdebar-debar, berharap mungkin ada perubahan dalam perasaannya. Awalnya, rasanya sangat sulit untuk menahan kecewa. Setiap kali aku berbicara dengannya, hatiku terasa berat. Aku mencoba menyembunyikan perasaanku, mencoba tersenyum meskipun hatiku masih terluka.

Di beberapa kesempatan, aku merenung sendiri, memutar ulang percakapan kami. Aku bertanya-tanya “apa yang salah dengan perasaanku? apakah aku harus terus menyimpannya atau mencoba melupakan semuanya?”.

Saat di sekolah, aku berusaha menahan emosiku. Aku terus mencari cara untuk menjaga kebiasaan dan rutinitas, tetapi kadang-kadang pikiranku terlalu fokus pada kenangan dengan Misel. Aku merasa sulit berkonsentrasi pada pelajaran atau kegiatan ekstrakurikuler, “Ah, kenapa harus kepikiran terus sih!?”

Teman-temanku mencoba membantuku melewati masa sulit ini. Mereka mengajakku hang out, mengundangku ke pesta, atau sekadar berbicara.

“Yu, ikut nggak?” Ajak aryo.

“Kemana?” Tanyaku.

“udah ikut aja, itung-itung healing lah. kesel aku liat muka kamu kalo lagi sedih gitu, jelek tau bawaannya pengen aku aspal. hahaha!” Ucap aryo yang berusaha menghiburku.

“Ye dasar anak pak bambang! yodah aku ikut, btw thank's yo dah hibur aku.”

“Lebay banget, dah gosah galau mulu. lakik kok galau.”

Itulah aryo teman sekelasku yang selalu bantuin aku jika ada masalah.

Akupun menerima ajakan aryo, yah meskipun teman-temanku berusaha keras buat hibur aku, mereka tetap tidak tahu betapa hancurnya hatiku.

Setelah pulang, akupun sering menghabiskan waktuku di rumah, aku mencoba menenangkan diri. Aku mencari hiburan dengan membaca buku-buku, menonton film, atau menulis cerita dan puisi. Ini lumayan membantu sedikit demi sedikit, memberiku kesempatan untuk melupakan perasaanku sesaat.

Di sekolah ketika berinteraksi dengan Misel, dia selalu mencoba memperlakukan aku seperti biasa. Itu membuatku merasa bingung, sangat bingung. Rasanya aku ingin menjaga jarak agar perasaanku tidak semakin dalam, tetapi aku tak ingin kehilangan kebersamaan kami.

“Yu, kekantin bareng yuk?” Ajak misel.

“Eh, ha?”

“Malah bolot (tuli), AYO KEKANTIN BARENG!” Teriak misel nampak kesal.

“Oh ya, iya Ayok!” Jawabku.

Seandainya kamu bisa membaca isi hatiku saat itu misel.

Di malam hari, aku sering merenung sendiri di kamarku. Aku bertanya pada diriku sendiri apakah aku harus melanjutkan perasaan ini atau mencari cara untuk melepaskannya. Itu membuatku gelisah. Aku tak ingin menghancurkan persahabatan kita, tapi aku juga harus berjuang dengan perasaan ini. “Aku harus dewasa dalam menyikapi ini..”

Minggu-minggu berlalu, dan aku mulai memahami bahwa cinta tak selalu berjalan sesuai rencana. Aku harus menerima kenyataan bahwa Misel hanya melihatku sebagai teman. Meskipun sulit, aku harus mencari cara untuk menyembuhkan hatiku dan tetap menjaga persahabatan yang telah kami bangun selama ini.

*

Hari itu, suasana di sekolah terasa seperti biasa. Aku, merasa bersemangat untuk bersekolah, ah sekalian aku ingin bertemu dengan Misel. Aku ada urusan dengannya soal lomba olimpiade sains yang akan diselenggarakan sekolah, aku terpilih sebagai panitia dan miselpun juga. Namun, ketika aku sampai di kelas, hatiku berdegup kencang melihat kursi Misel yang kosong.

Kena-ngan AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang