Fai
"Kenapa lagi sih, Mbak?"
Lu yang kenapa, Jun. Tiap kali aku kebetulan melamun, Jun selalu saja berhasil memergokiku sehingga kesannya pekerjaanku cuma planga-plongo tidak jelas.
"Berkas kasus TPPO udah lengkap semua ya isinya," aku mengatakan apa yang ada di dalam pikiranku.
Lelaki yang sedang berkomunikasi dengan salah satu anggota reserse di lapangan itu menaruh ponselnya ke meja kemudian menggeser kursi yang didudukinya hingga mendekat ke arahku. "Mbak, Ya Allah, udah pindah tangan ke kejaksaan itu. Gak usah dipikirin lagi, bukan kasus tim Mbak Lala juga, kan? Saya aja yang megang kasusnya malah plong."
Plong katanya? "Plong apa plong? Katanya kemarin masih ngeganjel."
Perkataan Jun kemarin benar semua. Berkasnya lengkap, seluruh pengakuan tersangka di BAP sudah sinkron dengan kenyataan yang sebenarnya. Tapi entah kenapa, aku merasa bahwa kasus ini tidak mungkin selesai sampai di sini. Perdagangan organ dan manusia loh ini. Jaringan mereka sama kuatnya dengan peredaran dan perbandaran narkoba.
Rambutnya diacak cepat, "Tau dah, Mbak, Demi Allah pusing banget saya," frustrasi juga dia akhirnya. "Apa ya yang ganjel? Dua orang yang ilang itu? Atau daftar klien pembeli organnya yang mungkin sebagian masih disembunyikan oleh Agung Sutjipto?"
Seperti ada secercah cahaya terang di dalam kepalaku sekarang. "Client?" aku mengulangi satu kata itu. Seingatku, pembeli di black market mereka kebanyakan berasal dari luar negeri. Ada sih beberapa yang masih warga lokal, tapi nggak sebanyak orang luar karena mereka adalah perorangan, bukan berupa foundation atau yayasan seperti yang ada di Singapura sana.
"Kata saya mah gak mungkin kalo di negara kita nggak ada yayasan yang butuh organ dari mereka. Liat ini deh, Mbak," Jun menggeser kursi berodanya itu ke arah mejanya lagi cuma untuk mengambil sebuah map di lacinya yang terkunci.
"Apa ini?" tanyaku heran ketika amplop besar berwarna putih itu telah berada di tanganku.
"Buka aja," suruhnya.
Mataku bergerak cepat mengikuti arah tulisan yang ada di sana. Aku nggak bodoh-bodoh banget kalau sekedar membaca hasil pemeriksaan– apalagi jika berupa alat bukti visum. "Ini korban yang mana? Kok di berkas gak ada?" cecarku kepada Jun.
"Bukti ini gak diterima karena kebenaran tentang pelapor yang mengaku bahwa adiknya adalah korban sulit dibuktikan. Korban udah dikubur sekitar satu bulan sebelum pelaku dan jaringan organisasi gelapnya ditangkap. Jadi pas keluarga membongkar makam untuk melakukan autopsi, jenazah sudah dalam proses pembusukan."
Aku terus mendengarkan, "Mayat korban tiba-tiba ditemukan di jalan tol Balaraja Timur setelah hilang dua minggu. Keadaannya waktu itu memang memprihatinkan tapi keluarga menolak autopsi karena tidak tega dengan kondisi korban. Yang aneh, polisi juga gak ada itikad buat melakukan penyelidikan. Ya udah, dibiarin gitu aja kasusnya, padahal jelas banget kalo ini pembunuhan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheating on Death: Sebuah Tragedi
Science Fiction[Part of RI 1 Series] Sebuah perjalanan menguak tragedi berisi aksi keji dalam menggugat takdir ilahi. Batas-batas moral dan religius telah hilang tak terpandang berkat sebuah kejumawaan yang berlindung di bawah ilmu pengetahuan. Seseorang pernah b...