Asadhamasa, 1380

74 15 10
                                    

Pada pertengahan tahun 1380, tepat pada awal bulan Asadhamasa (berdasarkan perhitungan kalender saka atau sama dengan tanggal 22 Juni), Maharaja Nararya Respati yang diwakili oleh Pangeran Agung Nararya Renggadani melakukan tilik ke bagian utara kerajaan Arnipura, Tanah Lor. Di bawah pimpinan Senapati Indrasena, rombongaan istana berangkat dari kerajaan. Sebuah kehormatan bagi seluruh warga tanah Lor, ketika menjumpai Pangeran Renggadani memutuskan untuk berjalan kaki setelah tandunya memasuki gerbang wilayah tambang besi Agnipura yang termasyhur itu. Seorang tetua berjuluk Ki Anom menyambutnya dengan hangat.

"Selamat datang Pangeran yang semoga selalu diberkati oleh Yang Maha Kuasa. Suatu kehormatan bagi kami diizinkan secara langsung oleh Maharaja Respati untuk bertemu dengan calon penerus tahta Agnipura."

Renggadani tersenyum, melepas pandang di sekelilingnya hingga sorot mata jatuh di antara tumpukan besi yang siap ditempa ulang.

"Inikah bakal senjata yang akan dikirim ke tempat penyimpanan senjata kerajaan Ki?"

Ki Anom menganggguk, "Benar Pangeran."
Renggadani berbalik menatap Indrasena yang setia berdiri disampingnya.

"Istirahatlah Indra, dirimu baru saja pulang dari wilayah Kulon. Masih ada pengawal pribadiku Jalu Ireng, kau bisa tumbang jika terus memaksakan diri." ucap Nararya Renggadani.

"Tidak perlu Pangeran, ini sudahlah menjadi tanggungjawab saya." tanpa menurunkan kesopanan, Indrasena menjawab dengan tegas.

"Saya memberimu perintah, bukan penawaran. Jadi istirahatlah."

Maka dari itu tidak ada alasan bagi Indrasena untuk menolak perintah Renggadani. Hingga saat Ki Anom berbicara pada seorang gadis dibelakangnya, Senopati Agnipura itu masih tetap berdiri di tempatnya.

"Ini cucu saya, Dyah Ayu Pitaloka. Dia akan mengantar Anda ke rumah singgah untuk Senapati beristirahat"

Spontan kepala Indrasena tertoleh ke sosok ayu disamping Ki Anom. Gadis dengan rambut digerai sepanjang garis punggung hingga pinggang itu tengah tersenyum cantik ke arahnya. Manik mata yang seolah menangkap seluruh galaksi di alam semesta itu menenggelamkan Indrasena dalam larut rasa ingin menjadikan gadis itu sebagai istrinya. Gairah jiwa muda yang biasa disebut katresnan.

"Senapati?" suara teduh itu berhasil menarik Indra kembali ke alam nyatanya.

"Oh..iya." Beberapa kali laki-laki itu mengedipkan mata.

"Mari ikut saya."

Indrasena mengangguk, berjalan dibelakang Pitaloka. Mungkin Sang Hyang Widdi sengaja menyelipkan kecantikan yang luar biasa ayu itu tersembunyi di wilayah paling ujung utara dari Agnipura. Senapati itu bersyukur, diantara sambat yang ia keluhkan seorang diri pagi tadi ketika menerima perintah kunjungan ia temui obat yang luar biasa berwujud sosok cucu Ki Anom, Dyah Ayu Pitaloka.

"Luar biasa ayu." Indrasena berucap.

Seolah tidak ada yang luar biasa dari ucapan Indrasena, Pitaloka hanya mengangguk membenarkan. Tidak bisa dipungkiri jika alam Tanah Lor memang benar digariskan memiliki rupa yang mampu menyembuhkan jiwa-jiwa yang kepalang lelah dengan thethek bengek duniawi. Tapi Pitaloka tidak menyadari, jika ayu yang Indrasena maksud adalah dirinya.

"Semoga alam Tanah Lor mampu menyembuhkan lelah tuan Senapati."

Indrasena kembali menarik sudut bibirnya, sedikit mengerutkan kening ia berucap dengan nada sedikit menggoda,

"Apa saya terlihat lelah, Nduk Cah Ayu?"

"Iya, Kangmas bagus"

Keduanya tergelak, larut dalam tawa diawal pertemuan mereka.

GETIH SENAPATI [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang