Aku hanya bercanda

5 4 0
                                    

Bahkan tatapan berbeda dari mu bisa manjatuhkan hatiku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Suasana rumahku terasa ramai setelah kehadiran tante Nita, biasanya rumahku sepi hanya ada suaraku, ayah dan ibu yaja sekarang sudah ada suara tante Nita om Fardi bahkan suara tangisan Sekar, aku berharap keramaian ini abadi di rumah ku, tapi itu tidak mungkin.

“Sekar gemoy banget sih kamu.” Ujarku menoel-noel pipi chuby Sekar, tante Nita hanya geleng-geleng kepala melihatku .

“Sia jangan di toel terus Sekarnya.” Teriak ibu menjauh dari dapur.

“Nggak bu nggak bisa di biarkan pipinya terlalu gembul untuk di biarkan.”

“Yaudah lah nggak papa yang penting Sekarnya ada yang jagain.” Ujar tante Nita, aku tersenyum hangat. “Udah ada rencana Siam au kuliah di mana? Jurusan apa?” ujar tente Nita memecah keheningan.

“Rencananya di UI tan, kalo nggak lulus ya udah universitas daerah aja tapi masih bingung tan.” Ujarku dengan tatapan penuh binary.

“Nggak boleh pesimis percaya diri aja.” Lanjut tante Nita.

“Kapan tan aqikahannya tan?” tanyaku dengan tatapan penuh binar.

“Rencananya hari sabtu Sia.”Ujar tante lanjut menyajikan nasi.

“Hari minggu aja tan, kalo hari minggu aku nggak bisa ikut bantu nanti.” Ujarku tertawa cengengesan.

“Nggak bantu apa nggak bisa ikut.” Ejek ibu dengan nada khas mengejek.

“Dua-duanya.” Ujarku tertawa memperlihatkan deretan gigi putih ku yang gingsul.

“Ada-ada aja sih kamu.” Ibu geleng-geleng kepala melihat tingkahku.

“Yaudah hari minggu aja biar Sia bisa ikutan.” Aku langsung berdiri mendekat kearah tante.

“Alhamdulillah, beneran tan?” aku mencoba memastikan ucapan tante.

“Nggak cuman becanda Sia.” Aku langsung menatap tante Nita lemas. “Canda Sia.” Ujar tante Nita.

“Nggak lucu tanteku yang manis cantik bagai bidadari.” Tante Nita duduk di sebelahku.

“Yaudah habis aqikah kita kepantai deh sambil jalan-jalan.” Ayah dan om Fardi duduk di kursi yang meligngkari meja makan keluarga itu. “Yaudah tante traktis eh.” Ujar tante nita berusaha merayuku.

“Traktir apaan tan yang enak, pizaa, burger, soda, alcohol atau amer deh, nggak , ada yang lebih enak babi guling tes kriuk enak tuh.” Ujarku yang mendapat tatapan sinis dari semua orang, perlahan aku menjauh dari keadaan ramai itu.

“Canda tante.” Aku berlari menuju tangga, hingga aku hilang dari pandangan mereka tatapan mata itu tidak hentinya menatapku sudah lama sekali rasanya aku tidak berdebat dengan tante ku itu setelah 6 tahun yang lalu om Fardi membawa tante Nita setelah menikahinya, hingga akhirnya aku jarang sekali bertemu dengannya awalnya aku merasa tidak sanggup tapi lama-kelamaan aku terbiasa tanpa tante nita.

“Sia ada itu nggak--” ujar tante nita yang terpotong saat meihat Sekar yang sedang tertidur lelap. “Ada pelembab nggak Sia punya tante ketinggalan di mobil.” Bisik tante.

Daun Di Musim Gugur (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang