4 ; Geboren in Nederland.

13 1 0
                                    

Ellezabeth van Leeuwen Standpunt.

"Ik wil niet meer naar school, Mama."
(= Aku tidak mau sekolah lagi, Mama.)

Untuk anak sekecil Ellen yang baru pertama kali merasakan suasana sekolah dan mendapat banyak teman baru, membuatnya belum terbiasa hidup berkelompok, karena selama ini Ellen hanya tinggal dirumah dan tidak pernah bermain dengan siapapun selain Maden di depan rumahnya. Dengan menjadi minoritas di sekolah, ia harus mendapat pertanyaan dengan bahasa yang tidak dimengerti.

Hari pertama ia tampak stress karena semua murid menatapnya dengan tatapan aneh, dan saat pulangpun ia dicegat oleh tiga anak perempuan. Dari banyaknya kata-kata yang dilontarkan, hanya satu kata yang dia paham, 'aneh'. Aduan itu yang pertama kali diceritakan olehnya setelah pulang sekolah. Mungkin hal itu membuatnya berpikir buruk tentang teman-temannya, padahal belum tentu teman-temannya buruk juga, atau aku yang tidak tau?

Padahal aku cukup sering berinteraksi dengan tetanggaku saat mengantarkan dagangan, menerima jahitan baju, bahkan saat membeli bahan makanan. Mereka tampak senang mengenalku dan mereka memanggilku dengan sebutan 'bule'.

Mereka juga tau suamiku meninggal karena serangan jantung, bukan karena peperangan yang berlangsung ratusan tahun lalu. Walaupun suamiku juga seorang politikus internasional dan menetap di negara yang aku tinggali sekarang, tapi aku merasa sebagian orang membenciku karena aku berbangsa Belanda, bangsa yang pernah menjajah mereka dahulu.

Saat aku pindah kesini, Ellena masih berusia empat tahun. Barulah kami ajari sedikit demi sedikit bahasa Indonesia oleh suamiku, papa nya Ellen. Dan suamiku meninggal beberapa bulan kemudian. Hatiku hancur saat itu, membesarkan putri kecilku sendirian dan hidup sebagai minoritas di desa kecil ini.

Kalaupun ada orang yang memiliki bangsa asing, maka orangnya hanyalah Gracia, ibu dari Maden yang merupakan Fashion Designer ternama asal Prancis yang dulu pindah kesini karena membuka bisnis butik dan menikah dengan orang lokal, orang Indonesia. Tapi dia membenciku karena aku bangsa Belanda, karena pernah perang dengan Prancis ratusan tahun yang lalu. Namun, kebencian nenek moyang mereka masih ada hingga sekarang.

Walaupun kami memiliki pekerjaan yang sama yaitu mendesign pakaian, tapi aku tidak pernah merasa tersaingi. Dan tentu, kami adalah designer yang berbeda kasta, Gracia sudah berkolaborasi dengan brand ternama Prancis dan Amerika, sedangkan aku hanyalah pembuat baju rumahan untuk digunakan sehari-hari dan harganya jauh jika dibandingkan dengan pakaian-pakaian yang di desain oleh Gracia. Mungkin itu juga sebabnya Maden jarang di izinkan bermain dengan Ellen.

Maaf, Ellen.

Maaf telah terlahir sebagai bangsa Belanda.

Het standpunt van Ellezabeth is voorbij.

Berbagai celotehan sang ibu lontarkan membuat anak laki-laki berusia tujuh tahun itu merasa pusing dan ingin sekali pergi dari rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berbagai celotehan sang ibu lontarkan membuat anak laki-laki berusia tujuh tahun itu merasa pusing dan ingin sekali pergi dari rumah. Padahal ia hanya ingin pindah sekolah ke sekolah biasa, bukan sekolah internasional yang berbasis bahasa Inggris. Bahkan dirumah, keluarga Garzyleron itu menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Prancis dan bahasa Indonesia. Bagaimana bisa ia harus langsung mengerti bahasa Inggris dalam kurun waktu yang singkat?

Dua tahun setengah Maden manghabiskan separuh waktunya di sekolah internasional itu, tapi tetap saja ia masih belum menguasai bahasa Inggris yang paling dasar karena memang bukan minatnya.

"Ma, Maden mau pindah sekolah."

"Non! beruntung kamu sekolah disitu, lihat tetangga lusuhmu, memangnya dia bisa sekolah di tempat elit? dengan orang asing dari berbagai negara?!"

Muak, Maden muak dengan ocehan wanita yang ia panggil dengan sebutan Mama. Sekolah impiannya hanyalah SDN 001, karena banyak teman-teman TK yang bersekolah disana, lagipula sekolah itu menggunakan bahasa Indonesia walaupun sedikit tercampur dengan bahasa Sunda, bukan orang asing dengan bahasa Inggris seperti di Stamford School.

Maden menutup pintu kamarnya sedikit kencang, mendengus kesal karena ibunya yang terlalu banyak menuntut. Andai saja papanya ada dirumah, mungkin ia bisa membujuk sang ayah untuk pindah dari sekolah itu.

"Gaada cara lain, kalau mama gak mau bilang ke papa, aku aja yang bilang ke papa."

Maden memanjat kasurnya untuk melihat Pak Tono alias supir pribadinya yang sedang mengelap mobil di samping rumahnya. Ia melambaikan tangan, berharap pria berkumis tipis itu menyadari Maden yang berada di jendela.

"Ada apa, Den?" Kata Pak Tono sambil berlari dengan kanebo yang masih ia pegang di tangan kirinya.

Maden tersenyum. "Nanti bapak ajarin Maden bikin surat terus anterin ke pos ya."

"Loh emang Deden mau kirim kesiapa?"

"Papa."

Dengan anggukan setuju, Maden tersenyum puas. "Terimakasih, bapak!"

Pukul sepuluh malam, Maden diam-diam mengendap-endap keluar kamar menuju ruang kerja ibunya. Mengambil beberapa kertas, sebuah pulpen, sebuah perangko dan amplop. Lalu ia kembali ke kamar, menulis semua curahan hati dan keinginan yang nantinya surat ini akan di kirim ke Yogyakarta, dimana papa nya bekerja sebagai dosen fakultas sejarah di salah satu kampus ternama.

 Lalu ia kembali ke kamar, menulis semua curahan hati dan keinginan yang nantinya surat ini akan di kirim ke Yogyakarta, dimana papa nya bekerja sebagai dosen fakultas sejarah di salah satu kampus ternama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semuanya selesai, perangko dan tanda tangan sudah terpapar sempurna di permukaan amplop. Ia akan meminta tolong pak Tono untuk mengantarkannya ke kantor pos besok sepulang sekolah. Karena jika ditaruh di kotak surat, ibunya akan tau dan memarahinya habis-habisan. Demi pindah sekolah, ia harus rela memiliki rencana licik.

Amplop itu disimpan di tasnya, dan pulpen yang ia ambil dari ruang kerja ibunya ia taruh di laci meja belajar. Ia melempar tubuhnya dengan perasaan gembira, lalu tidur dalam selimut yang membalut setengah dari tubuhnya yang kecil.

"Liat aja nanti, Ma!"

ETERNAL LOVE : FRANCE & NETHERLAND [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang