7
Seorang perawat memasuki kamar Maya ketika jam makan siang tiba. Ia berjalan pelan. Ia ucapkan salam dengan santun. Ia hampiri Maya dengan langkah yang sengaja diberatkan supaya gadis itu tidak merasa terancam.
Tapi Maya sengaja tidak bergerak. Ia berpura-pura tidur. Ia sedang tak ingin keluar kamar. Ia tak memiliki nafsu makan sama sekali. Dahinya berdenyut dan mengirimkan rasa sakit. Ia yakin tak akan bisa beraktifitas nyaman di luar kamar. Dan ia merasa malu. Pasien lain pasti akan bertanya-tanya. Mereka akan bergosip soal benjol di keningnya.
"Maya..." Perawat itu memanggil Maya lagi.
Namun tak ada jawaban. Maka ia memutuskan untuk menyerah dan membiarkan pasien itu istirahat lebih lama.
Maya menarik nafas lega ketika pintu kamarnya ditutup. Ia duduk. Kepalanya menghadap jendela kaca yang dilapisi besi jeruji.
"Kenapa tidak terpikirkan untuk memecahkannya semalam?" bisiknya. Kalau ia melakukan itu, pastilah hari ini ia tidak akan ada lagi di sini. Malaikat maut akan mengirimkannya keluar. Ke neraka mungkin. Bisa jadi neraka akan lebih baik dari keadaan di sini. Maya tidak tahu.
Namun, sekarang sudah terlambat untuk melakukannya. Tidak ada lagi yang bisa ia gunakan untuk memecahkan kaca jendela. Kalaupun ada, bunyinya akan sangat keras, dan ia akan segera ketahuan. Ia bisa saja dipindahkan ke ruangan lain. Yang bahkan tidak memiliki jendela. Pasti sumpek sekali rasanya.
Maya menghela nafas panjang sekali lagi. Ia menghitung luas ruangan dengan jengkalan tangannya. Ia mengukur semua hal. Sampai pemeriksaan sore tiba.
"Kita ukur tensi dulu, ya..."
Maya mengedipkan matanya, ia membiarkan seorang perawat perempuan menyingsingkan baju terusannya dan membebatnya dengan alat ukur tensi. Perawat tersebut dengan sengaja menghindari kontak mata dengannya ketika memompakan alat tersebut. Setelah selesai ia kembali memasukkan alat tersebut ke dalam kotaknya.
"Berapa tensi saya?"
"Normal," jawabnya.
"Normal itu berapa?" tanya Maya mulai ngotot.
"100. Normal untuk kamu," jawabnya kaku.
Maya mengangguk. Ia tidak terlalu paham, tapi ia merasa senang saat si perawat mengatakan kata 'normal'. Maya jadi merasa kalau dirinya 'tidak sesakit' yang dikatakan orang.
"Saya akan membersihkan lukamu. Mungkin akan terasa perih, tapi setelahnya kamu akan merasa lebih baik," kata perawat sambil memeras sebuah handuk di dalam air yang berasap dan bau alkohol.
"Apa handuk itu bersih?"
"Tentu, ini handuk yang baru. Setiap hari ada handuk yang baru untuk setiap pasien," katanya terkesan membesar-besarkan.
Maya kemudian mengangguk lagi dan membiarkan orang itu membersihkan lukanya.
"Apa saya boleh mandi sendiri setelah ini?" tanya Maya hati-hati. Ia sudah lupa kapan terakhir kalinya ia mandi sendiri tanpa dibantu dan diawasi.
"Biar saya tanya dokter dulu ya, nanti akan saya beritahu jika memungkinkan," katanya sambil menggosok luka di alis Maya.
Beberapa kali Maya mengaduh, sebab perih dan ngilu bercampur jadi satu dan membuat pening kepalanya. Setelah itu, perawat memeriksa baju dan bagian bawah kasurnya.
"Sudah jam berapa ini, suster?" tanya Maya lagi.
Perawat itu menoleh sebelum keluar dari pintu. "Jam 3 sore."
Maya duduk bersandar di tembok. Tidak tahu harus melakukan apa di saat sadar begini. Biasanya seorang akan datang dan mengantarnya untuk makan di jam 6 atau mungkin jam 7. Waktu sudah tak penting bagi Maya. Ia tidak diijinkan melakukan apa-apa. Ia juga tak berani memikirkan bisnis saham miliknya. Kalau saja ia boleh membawa laptopnya ke sini, ia tak akan menggila semalam. Ia akan memilih bekerja. Atau melakukan sesuatu yang lebih berguna. Menonton film dewasa, misalnya. Apa saja untuk menghibur diri.
Beberapa saat kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Meski Maya bukanlah orang yang bisa membukakan pintu itu. Maya bangun dari kasurnya. Ia mengira waktu makan telah datang.
"Maya, ada waktu kunjungan buatmu." Kepala lelaki itu muncul dari celah pintu.
"Apakah saya diperkenankan tahu siapa yang datang?" Maya bertanya hati-hati.
"Ibumu," katanya.
Maya mendengus kecewa. Ia duduk kembali. "Tidak. Saya mau di sini saja. Saya lapar, saya sedang menunggu waktu makan, dan suster barusan bilang saya akan mandi. Jadi saya sangat sibuk..." Maya komat kamit mencari alasan.
Ia tidak mau menemui ibunya. Maya mengira bahwa perempuan itu datang hanya untuk mengkritik keadaannya. Mungkin ibunya akan mengejeknya. Dengan luka di keningnya. Tidak.
Perawat itu mengangguk. Dan sebelum ia berbalik badan untuk meninggalkan kamar, Maya berubah pikiran. "Tunggu, saya mau bertemu Mama. Dia mungkin akan mengeluarkan saya dari sini."
Perawat itu kemudian mengantar Maya ke sebuah lorong yang menghubungkan ruangan pasien dengan ruang besuk. Maya melihat ibunya duduk di kursi paling pojok dekat dengan loket petugas. Pelan-pelan Maya mendekati perempuan itu, kemudian duduk di hadapan ibunya.
"Maya, bagaimana keadaanmu?" tanya Kate dengan nada yang belum pernah Maya dengar sebelumnya. Nada itu menyiratkan cemas. Ia menyisiri permukaan wajah Maya dan berhenti pada luka di alis anaknya.
"Aku tidak berkelahi kok, hanya kebentur meja." Maya langsung menjelaskan.
Tapi Kate tidak terlalu menanggapinya. Ia mendekatkan kursinya pada meja dan menyentuh tangan gadis di hadapannya.
"Apa mereka memperlakukanmu dengan baik di sini, Maya?" bisik Kate.
"Mereka baik padaku. Kamulah yang kejam. Kamu menitipkanku di sini. Dan aku tidak bisa makan dan buang air kapan pun aku mau."
"Kamu akan terbiasa dengan peraturan mereka. Sabarlah sebentar. Mama akan urus semuanya."
Maya tahu itu bohong. Ia menoleh ke sekitaran. Ia melihat Dokter Karika sedang berdiri di ujung ruangan sambil memperhatikannya. Dokter itu tersenyum, lalu dua detik kemudian beranjak dari tempatnya.
"Paling tidak, bisakah Mama katakan pada mereka kalau aku bisa mandi dan ke toilet sendiri? Karena aku tidak mau kencing di pispot."
Kate tersenyum. "Iya, nanti saat keluar dari sini, Mama akan bilang pada mereka."
Lalu ibu dan anak itu diam karena isi pikiran mereka masing-masing. Sejak awal hubungan mereka memang seperti ini. Dingin. Meski siapa pun akan setuju kalau wajah mereka mirip. Tapi, hubungan mereka sangat berjarak.
"Baiklah, sudah 15 menit, Mama akan pergi, ya." Kate beranjak. Maya ikut berdiri dan mengikuti ibunya.
"Apa menurut Mama aku ini gila?" tanya Maya penuh tuntutan.
"Tidak, kamu tidak gila. Tapi di sini akan membuatmu lebih aman untuk sementara," jawab Kate sambil lalu.
"Jadi kalau aku tidak gila, kapan Mama akan mengajakku keluar dari sini?"
"Nanti, kalau keadaan di luar sudah lebih baik, Maya. Kamu baik-baiklah di sini," katanya buru-buru. Ia kemudian meninggalkan Maya dua langkah di belakang.
Maya mencoba mengejarnya. Ia butuh tahu beberapa hal lagi, tapi seorang perawat sudah memegang tangan gadis itu.
"Sebentar saja suster, saya masih mau bicara dengan ibu saya!"
"Waktu besuknya sudah habis, ayo kembali ke kamar."
"Saya bilang sebentar saja, saya tidak akan kabur kok!" Maya masih mencari celah untuk mengejar langkah ibunya. Tapi perawat yang lain memegangi tangannya. Itu membuat Maya semakin merasa diasingkan dan kesal. Akhirnya Maya berteriak sekuat tenaga.
"Jangan pegang-pegang! Saya cuma mau bicara dengan ibu saya! Saya butuh tahu kapan bisa keluar dari sini! Saya tidak gila! Saya baik-baik saja. Seharusnya perempuan itu yang ada di sini!" Maya memberontak. Ia mengibaskan tangan dan menendangi udara. "Please... Saya mohon..." Maya mulai tersengal. Namun, tak ada yang bersikap kasihan padanya. Para petugas balai semakin menyudutkan posisinya. Mereka mengerubungi gadis itu. Seseorang menusuknya dengan injeksi bius, membuat Maya kehilangan kesadarannya dan melewatkan makan malamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
6. Selamat Pagi, Maya GXG (END)
Romansa18+ Pasca pemerkosaan yang dilakukan ayahnya, Maya diseret ke dalam panti rehabilitasi mental. Kekasihnya, Alesia telah meninggalkannya. Kini Maya harus menghadapi traumanya sendiri.