13 ; Komt naar Netherland.

10 1 0
                                    

Hari itu telah datang, dimana keduanya tak lagi tinggal di kota hujan. Mereka yang harus merasakan kepedihan karena berpisah lagi, walaupun Maden yang pergi lebih dulu daripada Ellen, tetap saja keduanya merasakan sakit yang sama.

Jika bisa memilih, Ellen juga tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian di rumah, bekerja siang malam, menjahit baju dan menggoreng risoles untuk dijual. Ia ingin tetap tinggal berdua bersama ibunya, mencuri waktu bermain bersama Maden, Dwiki, dan Amelia. Ia juga masih ingin mengikuti kursus biola bersama Stevani. Tapi demi keinginan terakhir ayahnya, Ellen rela berpisah dengan ibunya dan bersekolah di Netherland walaupun tetap kursus biola.

"Tunggu aku, Maden."

Untuk pertama kalinya Ellen menginjakkan kaki ke Netherland sejak tiga belas tahun lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk pertama kalinya Ellen menginjakkan kaki ke Netherland sejak tiga belas tahun lalu. Gadis pirang itu langsung memeluk sang Oma yang menjeput Ellen di bandara.

"Oma!"

"Mijn kleindochter!"
(= Cucuku!)

Pelukan telah menghangatkan atmosfer bandara yang tengah ramai dikunjungi para Eropa dan turis lain. Mereka langsung pulang ke rumah neneknya yang tak jauh dari bandara.

Sesampainya, seisi ruangan nuansa putih terlihat dipenuhi barang-barang antik. Ellen tersenyum pada neneknya yang sangat ia rindukan, senyumannya dibalas dengan usapan lembut dikepala.

"Cucuku sudah besar ya.. nenek sudah semakin tua."

"Oh? Oma bisa bahasa Indonesia?"

Neneknya hanya tersenyum menatap wajah Ellen yang sangat cantik saat beranjak remaja, pasti sangat disayangkan baginya tidak mengikuti pertumbuhan cucu satu-satunya saat di Indonesia.

"Bagaimana jika kita pakai bahasa Indonesia saja?"

"Oké, het maakt me niet uit."
(= Baik, aku tidak keberatan.)

Hari pertama di Belanda membuatnya betah karena udaranya jauh lebih segar dan hawa sejuk yang menyelimuti kota Rotterdam, lagipula sambutan neneknya juga sangat baik. Mereka melepas kerinduan dengan seharian bersama nenek yang gemar menjahit apapun dengan benang rajut.

Sedikit demi sedikit Ellen mengikuti neneknya sampai akhirnya ia mulai bisa membuat jaring dari benang rajut. Kemampuannya semakin di asah, didukung oleh sang nenek yang sangat sabar mengajari cucu perempuannya merajut. Jaring yang awalnya persegi panjang, kini telah berubah bentuk seperti kantung kecil berwarna merah muda.

"Bagus sekali Oma!"

"Ellen pintar sekali."

Senang rasanya ia bisa secepat ini betah di negara asalnya. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik dan berbakat. Meski tinggal di Belanda, Ellen tak lupa dengan bahasa Indonesia yang sesekali ia praktikkan disana. Dan betapa terkejutnya ia karena sebagian besar orang Belanda mengetahui bahasa Indonesia dan beberapa kata Belanda mirip dengan kata Indonesia.

Selama sekolah, ia aktif bergabung kelas musik orkestra. Tak peduli jika harus pulang malam sendirian, sekolahnya juga tidak jauh dari rumah neneknya. Lagipula jalanan Rotterdam tidak sesepi jalanan Bandung yang jam sepuluh malam saja rumah dan warung-warung sudah tutup.

Kemampuan bermain biolanya semakin terasah dengan baik sehingga ia bisa memainkannya dengan mata tertutup. Jujur untuk cara mengajar, para coach sedikit 'tegas dan ketat'. Lagi-lagi mental Ellen diuji untuk ini. Impian satu-satunya adalah agar bisa masuk ke seleksi diantara para pemain biola untuk tampil di Royal Opera House. Seluruh brosur bahkan calo yang berhubungan dengan ujian tes masuk ke Opera House ia ikuti.

"Papa jangan khawatir, aku akan masuk ke Opera House itu untukmu."

9 Desember 2018, Rotterdam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

9 Desember 2018, Rotterdam.

Usianya beranjak sembilan belas tahun. Gadis cantik berambut pirang itu mulai mendapat akses untuk bisa masuk ke Royal Opera House di London karena semakin banyaknya teman kursus yang ia kenal dari kelas latihan.

Ellen memainkan biolanya di rumah bersama neneknya yang sudah semakin tua, kakinya tak lagi sanggup menopang tubuh rapuh nan keriput sehingga hanya bisa terduduk di kursi roda. Mendengar lantunan musik yang keluar dari biola cucunya, mengingatkan wanita tua itu waktu masih sangat muda, dimana ia juga adalah seorang pemain biola yang sukses membuat suaminya terpikat saat tampil di gereja.

Alunan suara biola milik Ellen semakin membuat neneknya terbawa perasaan hingga meneteskan air mata karena indahnya melodi itu. Sampai musik terhenti pun, air mata sang nenek masih menetes, membuat Ellen panik dan berlutut di hadapan sang nenek.

"Apa judul lagu itu?"

"Marry-Go-Round of Life "

ETERNAL LOVE : FRANCE & NETHERLAND [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang