Ajian Sirep Megananda

56 15 6
                                    

Indrasena menapakkan kaki di atas padang kerontang yang ia yakini bergelar di tanah kulon Danapati. Sepanjang mata memandang tak ia temui apapun selain gelap sunyi seolah seluruh nyawa di semesta hilang lenyap entah berantah. Hingga pada ujung langit Selatan dan Utara muncul cahaya yang bergerak bersama berlawanan arah, Lintang kemukus dengan obor bara api seolah bertanding siapa yang paling kuat daya ledaknya untuk menghancurkan bumi. Getar sorot penuh ketakutan terpampang di mata Indrasena, tak ada jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Tak menunggu lama hingga dua lintang raksasa itu bertubukan menghasilkan percikan api jatuh yang memenuhi seluruh angkasa mega di tanah Danapati. Seperti mimpi buruk yang menghadirkan akibat tanpa suatu sebab, di depan Indrasena berdiri puluhan manusia berbaju putih yang menatapnya dengan mata merah seolah siap menumpahkan kemarahan kepada senapati Agnipura itu.

"KALIAN MEMBUANG KAMI!!" teriakan lantang yang diucap bersamaan itu memenuhi rungu Indrasena, hingga gelengan ribut ia hadirkan sebagai jawaban.

Ctass...pedang tak kasat mata seolah memenggal satu per satu raga berbaju putih itu. Darah memuncrat ke wajah Indra, sementara tubuh tanpa kepala di depannya memuntahkan darah merah segar yang hampir memoles seluruh warna tanah di bawahnya. Puluhan kepala bergelimpangan, setiap bola mata menggelinding seolah didorong keluar dari tengkorak.

"Tidak!! Tidak!! Cukup!!" Indrasena berteriak entah kepada siapa, hingga langkah kaki yang ia yakini sebagai suara derap pasukan perang terdengar di belakangnya. Dirinya berbalik menemukan presensi pasukan Danapati siap menyerangnya. Langkahnya ia tarik mundur berusaha menjauh dari rombongan yang mungkin siap menghancurkannya. Berlari melewati puluhan mayat bergelimpangan hingga pada ujung pelarian ia temui sosok Dyah Ayu Pitaloka menggenggam tangan seorang anak laki-laki kecil berbaju zirah seukuran tubuhnya tengah memegang pedang yang ia yakini itu miliknya.

"Loka?" Sorot mata Indra menyendu, penampilan Pitaloka yang terlihat begitu berantakan membuatnya lupa akan kejaran pasukan musuh di belakangnya.Tak ada satu katapun yang terucap dari bibir pucat Pitaloka. Indrasena berjalan pelan menuju gadis yang begitu ia rindukan, mengayunkan tangan lebih dulu seolah hendak menyibak helaian rambut yang menutupi paras cucu tunggal Ki Anom itu. Tapi lagi-lagi ia terperangah, sosok di depannya hanyalah ilusi semata. Gerakan tangannya menembus angin, melenyapkan bayang semu Pitaloka. Sosok tangan kecil yang kini berganti menggenggam tangan kirinya membuat Indrasena tersadar, di antara kemelut bara api lintang kemukus dan deru langkah manusia di belakangnya, sosok kecil itu memberinya tatapan menuntut.

"Bukankah Anda terlalu banyak berfikir?"

Indra mengernyitkan dahi, apa maksud dari ucapan anak itu. Berakhir dengan menjajarkan tinggi badan, Indrasena meletakkan dua tangannya di bahu yang lebih muda.

"Saya tidak tahu apa kamu sama seperti mereka yang lenyap dalam sekejap, tapi jika berkenan,  ayo lari mencari tempat berlindung."ucap Indrasena berusaha menjelaskan.

Anak kecil itu menggeleng.

"Apa Anda akan terus bersembunyi?" pertanyaan sederhana yang terucap dari mulut kecilnya menyeruak batin Indra, bagaimana bisa ia merasa disepelekan hanya dari ucapan anak yang usianya mungkin belum sampai 10 tahun itu.

Tak ada waktu lagi, pasukan Danapati di belakangnya semakin mendekat. Lantas Indrasena menarik tangan kecil itu untuk ia ajak berlari, tapi tanpa ia duga tangannya ditepis dengan kasar. Anak laki-laki itu berlari menuju rombongan Danapati. Indra membelalakkan mata.

"Jangan!!"

Hingga pada detik ketika ia melihat anak kecil tadi mengangkat kedua tangannya sejajar dengan siku, dan bibirnya merapalkan kalimat, Indrasena dibuat lebih terkejut. Seluruh pasukan di depannya jatuh bergelimpangan, diawali dengan menguap seolah mereka terpercik obat tidur hingga seluruh dari prajurit itu rata tanah.

Aji Sirep Megananda tingkat tinggi. Bagaimana mungkin anak sekecil itu menguasai aji-aji yang bahkan belum pernah ia temui tetua manapun yang memiliki kekuatan sirep sekuat tadi. Nafas Indrasena kembali tercekat, tatkala pusara pasir dan bebatuan seolah tergerak mengubur paksa ratusan tentara perang yang terlelap diatasnya. Kekuatan macam apa yang baru saja ia lihat.

"Saya tidak suka berlama-lama, Romo."

Mata Indrasena terbelalak, terbangun dari mimpi yang ia sendiripun tidak mampu menangkap makna di dalamnya.

"Senapati!",sebuah suara yang mengiringi ketukan pintu menarik kembali kesadaran Indra, lekas ia bergegas bangkit dan membuka pintu.
Sosok Ki Pandu tampak berdiri dengan memegang tongkat kayu, menebar senyum di wajah rentanya, ia menyapa Indrasena lebih dahulu.

"Kau tampak kelelahan seperti habis berperang Indra." ucap Ki Pandu Premadi.

Indrasena memaksakan senyum, "Hanya bunga tidur biasa Ki, mungkin dampak terlalu banyak berlatih beberapa pekan ini."

"Kau melatih Indra, bukan lagi berlatih."

"Saya masih perlu berlatih, Ki."

Tidak ingin membiarkan Ki Pandu berlama di luar, Senapati Agnipura mempersilahkan penasihat kerajaan itu untuk memasuki ruangannya.

Bersambung....

GETIH SENAPATI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang