4
Maya.
Gadis itu terbangun masih dalam kebingungan. Pagi hari masih nampak asing baginya. Ditambah, ada desakan luar biasa dari kantong kemihnya.
"Tentu, aku masih di kamar yang sama seperti kemarin. Tidak ada yang memindahkanku. Tak ada yang menjemputku untuk keluar dari sini. Tidak Ayah, apalagi Mama." Ia menggerutu.
Kemarin, setelah tablet 'sarapan pagi' dan ketiduran lagi, ia sadar sebentar untuk makan siang dan menyelesaikan 'bisnisnya' di toilet. Kamar yang dihuninya terlalu sempit, sehingga mustahil pihak balai rehabilitasi menyediakan toilet untuk kenyamanannya.
Padahal makan dan buang air adalah naluri purba manusia. Maya merasa tersinggung karena tidak dimanusiakan di sini.
Apa yang bisa ia harapkan sekarang? Orang-orang balai rehabilitasi bahkan tak mau pusing untuk menyediakan sesuatu sesederhana kopi untuk penghuni di sini. Mereka hanya menyajikan nasi sekeras kerikil, sayur kangkung hijau yang lembek dan perkedel jagung untuk makan siang.
Jangan tanya alat makan, mereka menggunakan piring kertas dan sendok plastik. Mereka tak memikirkan global warming sama sekali. Mau mengharapkan kamar mandi pribadi? Jangan mimpi.
Maya ingin sekali menyibukkan pikirannya dengan urusan lain yang lebih sederhana. Namun kata 'kencing' terus saja membelenggunya dan membuatnya tersugesti. Ia semakin tak tahan. Ia berlari ke pintu dan segera mengetuk terus-terusan. Ia tak tahu kapan pintu itu akan dibukakan. Tapi ia harus menjadi keras kepala. Ia mengetuk terus. Makin lama makin tak konstan, kadang keras. Namun, ketika nyeri di pinggangnya itu hilang sedikit, ia pelankan lagi ketukan itu. Ia masih berusaha terdengar santun. Tapi sulit rasanya menahan keinginan untuk tidak kencing di celana. Ya ampun.
Dan ketika perjuangan gadis itu nampak hasilnya, seorang perawat melongo dari luar pintu.
"Ada apa?"
"Saya ingin ke toilet. Saya sudah tidak tahan," kata Maya berusaha tegar. Wajahnya panas. Sekarang ia harus memohon untuk kencing? Dunia memang kejam.
Perawat itu mengangguk seolah ia mengerti penderitaannya. Cepat-cepat tangannya menunjuk dua onggok benda di bawah tempat tidur.
PISPOT!
Jangan gila! Maya otomatis marah.
"Serius?"
Maya merasa sehat. Ia masih bisa berjalan normal. Secara fisik ia baik-baik saja. Meski ia agak kurus. Tapi itu memang dari sananya. Maya sudah cukup sabar menunggu apa pun jadwal yang dituliskan baginya meski tanpa persetujuannya. Dan kini mereka menyuruhnya buang air di sebuah kaleng—yang entah sudah berapa orang selama ini yang memakainya?
"Apa benda itu higienis? Bebas kuman? Kapan terakhir kali kalian mencucinya? Bagaimana cara kalian membersihkannya? Mungkinkah aku akan terserang bakteri Ecoli?"
Tapi, perawat itu hanya memandang Maya. Matanya menyiratkan rasa kasihan. Maya semakin geram.
"Apa sih susahnya mengantar saya ke toilet? Memngnya apa yang bisa saya lakukan pada kalian?" tanya gadis itu. Namun tak ada jawaban. Pintu kembali ditutup.
Maya mondar-mandir. Ia sudah tak kuat. Tapi ia tak mau ngompol di sini. Ia juga tak mungkin berjongkok di pispot. Ia tidak sudi.
Masih sambil mondar mandir, Maya mengurut pelipisnya. Kemudian berteriak panjang karena kesal.
"Aku harus menemukan cara. Jam berapa ini? Adakah kunjungan dokter hari ini? Sudah jam berapa ini? Apa susahnya mengantarku ke toilet? Apa susahnya, paling tidak menaruh jam di kamarku, sehingga aku tahu waktu? Apa susahnya mengeluarkanku dari sini? Kenapa aku ada di sini? Rumah penyiksaankah ini? Kalau ini rumah penyiksaan kenapa mereka memberiku makan kemarin? Kalau ini rumah kesehatan, kenapa mereka membiarkanku ingin kencing sekarang? Kenapa aku harus ingin kencing sekarang? Kenapa manusia harus kencing? Kenapa menahan kencing menyakitkan? Kenapa kita harus punya kelamin? Kenapa manusia harus minum air kemudian ingin kencing? Kenapa manusia harus haus kemudian minum kemudian ingin kencing? Kenapa manusia punya tenggorokan yang bisa haus kemudian ingin minum kemudian ingin kencing? Kenapa ada manusia di bumi ini? Kenapa sejak awal harus pergi ke toilet untuk kencing?"
KAMU SEDANG MEMBACA
6. Selamat Pagi, Maya GXG (END)
Romance18+ Pasca pemerkosaan yang dilakukan ayahnya, Maya diseret ke dalam panti rehabilitasi mental. Kekasihnya, Alesia telah meninggalkannya. Kini Maya harus menghadapi traumanya sendiri.