Danuwija

55 13 15
                                    

Catatan: kata kasar, sexual harassment.

....

"Kang Indra mau kemana?" tanya seorang pasukan yang baru saja selesai berlatih.

"Cari angin." menjawab singkat, Indrasena membenarkan ikatan pada pakaiannya. Pasukan bernama Tadah Biru itu mengernyitkan dahi melihat bagaimana pakaian yang saat ini dipakai Sang Senapati.

"Mau latihan jadi tunawisma Kang?" tanya Tadah Biru.

"Cocok tidak?"

"Cocok."

Sontak keduanya tertawa, Indrasena yang sebelumnya diliputi tegang dan rasa khawatir sedikit mulai tenang.

"Hanya mengunjungi rumah lama."

Tadah Biru lagi-lagi mengamati lebih jeli penampilan Indrasena. Dirinya yakin jika senapati itu tengah berusaha menyamarkan diri mengingat beberapa noda lumpur baru sengaja dioles pada bagian lengan dan beberapa bagian yang lain.

"Yang penting hati-hati ya Kang, saya meminta bukan sebagai adik sepupu tapi sebagai pasukan yang akan Senapati tuntun untuk peperangan esok. Kalau niat mau lengser tulis surat wasiat dulu." Mengambil satu koin gobog dari celananya, Tadah biru berucap

"Jangan makan batu!" Satu koin tadi dimasukannya ke ujung ikatan celana Indrasena.

Kerutan kembali menghiasi samping mata Indrasena, senapati itu tertawa. Tadah Biru satu-satunya keluarga yang ia miliki di Istana mengingat keluarganya yang lain terpencar entah kemana setelah tempat tinggalnya dijajah oleh Aryaloka. Daerah Sebrang Kidul, telah dirampas oleh Danapati sejak dirinya masih berusia belia, surat pemanggilan yang dikirim langsung oleh Senapati Angga kala itu untuk  mengikuti pelatihan pasukan berhasil menyelamatkannya.

"Saya akan kembali hidup-hidup, jikapun mati saya akan hidup lagi.Kamu kan masih muda, nanti kalau jadi senapati, bisa-bisa Gajahsora kamu ajak gatrik."

(Gatrik = permainan pukul kayu dengan menggunakan dua ranting beda ukuran)

Ucapan terakhir ia ucapkan dengan tawa sumbang. Sebelum tengah malam berada di puncaknya, ia melangkah meninggalkan istana Agnipura menuju Tanah Lor.Tadah Biru menggelengkan kepalanya, "Kakangku itu, selain tidak punya bojo, ternyata juga ra due wedi."

(Tidak punya rasa takut)

.........

"Kau pikir aku tidak berani menghajar perempuan?"

Plakk... lagi-lagi suara tamparan terdengar dari salah satu rumah di pojok desa.  Pitaloka tersungkur untuk kesekian kalinya. Tubuh dan wajah ayu itu mulai menampakkan warna biru pekat di beberapa bagian. Danuwija menarik rambut Pitaloka hingga membuat perempuan itu mendongak.

"Orang-orang di bawah kendaliku itu buas, jangan pernah berani meremehkan anak buahku. Pelacur seperti dirimu dibiarkan hidup hanya untuk memenuhi nafsu kami. Jangan melampaui batas!" tegas Danuwija.

"Hewan bahkan lebih baik daripada dirimu." ucap Pitaloka yang tanpa dia sadari memicu api kemarahan Danuwija.

"Ckk" Senapati Danapati itu berdecih, menyamakan tinggi dengan Pitaloka ia berbisik pelan. "Coba lihat, siapa yang lebih menyedihkan malam ini."

Danuwija mengedarkan pandang pada gubuk reyot tempatnya berdiri, menemukan sebuah balok kayu lantas ia memegang benda tumpul itu erat untuk dipukulkan bertubi tubi pada tubuh Pitaloka yang meringkuk dibawahnya. Rintih kesakitan perempuan itu barangkali tidak memasuki gendang telinga Danuwija, hingga ketika ujung kayu itu hampir ia tancapkan di kepala cucu tetua Tanah Lor sekilas larangan dari Raja Aryaloka menyadarkannya.

GETIH SENAPATI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang