8 ; Weer ontmoeten.

5 1 0
                                    

Keduanya menjalani kehidupannya masing-masing dengan manghabiskan waktu mereka untuk mengerjakan tugas di siang hari dan masuk les di sore hari sehingga mereka berdua jarang bertemu. Mereka hanya bertemu saat keduanya berpapasan di jalan, itupun hanya sebentar dan hanya memanggil dan tersenyum. Keduanya tidak ada niatan untuk kabur dari kursus dan pr sekolah karena Maden yang dilarang ibunya dan Ellen yang terus berlatih biola untuk memenuhi permintaan terakhir sang ayah sampai satu tahun berlalu.

Hari pertama kelas satu sekolah dasar Ellen dimulai hari ini. Bersyukur kepada Tuhan setelah menjalani masa-masa sekolah TK yang terbilang tidak menyenangkan karena kehadiran Nimas dan teman-temannya yang terus mengganggu Ellen, tapi dibalik itu Amelia juga bersekolah di sekolah yang sama dengan Ellen, sedangkan Nimas dan teman-temannya tidak.

Dengan seragam merah putih Ellen tampak percaya diri menghadap kaca jendela ruang kelas, pikirnya ia sangat cantik menggunakan kemeja putih yang melekat pas ditubuhnya. Rambutnya juga mulai sedikit panjang di kuncir kuda dan diberi pita berwarna biru ditengahnya.

Sebagian teman-temannya tampak asing dan lebih berisik dari sebelumnya saat ia masih TK. Dan sekali lagi, Ellen menjalani masa pengenalan sekolah untuk yang kedua kalinya, tapi kali ini ibunya tidak menemani hari pertama sekolah karena beliau pergi ke kota untuk belanja kain, dan Ellen tidak keberatan.

"Halo, nama ibu, Yuni Anita. Murid-murid bisa panggil Bu Yuni ya!"

Guru baru lagi, setelah berpisah dengan Bu Rini, kini wanita dengan kemeja berwarna putih gading yang dipadu dengan rok span hitam menyapa dengan nada ramah dan senyum yang manis.

Dimulai dengan berkenalan lagi, dan masalah di masa lalu terulang kembali dengan orang yang berbeda. Anak perempuan dengan rambut panjang hampir sepinggang di kuncir kuda, menatapnya dengan tatapan benci dari kejauhan.

Tubuh Amelia yang sedikit lebih besar dari Ellen berhasil menutupinya, membuat gadis kecil itu merasa jauh lebih merasa aman karena Amelia menutupi mata yang seakan melontarkan kebencian.

"Siapa yang belum bisa baca tulis, ayo angkat tangan!"

Tangannya tidak diangkat, menatap seisi ruangan dengan seksama. Ternyata tidak ada satupun murid yang mengangkat tangan karena tidak bisa baca tulis, wajahnya menunjukkan ekspresi lega.

"Wah.. Alhamdulillah mah kalau sudah bisa semua ya, hari ini ibu mau ajarin berhitung aja kalau gitu."

Wanita itu mengambil sepotong kapur, mengukir angka-angka yang familiar menurut Ellen. Seingatnya ia pernah melihat angka-angka seperti yang gurunya tulis di papan tulis.

Ellen mengucap dalam hati. "Satu, dua, tiga, empat, lima, sepertinya mudah."

Anak perempuan pirang itu mengeluarkan bukunya yang bergaris, tak lagi dengan buku berkotak besar. Sempatnya bingung cara menggunakan buku bergaris, Ellen menulis angka-angka itu di garis bagian kiri di baris ketiga. Hingga saat dikumpul, bukunya dikembalikan tanpa diberi nilai.

Bu Yuni menghampiri meja Ellen, memberitahunya bagaimana cara menulis yang benar di buku bergaris.

"Neng geulis, naha nulis na didieu-"
(= Anak cantik, kenapa nulisnya disini-)

"I-ibu pakai bahasa Indonesia saja.."

"Ahh.." Guru perempuan itu menghela nafas, hampir lupa kalau Ellen adalah satu-satunya murid bule disekolah ini. Padahal ia melihat jelas warna rambutnya yang berbeda dari yang lain, kulitnya yang putih dan matanya yang coklat terang. Mata wanita itu berbinar sejenak. "Maaf Ellen, ibu lupa."

"Ellena tulis angka nya dari baris pertama paling kiri ya, kecil aja gapapa." Katanya, lalu dibalas anggukan kecil oleh Ellen.

Ellen membuka lembaran baru, menulis angka yang sama yang ditulis sebelumnya dari barisan pertama yang paling kiri dengan tulisan yang lumayan kecil. Namun Yuni tidak keberatan, jika Ellen juga merasa nyaman dengan tulisan yang lumayan kecil.

"Seperti ini, Bu?"

"Ya, pintar sekali Ellen."

Amelia hanya tertawa kecil melihat kesalahan yang dibuat Ellen, tapi saat matanya menoleh ke kiri, anak perempuan yang duduk di pojok kiri menatap Ellen tajam. Tapi Amelia tidak mengacuhkannya, ia menganggap itu adalah angin lalu.

"Ellen teh nanti pulang bareng aku aja yah!" Ajaknya sambil melirik ke pojok kiri.

"Okey."

Mereka berdua kembali menulis pelajaran yang selanjutnya diajarkan oleh Bu Yuni. Menghabiskan waktu sampai bell terakhir berdering kencang, membuat anak-anak antusias memasukkan barang-barang mereka ke dalam tas lalu bersiap untuk berdoa sebelum pulang.

Para murid berlarian menuju gerbang. Ada yang menunggu jemputan, ada yang pulang jalan kaki, ada juga yang masih tinggal untuk mengerjakan tugas bersama.

Ellen dan Amelia jalan beriringan melewati koridor, bercerita tentang banyak hal sambil berjalan kaki. Senyum dan tawa kecil yang manis terukir indah di wajah putih pucat perempuan Belanda itu. Tapi sesuatu menangkap dirinya, tiba-tiba ia berhenti berjalan dan ditabrak dari belakang oleh seseorang.

"Aduh!"

"M-maaf.."

"Kalau jalan hati-hati dong!"

Amelia kaget, bukannya dia yang meminta maaf karena sengaja jalan terlalu cepat sampai menabrak, malah Ellen yang menunduk sambil minta maaf. Ia terkalut emosi. "Heh, maneh yang sengaja nabrak malah maneh yang ngamuk, yeuu bangor pisan!"

Anak perempuan itu tak acuh, meninggalkan mereka berdua dengan ekspresi kesal sambil mendengus kesal. Ellen yang kebingungan menatap Amelia, dengan wajah polosnya ia bertanya.

"Apa itu bangor?"

"Bangor itu bodoh, tapi jangan pakai kata itu, kamu masih kecil."

Ellen hanya mengangguk. Padahal mereka seumuran, tapi Amelia lebih cocok disebut kakak pelindung Ellen kalau seperti ini. Sedari mereka TK, Amelia lah yang melawan pembenci Ellen seperti kenakalan Nimas dan teman-temannya, dan saat SD pun Amelia masih seperti sosok yang sama. Ia mencoba melindungi Ellen dari anak perempuan yang membencinya, yang diduga bernama Irmawati.

"Selagi ada aku, kamu aman pokok na mah.." ucap Amelia penuh percaya diri.

Ellen tertawa geli.

"Tunggu."

Tawanya terhenti, matanya menatap seorang laki-laki yang memakai seragam dan atribut yang sama dengannya. Ia menyipitkan mata, meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat adalah siapa yang ia harapkan. Laki-laki itu mendekati Ellen, tersenyum manis menampilkan gigi taringnya.

"Apa kabar?"

"Apa kabar?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ETERNAL LOVE : FRANCE & NETHERLAND [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang