6

1.2K 55 5
                                    

6

"Halo... Iya, saya sendiri. Baik." Karika menyipitkan matanya dengan harapan dapat membaca jam digital di atas meja nakasnya.

"Pasien kamar berapa? VIP? Oh, kelas 1. Yang mana? Maya?" Karika langsung duduk ketika mendengar nama itu.

Sambil mengucek matanya yang rabun, perempuan itu berusaha fokus dan mendengar semua omong kosong pihak rumah rehab. "Tidak bisa besok?" Ia merasa kesal setelah jawaban dari ujung satunya. Tapi ia menahan diri. Ia hanya seorang residen. Ia belum berhak untuk mengomel.

"Loh, kalau sudah diberi tindakan begitu, saya bisa melakukan apa?" Pelan-pelan Karika turun dari tempat tidurnya dan berdiri. "Pasien akan bangun 8 sampai 10 jam lagi, 'kan? Artinya saya tetap datang di waktu visite, 'kan? Baik, terimakasih sudah menghubungi."

Kalau ponselnya bukan keluaran terbaru, ia pasti sudah melemparnya sejak tadi. Namun sayang sekali, begitulah nasibnya sebagai seorang residen. Posisinya memang berada di atas koas sedikit, tapi tetap di bawah keset cleaning service. Karika sudah lupa, kapan terakhir kali ia tidur tenang dalam 4 tahun terakhir.

Kalau ia tahu bahwa sebenarnya pekerjaan sebagai dokter tidak semudah dan semewah yang terlihat, ia pasti sudah mengikuti jejak pamannya. Ia akan membuka bisnis sepeda motor tepat setelah wisuda yang pertama. Atau buka usaha cafe, atau salon, atau ceragem. Mungkin ia bisa mendapat pekerjaan di perusahaan iklan keluarga Draw. Yang lebih menguntungkan dan tidak makan hati begini.

"Siapa, sayang?" Seorang perempuan bersuara tiba-tiba, membuat karika terkejut. Ia masih sering lupa kalau belakangan ini kekasihnya yang bernama Gira, anak keluarga Sue si pemilik restoran oriental sering menginap di rumahnya.

"Biasa," jawab Karika. Terkesan malas dan seadanya.

"Senior minta apa jam segini?" tanya Gira, khawatir.

"Senior jaga malam, ingin aku datang. Pasienku mengamuk." Karika berkata ketus.

Gira memandang kekasihnya, kemudian ia mengangkat tangannya untuk membelai helaian rambut yang jatuh di pelipis Karika. Namun, Karika mundur. Ia sedang tak ingin afeksi di saat seperti ini.

Ini bukan yang pertama kalinya Karika menolak bentuk perhatian Gira. Karika memang selalu berjarak pada orang-orang di sekelilingnya. Ia sering menolak sentuhan fisik orang lain. Kecuali ia sendiri yang memulai. Gira tidak terlalu memusingkan itu lagi.

"Kamu harus berangkat ke balai rehab? Jam segini?" Nada suara Gira terdengar khawatir.

Dan itu membuat Karika sadar tentang sikapnya yang dingin. Ia melembut.

"Iya. Tapi percuma, pasien sudah diberi tindakan. Pasti baru akan bangun 8 jam lagi. Apa yang harus aku lakukan selama 8 jam? Menina bobokkan pasien itu supaya mimpi indah?" tanya Karika snewen.

Gira merasa geli dengan lelucon itu. Ia tertawa sedikit, kemudian diam karena Karika kelihatan tersinggung.

"Ternyata ada yang lebih menyebalkan dari dosen desain. Yang kalau memberi tugas seperti Hell kitchen. Makanan ribet 15 menit harus udah siap hidang," kata Gira lagi. Lebih mirip memanas-manasi dari pada menenangkan.

"Mimpi buruk itu fase awal dari recall moment. Untuk pasien PTSD sering terjadi. Tapi siapa yang punya waktu dan mau mengawasi selama 24 jam?"

"Jangan bilang begitu, Karika. Siapa sih yang mau punya trauma berat? Siapa yang punya cita-cita tinggal di dalam rumah rehab?"

Benar. Kali ini Karika merasa Gira ada benarnya. Kasihan sekali, Maya. Belum seminggu sejak Karika yakin dia baik-baik saja, kini gadis itu lebih mirip veteran perang. Seharusnya Karika mewaspadai sejak awal, bahwa disosiasi yang ia lakukan, penolakannya terhadap pertanyaan tertentu adalah gejala awal dari rantai post traumatik. Sebuah jaringan analasis yang tak ada ujungnya.

6. Selamat Pagi, Maya GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang