Sang Dalang Yudha, Aryaloka (END)

62 11 12
                                    


Chandra kembali memahkotai langit, ublik yang telah dihidupkan sejak tenggelamnya baskara bergoyang pelan tertiup angin dari arah selatan. Warga Tanah Lor sedikit bernafas lega ketika Danuwija dipanggil Raja Aryaloka selama sepekan, mempersiapkan perang, begitu yang mereka dengar dari bisik-bisik penjaga tambang beberapa waktu lalu. Sesosok pria berusia senja tengah menarik besi mentah dari tungku pembakaran untuk selanjutnya ia tempa dengan palu besar yang digenggam tangan keriput bergetarnya. Percik api masih membara, tapi barangkali tak lagi terasa panas seolah bara menyala telah ia taklukkan selama hampir setengah abad dirinya menjadi pandai besi. Tak banyak penduduk yang malam itu masih menghabiskan waktu di tempat pengolahan besi, segelintir memilih mengunci rapat pintu dan beristirahat. Tak jauh dari tungku pembakaran, Dyah Pitaloka tengah menyiapkan arang hingga sorot matanya tertuju pada seorang pria berusia sepantaran kakungnya.

"Apa kisanak penduduk Danapati?" pertanyaan terlontar lebih dulu dari yang lebih muda.

Sosok pria itu melempar pandang ke sekitarnya, mungkin ada orang lain yang tengah Pitaloka ajak berbicara. Tapi nihil, malam hari yang hampir melewati puncaknya itu hanya menyisakan dirinya dan gadis muda itu.Padahal dirinya yakin sebelumnya masih beberapa penatah tua di sekitarnya.Pria tua itu menggeleng, "Warga culikan, Nduk".

Kening Pitaloka berkerut, tak mampu menangkap guyon dari lawan bicaranya. Sementara yang baru saja berucap melepaskan tawanya, mengusir sunyi.

"Saya aslinya warga Danapati, tapi sejak Aryaloka sampai di puncak kekuasaannya, tidak sudi lagi saya menyandang sebutan kerajaan itu." sembari memukulkan lebih keras palunya di atas besi panas, Ki Arya Baga memberikan penjelasan lebih.

"Bagaimana Aryaloka memperlakukan warganya, Ki?" Pitaloka memberi pertanyaan lebih, mencoba menggali lebih dalam tentang pemimpin tertinggi Danapati.

Ki Arya Baga bergidik ngeri, mengingat bagaimana Aryaloka dengan begitu mudah menjatuhi hukuman mati bagi setiap warga yang tidak patuh terhadap perintahnya.

"Nyawa manusia harganya tak sampai satu gobog," Ki Baga menunjukkan satu ruas ujung jari kelingkingnya "satu gelengan untuk satu perintah dibayar tebas kepala. Tak ada ampun, saya lari dan jadi pengembara. Sialnya saya rindu rumah, balik-balik ditangkap dibuang ke sini."

Kali ini tawa renyah Pitaloka terdengar, entah menertawakan nasib Ki Baga atau malah menertawakan nasibnya sendiri yang tak jauh beda, bahkan di tanahnya sendiri. Air mata di ujung matanya ia usap, untuk kembali melempar tanya kesekian kalinya.

"Kenapa hanya kisanak sendiri? Harusnya mereka kirim lima atau sepuluh sekalian, supaya kami tidak harus mati-matian membuat seribu trisula dalam waktu tiga malam." gurat marah terlihat jelas di wajah ayu Pitaloka.

"Saya pengembara ya, Nduk, bukan bandit."

Yang lebih tua melepas tawa lagi, berbeda dengan Pitaloka yang terdiam menatap pada sosok Ki Baga. Banyak penghianat negeri yang tumbuh dari rasa kebencian terhadap pemimpin, beberapa yang lemah berakhir menjadi kuda tunggangan yang mudah dikendalikan hanya untuk menjaga urat leher tetap tersambung. Diantara dua pasang mata yang memberi gurat berbeda, Pitaloka melempar tanya.

"Bagaimana cara menjatuhkan Aryaloka?"

Suara tawa kini berhenti, alih-alih segera menjawab, Ki Baga memilih kembali berfokus memukulkan palunya sembari sesekali memanaskan ulang besi. Salah satu sudut bibirnya tertarik semu.

"Getih dibayar getih, ireng dibayar ireng. Wong Urip dipateni, wong mati diuripke."

(Darah dibayar darah, hitam dibayar hitam. Orang hidup dibunuh, orang mati dihidupkan)

Dyah Ayu Pitaloka terdiam, mencari makna tersirat dari ucapan Ki Baga. Cahaya dari salah satu ublik di sekitarnya padam, wajah dari lawan bicaranya tidak terlalu jelas tapi dirinya yakin jika sosok Ki Baga baru saja membelalakkan mata dan tersenyum lebar pada akhir kalimat. Ki Baga memutuskan menghentikan pekerjaan, dan berdiri. Dengan badan bungkuk dan telapak tangan yang memegang tongkat, tubuh berusia senja itu berjalan mendekati Pitaloka.

GETIH SENAPATI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang