PROLOG
"Sudah berkali-kali aku bilang, Ma! Tidak ada yang salah denganku! Kenapa Mama selalu seperti tidak punya pekerjaan lain selain membuat aku merasa tidak berarti!"
Maya keluar kamar dengan emosi yang sudah membuncah di ubun-ubun. Setiap kali perempuan yang adalah ibu kandungnya itu muncul, selalu ada masalah yang ikut berdatangan. Setidaknya, itu yang yang terpatri dalam pikiran Maya. Bahwa ibunya adalah sumber segala masalah.
"Berapa umurmu, Maya?! Sebenarnya apa yang sudah dilakukan ayahmu, sampai kamu tidak bisa membedakan mana yang masuk akal, mana yang tidak?" tanya ibunya sambil mengekor ke mana pun gadis kurus itu pergi. "Apa dia sudah mencuci bersih isi otakmu? Apa dia melakukan praktek hipnotis padamu?"
Maya yakin, kehadiran ibunya memang bertujuan untuk menyakiti mentalnya. Perempuan itu tidak ingin Maya melewatkan satu kata pun dari semua omelannya. Ia hanya butuh perhatian dan didengarkan oleh anak perempuan tunggalnya.
"Maya, dengarkan Mama." Ia tak sudah lelah. Perempuan bernama Kate itu menangkap tangan anaknya.
"Lepas, Ma."
"Tidak. Dengar dulu." Kate ngotot. Maya melotot. Mereka menjeda pembicaraan yang terpaksa itu selama 2 detik.
"Apa? Cepatlah bicara sebelum aku muak dan muntah di wajahmu."
"Apa yang dia lakukan padamu."
"Cih." Maya menolak untuk menjawab pertanyaan ibunya. Ia mengibaskan tangan pada saat yang tepat. Ketika genggaman tangan ibunya melemah.
"Temanmu yang memberi tahuku. Aku tidak menuduhmu tanpa alasan. Dia mengatakan semuanya. Dan aku membutuhkan pengakuanmu. Kita bisa membawanya ke jalur hukum."
"Jangan sok perduli padaku!"
"Kamu anakku."
"Tapi baru dalam keadaan begini kamu berpihak padaku. Ke mana saja kamu ketika aku membutuhkan seorang ibu? Apa yang akan kamu dapatkan kalau menjeratnya dengan hukum?"
Ibunya diam.
Maya menyunggingkan senyum sinis. "Jadi, kalau kamu mendapatkan asetnya, berapa banyak bagian yang akan kamu bagi denganku?"
Kate masih diam. Ia menatap Maya dengan tajam. Tapi ia tak bergerak sama sekali.
"Ah, aku sudah tahu rencanamu." Maya mendengus kemudian melangkah keluar rumah.
Namun belum lama, langkah itu terhenti. Ketika dua orang lelaki berseragam putih dan biru muda pastel menghadang Maya dengan senyum yang lebih mencurigakan dari apa pun yang pernah gadis itu temui dalam hidupnya. Ia merasa dikhianati. Seharusnya ia tahu kalau Kate memang tak pernah punya niatan yang baik darinya.
Maya sudah kehabisan waktu untuk lari. Tidak ada waktu untuk sembunyi. Kalau sejak awal ia tahu ibunya datang bukan sendirian, ia pasti tak akan membukakan pintu. Memang salahnya menganggap Kate akan berubah. Salahnya berpikir bahwa Kate akan memperlakukan dirinya seperti—paling tidak anaknya.
Bukan tawanan seperti ini.
Meski mencoba memberontak dan mengelak, seorang dari lelaki itu sudah mencekal kedua lengan Maya. Yang satu lagi menenangkannya dengan sebuah benda berbentuk ballpoint.
Bunyi 'klik' menusuk lengannya yang kurus. Yang pelan-pelan membuat gadis itu merasa lebih ringan dari helaian rambut. Kakinya lemas. Ia nyaris tersungkur ke tanah.
Seperti awal batas sebuah mimpi. Maya merasakan perubahan suhu di permukaan kulitnya. Cuaca mendadak dingin. Pandangannya seketika memburam. Kini bukan karena telah menerima keadaan, Maya terpaksa memegang erat lengan lelaki yang mencekalnya tadi. Ia butuh tempat menyandar dari kebingungan yang menyerang otaknya.
Sekian waktu, emosinya jadi agak mendingan. Marahnya pelan-pelan hilang. Semua terasa biasa, meski ia terus bertanya-tanya tentang langkahnya yang tak pernah sampai.
Maya bergumam tak sabaran, "Kenapa susah sekali sampai di sana?" Ia menunjuk-nunjuk pintu rumah.
Lalu Kate tersenyum. Ia mendekat pada Maya, anaknya. "Anak Mama..." ujarnya sambil memberanikan diri untuk mengelus rambut Maya. Seolah Maya adalah seekor beruang yang baru saja dianestesi untuk dipindahkan ke kandang dari alam liar. Kemudian mereka menuntun gadis kurus itu pergi.
Setelah perselisihan mereka bertahun-tahun, ini pertama kalinya Maya tidak punya keinginan untuk melabrak Kate seperti biasanya. Ia membiarkan ibunya menuntun tubuhnya menjauh dari rumah. Rumah yang penuh kenangan. Tentang Alesia, gadis yang disukainya serta perpisahan mereka.
Maya sudah tak lagi punya tenaga. Ia membiarkan ibunya duduk di sebelahnya. Sempat ia pikir kalau dendam sudah tak ada lagi di antara mereka. Maya merasa nyaman dan damai. Semua mungkin sudah berubah. Ibunya mungkin sudah mencintainya. Mungkin ia sudah berubah.
Kemudian kelegaan itu ditutup dengan rasa lelah dan mengantuk. Maya tak lagi menghiraukan keberadaan dua lelaki yang kini duduk menyetir di depan sisi depan mobil.
Maya merebahkan kepala di pangkuan ibunya. Ia senang karena Kate berhenti mengomel dan tidak memarahinya lagi.
"Mama, kita akan pergi ke mana?" tanya gadis itu. Suaranya sengau dan mulai tak enak didengar.
"Kita akan pergi ke tempat yang baik buatmu," kata Kate tenang. Tangannya masih bermain dengan rambut-rambut kecil di dahi anak perempuannya. Kadang ia menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga Maya.
"Mama, masih marah padaku, ya?" tanya gadis itu lagi sambil menguap. Matanya sepat. Pelan-pelan Maya menutup mata.
"Tidak. Mama tidak pernah marah sama Maya," bisik Kate. Suaranya bergetar disela deru mesin mobil.
"Kalau begitu kenapa Mama tidak mengajak Ayah pergi dengan kita?" tanya Maya. Meski jawabannya sudah tak penting lagi. Dan ia tak yakin bisa mendengarnya dengan jelas.
Kemudian pada pembahasan lain, Maya bicara apa pun yang ada dalam pikirannya. "Mama, aku sedang tertarik pada seseorang."
"Anak Mama sudah besar."
"Namanya Ale..." Maya menarik nafas panjang, menerima gelap ini sebagai tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
6. Selamat Pagi, Maya GXG (END)
Romance18+ Pasca pemerkosaan yang dilakukan ayahnya, Maya diseret ke dalam panti rehabilitasi mental. Kekasihnya, Alesia telah meninggalkannya. Kini Maya harus menghadapi traumanya sendiri.