Fai
Aku benar-benar nggak punya kesanggupan buat pulang ke rumah. Aku gak siap melihat wajah Mas Nugi di sana. Semua perkataan Bambang di ruang rawatnya masih membuat aku terkejut setengah mati. Aku sudah tidak tertarik untuk mencari tahu identitas aslinya. Entah dia berasal dari mana- mau itu CIA, elit global, atau apa pun itu namanya, sedikit pun aku tidak akan mempedulikan asal-usulnya lagi.
"Mbak Fai gapapa? Kok nggak pulang?" Jam sembilan malam, dan aku masih berada di kantor walau semua orang sudah pada pulang.
"Eh, Jun," Tim 2, yaitu timnya Jun, memang masih ada urusan di Puslabfor. Sepertinya mereka baru kembali ke kantor walau yang aku lihat saat ini hanyalah Jun serta Erick saja.
"Ngopi yuk, Mbak?" ajaknya. Bukan ke kafe, melainkan nyeduh sendiri ke pantry di dekat ruang arsip. Beberapa lampu ternyata sudah mati, mungkin yang menyala hanyalah lampu di ruang kerja dan pantry ini saja.
Jangan mengira bahwa di sini ada mesin penyeduh kopi yang otomatis itu. Kami tetap harus mendidihkan air di kompor dan memilih sendiri varian kopi instan yang di warkop dijual seharga lima ribuan. Aku ikut Jun saja. Biasanya, lelaki itu akan menyeduh kopi luwak atau kalau tidak ya kopi latte dengan gula terpisah.
"Mbak Fai beneran gapapa, kan?" cemasnya. Jun begini karena dialah yang pertama kali memberitahu bahwa korban yang ditabrak oleh Ayah adalah Ibu Mas Nugi.
Aku tersenyum hambar, "Boong kalo saya bilang saya baik-baik aja. Semuanya terlalu mengejutkan, Jun."
"Mbak," panggilnya. Aku melihatnya, seperti ada yang ingin Jun katakan namun dia tampak ragu untuk memberikanku tahu. "Ah, enggak jadi, nanti aja kalo semuanya udah pasti." Lagi, lutut saya bergetar. Entah kenapa saya langsung berpikiran negatif setiap kali kalimat menggantung seperti itu terdengar.
"Jun, saya capek banget, jujur aja. Tapi saya bakalan lebih capek kalo kamu ngegantung saya kayak gitu. Bilang aja semuanya sekalian, biar nggak kagok saya stresnya." Aku hampir menangis, untungnya masih bisa kutahan walau suaraku jadi bergetar. Lelaki itu tampak bingung sewaktu aku bereaksi seperti itu. Ujungnya, dia menepuk-nepuk bahuku untuk sekedar memberikan aku kekuatan.
"Kan udah lama, Mbak, kejadiannya. Suaminya Mbak juga nggak menjadikan itu sebagai masalah, kan? Buktinya rumah tangga Mbak Lala baik-baik aja." Aku nggak tau apakah Mas Nugi juga tahu soal hal itu atau dia cuma berpura-pura tidak tahu saja. Semuanya terlalu membingungkan. Hipotesa yang Bambang simpulkan tentang dia dan penelitiannya masih sulit untuk aku mengerti sepenuhnya.
Maksudnya ... Ibu Mertuaku masih ada sampai sekarang dan sedang menjadi bahan percobaan Mas Nugi atau bagaimana? Kalau iya, bukankah itu artinya Mas Nugi sudah menyimpan mayat selama puluhan tahun di laboratoriumnya? Sungguh, aku nggak ngerti dengan jalan pikiran suamiku sendiri. Secanggih-canggihnya teknologi, yang namanya kematian tetap tidak mungkin untuk diakali.
"Mbak mau cerita ke saya?" ucapnya hati-hati.
Tak terasa, ada setetes air mata yang lolos dari pelupuk mata. "Lain kali ya, Jun, saya masih butuh waktu. Tadi kamu mau bilang apa? Gak apa-apa, sekarang aja," aku mendesaknya. Kepalang hancur hatiku di sepanjang hari ini.
"Cuma tentang kasus yang waktu itu," matanya berbicara yang sebaliknya. Ini bukan soal kasus mayat tanpa jantung saja, aku yakin sekali. "Tapi belum pasti sih, Mbak. Nanti deh, kalo semuanya udah jelas, bakalan saya kasih tau detailnya ke Mbak Lala. Sekarang, Mbak Lala mau tidur di mana? Mau ke rumah Pak Jasa?"
Aku menggeleng, "Om Jasa bisa khawatir dan curiga kalo saya ke rumahnya. Di sini aja, saya tidur di ruang jaga lantai satu juga jadi."
Jun tidak bertanya apa pun lagi. Dia menemaniku selama hampir dua puluh menit lamanya di dalam keheningan. Aku menyuruhnya untuk segera pulang. Dia pasti lelah karena sudah bekerja di luar seharian. Walau memaksa, aku menolak tawarannya untuk terus menemaniku di sini. Aku lagi pengen sendiri. Semoga dengan begitu, perasaanku bisa membaik di keesokan hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheating on Death: Sebuah Tragedi
Science Fiction[Part of RI 1 Series] Sebuah perjalanan menguak tragedi berisi aksi keji dalam menggugat takdir ilahi. Batas-batas moral dan religius telah hilang tak terpandang berkat sebuah kejumawaan yang berlindung di bawah ilmu pengetahuan. Seseorang pernah b...