Tanah Lor

144 20 16
                                    

Tahun 1380, di bawah kepemimpinan Raja Nararya Respati yang telah memimpin selama empat dekade, kerajaan Agnipura berada di titik terlemahnya. Beberapa wilayah berhasil dikuasai oleh Danapati, yang telah mulai menyulut perang sejak awal masa kepemerintahannya. Hingga pada penghujung bulan Margasiramasa tahun itu (22 November 1381 berdasarkan perhitungan kalender Masehi), satu wilayah dengan kekayaan alam yang melimpah berupa tambang besi berhasil ditaklukkkan oleh Danapati. Di bawah kepemimpinan Senapati Danuwija, penyerangan, pembantaian, dan perampasan hasil bumi oleh Danapati di Tanah Lor dimulai.

.......

Hawa malam terasa mencekat di antara waktu tumbangnya baskara dan munculnya Lintang Banyang Angkrem pada penghujung tahun itu. Suara katak dan jangkrik saling berlomba, tentang siapa yang paling banyak menciptakan kenangan perihal prahara apapun yang menyelimuti awal petang. Sementara, dibalik damainya surup tanah paling utara Agnipura itu beberapa rombongan manusia dengan baju besi bersembunyi di kaki bukit bersiap merobohkan ketenagan masyarakat Tanah Lor. Diam menyergap, langkah kaki bertapak pelan menyusuri padang sabana. Sesosok pria berbadan tegap memimpin, dengan menajamkan pandangan ia siap menuju gerbang kayu wilayah Lor kerajaan Agnipura.

"Sesuai perintah Raja, kumpulkan yang berguna dan bunuh semua yang hanya menjadi beban."

Sang Senapati perang kepunyaan Danapati memberi perintah, tidak ada bantahan. Mereka yang berdiri di belakang kepemimpinannya harus siap melenyapkan sisi kemanusiaan.

Pada salah satu pondok yang cukup dikatakan megah, sosok pria berusia hampir  delapan puluh tahun itu merenung setelah beberapa saat yang lalu dirinya mengobral pandang pada langit di ufuk timur. Satu hembusan nafas ia keluarkan, seolah riuh pikirannya akan turut berkurang.

"Adakah sesuatu yang menganggu pikiran kakung?"

Seorang gadis dengan satu gelas berada di tangannya menghampiri Ki Anom, duduk pada sebuah papan di depan pendapa rumah. Matanya bergulir menatap pada sekeliling, barangkali warga desa begitu kelelahan, hingga petang itu terasa begitu mencekam seolah jiwa-jiwa di dalamnya telah larut dalam turu sorenya. Diantara gurat keriput wajah Ki Anom, tetua Tanah Lor itu berjalan mendekati cucu tunggalnya sembari melempar senyum yang tampak ia paksakan.

"Masuklah ke kamarmu Loka, tidak baik bagi seorang gadis keluar rumah surup-surup. Dedemit ya iso seneng karo gendhuk Ayu."

Sang cucu dibuat tersenyum, kakungnya selalu memiliki segudang kosakata lucu yang membuatnya lupa pada pertanyaan sebelumnya.
Ki Anom mendudukkan dirinya disamping Pitaloka, menyesap setiap teguk teh hangat disampingnya.

"Saya melihat lintang kemukus selama dua hari berturut-turut, saya pikir kakung juga melihatnya hanya saja tidak berkeinginan membuat saya ketakutan, benar begitu Kung?"

Kali ini Ki Anom mengangguk, bukan hanya dua hari. Firasat akan datangnya malapetaka sudah ia rasakan lebih dari satu bulan yang lalu. Tiga puluh tahun sejak ia menjadi pemimpin Tanah Lor, kali ini Ki Anom berada diatas kebimbangan seolah-olah tidak tahu jalan mana yang harus ia ambil. Takdir buruk yang membabi buta akan melahirkan takdir yang luar biasa baik bahkan mampu menghidupkan padang mati di seluruh kerajaan. Pria itu bergerak menggenggam tangan cucunya.

"Tidak ada dedaunan hijau yang menyejukkan mata kecuali sebelumnya mereka ditimpa air yang jatuh bertubi-tubi dari langitnya Sang Maha Kuasa. Entah apa yang ada diujung sana, kamu tidak akan sendiri, Nduk." petuah Ki Anom ditangkap dengan baik oleh Pitaloka.

"Kakung harus tetap sehat, saya masih harus menikah dan memiliki banyak anak. Saya akan marah jika Kakung tidak melihat bagaimana ramainya rumah ini di masa depan."

Ki Anom tertawa lepas, ia mengusap kepala Pitaloka.

"Laki-laki yang datang lima bulan lalu, dia ingin meminangmu. Tidak usah mencari yang lain ya, Nduk. Sudah bagus, sugih, gagah meneh."

GETIH SENAPATI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang