Bagian 06

287 27 0
                                    

"Pertunangan kalian batal."

Jarum jam berputar cepat seiring matahari bergerak naik hingga berada tepat di atas kepala. Tak terasa dua jam berlalu dan posisi dua anak manusia itu masih sama, tak berubah sejak terakhir kali.

Sabyna masih bergeming dengan bibir terkatup rapat. Membiarkan Saskia menumpahkan air mata dan meluapkan segala kesedihan. Mendengar rancauannya tanpa menyela sekalipun.

Tanpa jeda iklan, tangan milik perempuan bernetra biru itu setia bergerak mengusap punggung Saskia. Memberi dukungan tanpa bersuara. Hingga suara isak tangis itu perlahan mereda, menyisakan sesenggukan.

"Mau kan bicarain ini pakai kepala dingin?" Untuk kali pertama Sabyna mengeluarkan kata setelah sekian lama membisu. Sebenarnya ia malas basa-basi, ia lebih suka langsung menembak lawan bicaranya hingga tak mampu menyanggah. Tetapi melihat anggukan lemah seiring pelukan yang mulai terurai. Sabyna memutuskan sedikit bersabar.

Sudah dari beberapa bulan lalu ia dibuat emosi oleh akal sesat Saskia. Lewat ancaman, perempuan itu menyeretnya terlibat dengan segala rencana sinting miliknya.

"Apa Tante Mira yang minta pertunangan kami batal?" Suara Saskia terdengar parau, penampilannya berantakan dengan mata sembab, hidung merah dan rambut yang lebih mirip sarang burung. Saskia kacau, dia tampak terguncang oleh kabar yang Sabyna bawa.

Meraih tisu di atas nakas kemudian memberikannya pada Saskia. Sabyna turut membersihkan kaca mata bulat miliknya sebelum ia pakai kembali. "Siapapun yang pertama batalin, sebenarnya itu gak penting." Sabyna tidak ingin Saskia menyalahkan kedua orang tuanya saat mereka pun ikut terluka atas permasalahan ini.

"Logika aja. Mereka gak mungkin diam saat tau lo hamil anak dari pria lain. Parahnya lagi itu anak Dimas, asisten Saka, pria yang punya hubungan dekat dengan keluarga mereka."

"Menurut gue, ini keputusan terbaik buat kalian berdua. Lo tau, lo gak sedang ada di posisi yang bisa berbuat seenaknya. Gak bisa, Sas.. karena mereka udah tau yang sebenarnya."

Tenggorokannya tercekat, bibirnya kelu, tak mampu membalas ucapan Sabyna. Ia kewalahan mengatasi rasa sakit yang mulai menggerogoti hatinya.

Kenapa Saskia merasa tidak ada yang mau mengerti posisinya?

Tidak ada yang mau mencoba memahami perasaannya..

Padahal ia punya alasan. Ia berusaha sudah sejauh ini. Tujuannya hanya mengikat pria yang ia cintai ke dalam hubungan yang lebih serius.

Tapi kenapa..

"Lo pasti ngerasa ini gak adil ya?" Sabyna menyugar rambut ke arah belakang dengan tatapan prihatin yang tak lepas dari Saskia. "Sadar gak sih, kalau masalah ini muncul karena tingkah lo sendiri. Andai aja lo bisa gunain otak dengan baik. Semua gak bakal jadi sekacau ini."

Sabyna tidak kuasa menahan mulutnya. Terlalu gemas dengan sifat keras kepala Saskia. Berupaya menyadarkan perempuan itu walaupun terkesan menghakimi.

Mungkin bukan waktu yang tepat membahas masalah ini disaat kondisi Saskia sedang tidak baik-baik saja, perempuan itu juga sempat pingsan. Tetapi, bom terlanjur dilemparkan, mau tidak mau Sabyna harus mengambil peran.

"By, lo harus bantu gue." Saskia meminta penuh harap. Wajah pucatnya berubah panik.

"Apa?"

"Bantu gue jelasin ini sama mereka. Mereka mungkin udah gak mau dengerin gue. Lo harapan gue By. Bilang ke Tante Mira, kalau malam itu yang tidur sama gue Saka bukan Dimas, gue gak kenal Dimas. Gue bisa mati kalau gak sama Saka.."

"Bukan Dimas, janin ini anak Saka," kata Saskia menambahkan seraya mengusap perutnya yang masih rata.

Mata Sabyna mengerjap pelan, tidak habis pikir dengan pemikiran tak masuk akal itu. Gak kenal Dimas? Siapapun juga tau kalau Saskia membual.

FATE POIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang