Part 2. Mendebat Panggilan Ketika Hubungan Belum Jelas

15 3 0
                                    

Selamat membaca 💛

🦋

Alvares, lelaki yang saat ini sedang menguap lebar itu kebosanan setengah mati saat guru matematika sedang menjelaskan di depan.

Masalahnya, guru itu menjelaskan terlalu cepat. Dan lagi, terlihat asik sendiri memecahkan rumus-rumus matematika dan melupakan anak murid yang kemungkinan sedikit sulit memahaminya.

Vares menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sumpah demi apapun, dia mengantuk sekali. Apalagi angin sepoi-sepoi yang berasal dari jendela di sebelahnya. Beuh, kalian tau sendiri lah ya rasanya bagaimana.

"Itu yang belakang tidur?"

Teman Vares, yang bernama Anggara menepuk baru Vares agar tidak menaruh kepalanya di atas meja. "Den, bangun. Di liatin Bu Andris anjir"

Vares berdecak dan mengacak rambutnya frustasi. Ini yang membuat Vares malas saat pelajaran matematika. Bu Andris—guru matematikanya, terlihat asik sendiri saat menulis rumus dan tidak menoleh ke arah murid tapi saat ada yang tertidur, guru itu seolah punya insting kuat dan langsung menoleh kemudian menegur murid yang tertidur.

"Kamu tidur?"

"Iyalah Bu, pake nanya" Sayangnya kata-kata itu hanya dapat Vares ucapkan di dalam hatinya. Sebaliknya, lelaki itu hanya menjawab, "Ngga Bu, tadi di meja saya kaya ada kecoa, ternyata gak ada"

Bu Andris geleng-geleng kepala dan kembali menulis rumus-rumus yang menurut Vares sama saja. Sama rumitnya.

Vares mendengus dan bersedekap dada dengan wajah tertekuk. Tak berselang lama, bel pergantian pelajaran berbunyi. Setelah Bu Andris keluar, Vares segera berdiri dari duduknya diikuti Anggara.

Tangan Vares meraih kepala Lea yang berada di depannya dan membuat kepalanya menegak ke atas. "Nder, nanti bilangin ke si Risky kalo gue ke kamar mandi"

Lea menepis tangan Vares yang masih bertengger di puncak kepalanya. "Gak usah kaya gitu bisa gak?!"

Vares terkekeh. "Kalo ngomong jangan pake emosi terus Nder, nanti cepet tua. Nanti kalo nikah sama gue muka lo keburu tua sedangkan muka gue masih seger gimana?"

"Siapa juga yang mau nikah sama lo?! Pede banget!"

Vares terkekeh lagi. "Kita kan nanti mau nikah, trus punya anak sebelas ya"

Mata Lea membola. Dia langsung bergidik mendengar ucapan Vares. "Lo mau bikin anggota sepak bola apa gimana?! Sekalian aja lima belas biar gak tanggung!"

"Boleh, nanti tiganya jadi pemain cadangan. Kan cita-cita gue pengen punya anak yang bisa bikin anggota sepak bola sendiri dan nanti Mamanya itu lo. Indah kan masa depan kita"

Lea bergidik lagi sedangkan Anggara dan Anata, teman Lea hanya memperhatikan drama mereka berdua. Tidak, lebih tepatnya drama Vares.

"Nanti, kalo kita nikah trus punya anak, lo di panggil Bunda, dan gue Ayah"

"Ngga! Gue di panggil Mama!"

"Bunda bagus, lebih enak di denger"

"Ngga bisa gak bisa! Pokonya gue mau di panggil Mama!"

"Bagusan Bunda!"

"Mana bisa gitu! Masa Bunda? Gue gak setuju ya! Dan lagi, gue juga lebih suka di panggil Mama!"

"Bunda aja Nder, kedengaran lebih lembut"

Lea bangkit dan berdiri di hadapan Vares walaupun terhadang meja. "Ngga Vares, bagusan Mama!"

Anggara menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ini kalo mereka debat terus, keburu guru mapel selanjutnya masuk. Tapi Anggara juga tak bisa menghentikan perdebatan mereka berdua. Karena jika dia melakukan itu, yang ada nanti Vares akan menyemprotnya.

ALVARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang