1
Dingin adalah satu-satunya kata yang bisa mendeskripsikan keadaan di sekitar perempuan itu. Permukaan kulitnya kering dan berkerut. Ia merabai lengannya, pipinya yang tirus dan rambutnya yang acak-acakan. Ia sudah lupa bagaimana dia bisa ada di sini. Bahkan ia tak ingat kalau seseorang sudah mengganti bajunya menjadi terusan kebesaran dengan warna yang tidak ia suka. Biru muda. Belum lagi materialnya yang tidak nyaman. Tubuhnya terasa gatal dan bau.
Maya tahu kalau dirinya terbangun di atas kasur di ruangan yang bukan kamarnya. Ruangan itu hanya seluas 9 meter persegi. Temboknya dominan putih. Ada beberapa bekas debu di bagian atasnya sehingga warna putih itu agak buram. Plafonnya bernoda rembesan air yang mengering. Maya membayangkan bentuk jamur di sisi lainnya.
Maya berjinjit karena suhu lantai yang terlalu dingin. Dan ia hanya memiliki satu pilihan sandal. Di mana koleksi sepatunya? Maya memutar tubuhnya beberapa kali untuk mencari. Namun, karena belum melihat satu pun hal yang dikenalnya, ia terpaksa memakai slipper murahan yang tak akan bisa menahan suhu dingin lantai berwarna krem yang membosankan itu.
Perlahan ia menelusuri pinggiran dinding sambil mengumpulkan ingatan yang tak kunjung datang. Ada sebuah meja kayu yang bersih, terlihat di lap setiap pagi. Namun ia tak menyukai meterial kayunya. Sebuah kursi teronggok di sana juga, berbahan kayu lapis yang senada dengan meja itu. Ia pandangi tempat tidur ukuran kecil tempatnya bangun tadi sambil mengernyit. Tidak ada seprai, hanya kain yang membungkus kapuknya. Ia membayangkan akan bertahan berapa lama di tempat ini sebelum terjangkit infeksi saluran pernafasan.
Maya memang selalu punya pembawaan yang tenang. Ia menarik kursi menjauhi meja. Setelah duduk menghadap semua hal di kamar itu, pandangannya tertuju pada satu-satunya pintu kamar yang berwarna coklat kayu.
Lama dirinya menimbang-nimbang. Ia yakin telah dibohongi bahkan dijebak oleh ibunya. Ia pasti telah dibawa dengan paksa ke tempat ini. Maka tempat ini mungkinlah sebuah tempat rehabilitasi, atau asrama untuk remaja dengan kelakuan yang kurang baik. Rumah sakit biasa tak akan menutup pintu untuk seorang pasien. Dan ini jauh dari bentuk kamar hotel. Maya mencoret kata 'hotel' dan 'rumah sakit' dalam daftar identifikasi 'di mana dia sekarang'.
Hingga 5 menit kemudian, Maya memutuskan untuk berdiri kembali dan mencoba membuka pintu di hadapannya. Ia sungguh-sungguh penasaran. Pelan-pelan gadis itu bangun, berjalan tanpa suara ke arah pintu. Ia mengayunkan tangan untuk menjangkau gagang pintu yang dingin dan sudah mengelupas cat besinya.
Lalu begitu saja, pintunya terbuka dengan mudah. Maya tersentak dan mundur selangkah. Muncul di depannya seorang berpakaian rapi memasuki ruangan. Perempuan itu memakai jas kebesaran berwarna putih berkerah biru muda yang membuat kulitnya nampak lebih bersih dari yang—mungkin dimilikinya.
"Silahkan duduk, Maya," katanya.
Maya tak mengatakan apa-apa. Namun suara yang didengarnya begitu mendominasi dalam ruangan itu. Gadis itu tak membantah melainkan mengikuti arahannya.
Maya menonton banyak film bertema psikologi. Dan, dari sana ia tahu kalau melawan dan mencoba kabur dari kamar ini malah akan memperburuk situasinya sendiri. Jadi, gadis itu mencoba bersikap setenang yang ia mampu. Maya menunggu apa yang akan dikatakan orang di depannya.
Ketika Maya telah duduk di sisi tempat tidur, sang dokter menarik kursi kayu ke hadapan pasiennya. Kemudian dengan gerakan yang biasa dan luwes ia duduk di hadapan Maya. Ia melipat kaki kirinya ke atas kaki yang lain untuk menopang sebuah papan bersisi kertas berwarna sama dengan baju terusan Maya.
"Maya, nama saya Dr. Karika. Saya seorang residen di sini. Saya adalah orang yang akan menanganimu sampai sembuh." Ia memperkenalkan dirinya dengan santun. Ia menyunggingkan senyum ringan.
Maya menyipitkan matanya untuk menelaah paras perempuan di depannya. Ia pandangi wajah Karika yang terawat, alisnya yang tebal namun rapi. Matanya yang tajam terbingkai setangkai kaca mata. Rambutnya yang hitam diikat rapi di belakang.
"Saya..." Maya berdecak. Ia menahan dirinya. "Dokter sudah tahu nama saya." Maya menunjuk seragam putih Karika dengan telunjuk tangan kirinya.
"Kalau kamu seorang dokter, dan aku ditempatkan di ruangan dengan interior seperti ini dengan pakaian buruk seperti ini, pastilah kamu seorang ahli kejiwaan. Apa Mamaku sudah mengirimku ke rumah sakit jiwa? Di mana perempuan sialan itu?" tanya Maya dengan nada suara yang sengaja ia tenang-tenangkan.
Dokter Karika menggaruk pipinya dengan canggung. Setelahnya ia mengangguk-angguk maklum. Ia memilih untuk memasang wajah yang lebih serius dan menunduk. Kembali membaca papan berisi kertas yang ia bawa.
"Saya bukan... belum. Saya masih residen. Saya belum jadi seorang spesialis kejiwaan. Saya datang untuk membantu kamu keluar dari sini," katanya.
"Bagaimana caramu membantuku keluar? Apa kamu juga berpikir kalau aku sudah gila?" Maya meremat ujung terusannya. Rasa kesal mendadak menyelubunginya. Ia pandangi pupil kecil berwarna coklat milik Karika. Warnanya seperti kayu jati tua yang harganya melambung. Sehingga membuatnya kelihatan lebih menonjol dari tulang rahangnya yang kotak dan tirus.
"Kalau masalah itu, kita akan mencari tahu bersama. Menurutmu, apa itu gila? Apa kamu sudah gila?" Karika bertanya. Pertanyaannya membuat Maya terpaku.
Maya mengibaskan kepala. Ia tidak paham dengan pertanyaan Karika. Ia memilih mengganti topiknya. "Sebelum itu, bolehkan saya bertanya, Dok?" tanya Maya dengan nada suara yang kalem.
Karika menunggu pertanyaan itu dengan alis yang terangkat.
"Saya sedang di mana? Untuk berapa lama? Siapa yang memasukkan saya ke sini? Kenapa saya tidak mengingat apa pun? Dan, kenapa saya harus ada di sini?" Maya mengulang kembali pertanyaan yang terkesan retoris itu dalam pikirannya. Tapi ia butuh tahu. Umurnya sudah lebih dari 20, seharusnya ia memiliki hak untuk tahu ke mana ia dibawa.
"Sementara ini kamu berada di sebuah kamar pasien di yayasan kesehatan dan rehabilitasi remaja. Sampai kapan, itu tergantung kerjasama dari kamu sendiri. Ibumu yang membawamu ke sini. Agak aneh ya, kalau kamu tidak mengingatnya. Padahal saya lihat kamu datang dan memilih kamarmu sendiri." Dokter Karika memberi jeda untuk melihat ekspresi Maya.
"Pertanyaan terakhir, kenapa kamu harus ada di sini. Saya belum bisa memastikan itu. Apa kamu layak ada di sini atau tidak. Saya harus bertanya sendiri pada kamu. Kenapa kamu ada di sini? Apa ini tempat yang tepat untuk kamu?" Karika bersikap terlalu tenang dan sama ramahnya seperti saat ia datang tadi.
Maya tidak begitu paham. Tapi ia mengangguk. Ia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Terutama soal memilih kamar sendiri. Meski demikian, Maya mencoba untuk tetap tenang dan memikirkan segala tindakannya. Ia tak mau mengamuk. Ia takut akan semakin terperangkap di sini.
Karika menghela nafas panjang sebelum melanjutkan observasinya.
"Kita akan mulai sesi satu ya... Saya ingin kamu bekerjasama dengan baik. Karena sepertinya keinginan kamu untuk tidak sini, sama besarnya dengan keinginan saya membantu kamu keluar dari sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
6. Selamat Pagi, Maya GXG (END)
Romance18+ Pasca pemerkosaan yang dilakukan ayahnya, Maya diseret ke dalam panti rehabilitasi mental. Kekasihnya, Alesia telah meninggalkannya. Kini Maya harus menghadapi traumanya sendiri.