6. Membuka Rahasia

962 170 217
                                    

Patih

'Brak!'

Aduh, punggung gue.

Lo bayangin. Gue baru beres pup di WC, terus pas buka pintu buat balik ke kamar, tiba-tiba gue didorong sampe punggung gue ngejedak. Sialan. Gue udah nebak di kamar ada orang, tapi sama sekali gak expect kalau gue akan diserang secara mendadak.

Ada api yang membara di kedua bola matanya yang legam. Sedikit pun, gue tidak panik dan tidak memberikan perlawanan. Gue pasrah-pasrah aja waktu polisi wanita berpangkat IPTU itu memberikan kuncian agar gue tidak bisa ke mana-mana.

"Kamu siapa?" desisnya geram, "sejauh mana kamu tau soal saya dan ayah saya? Apa maksud keberadaan kamu di rumah sakit ini? Jawab!" Tekanan yang tangannya berikan di dada dan leher gue membuat gue sedikit kesulitan saat mengambil napas. Tenaganya oke juga, jauh lah sama Indira yang sering lengah.

"Sekalian aja kamu cekik saya biar saya gak bisa ngomong." Sarkasme tersebut berhasil membuat Fai melepaskan kunciannya. Tak seperti biasa, siang ini dia terlihat sangat frustrasi. Dibandingkan gue, yang perlu pertolongan psikiater adalah dia deh kayaknya.

"Huuuhhh," lebay dikit, padahal mah gak engap-engap banget. Sekali banting juga pingsan dia kalo diturutin. "Ada apa nih? Pake cara baik-baik dong, kayak bukan ke pasien aja." Melihat reaksinya sekarang, sepertinya gue sudah mulai bisa melepaskan kedok yang beberapa hari ini gue pasang. Di depan dia aja sih khususnya, lama-lama capek juga buat pura-pura gila.

Rasanya seperti dejavu ketika tangan kanan gue dipasangi borgol besi. Sebelah lagi ia pasangkan di pinggiran bed milik rumah sakit untuk mencegah gue melawan atau pergi. Ruang rawat yang harusnya diisi oleh empat orang pasien ini kosong melompong. Dengan statusnya sebagai istri dari Wakil Direktur Pelayanan, tentu Fai bisa leluasa menyalahgunakan power milik suaminya untuk melakukan semua ini.

Ya, meskipun gue yakin 1000% kalau Fai datang ke sini tanpa sepengetahuan suami dokternya yang hebat itu.

Gue meringis ketika dia meremas kaki yang baru saja lepas dari gips plester itu. Tadi pagi, gipsnya diganti dengan jenis fiberglass karena hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kondisi tulang di kaki gue sudah sangat membaik. Gila ya, cepet banget pulihnya. Masa baru lima hari udah bisa dipake lari? Kurang parah nih si Deva nabrak guenya.

Nekat juga ni cewek. Apa karena dia berasal dari Bareskrim makanya dia gak segan buat ngapa-ngapain orang?

"Jawab pertanyaan saya yang tadi, kamu siapa?" Fai mengulangi pertanyaannya.

"Ya, Bambang. Emang siapa lagi? Gini deh, kamu maunya saya siapa? Bilang aja, entar saya ubah."

'Buk!'

Anjing lah, ditonjok dong perut gue. Artikel kemaren kayaknya bener dah. Gubernur Bali yang baru dijadiin tersangka ngaku diintimidasi oleh polisi. Kalo penyidiknya kayak gini sih gue percaya. Sampe koma pun bakalan dia hajar asalkan apa yang ingin dia dengar berhasil didapatkan.

"Saya bisa muntah kalo ditonjok di situ, tadi sarapan sama sayur sop doang, masih mual ini bawaannya." Besok-besok gue nyelinap pergi deh buat beli ayam goreng di depan rumah sakit. Bosen gue makan makanan sehat mulu, mana rasanya kayak aer kobokan di tenda pecel lele lagi tuh.

"Jangan beromong kosong kamu, ya! Jawab!" Kemurkaannya menarik untuk dilihat. Udah lama gue nggak liat cewek sangar di lapangan.

"Gak perlu tau, dan gak penting untuk tau." Gue masih bersikukuh untuk mempertahankan identitas.

Fai mondar-mandir, mungkin dia sedang meminimalisir amarah di dadanya agar tidak melayangkan kekerasan. Kursi plastik yang semula berada di dekat jendela ia seret sampai berpindah ke sisi tempat tidur. Gue masih duduk santai di tempat, nikmati aja dulu soalnya tangan gue masih diborgol sama dia.

Cheating on Death: Sebuah TragediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang