Nugi
"Totally failed, Dok. Strukturnya rusak hingga ke tingkat molekul karena tidak ada reaksi elektrik dan kimia pada neuron. Tentu karena tubuh telah mati yang mengakibatkan seluruh aktivitas otak berhenti berfungsi."
Saya melihat laporan penelitian yang tertampil di layar komputer sambil terus mendengarkan keterangan dari bibir Andreas. Untuk saat ini, mengubah memori atau ingatan manusia menjadi sebuah data yang dapat dipindahkan sepertinya adalah ketidakmungkinan. Bukan, bukan tidak mungkin. Hanya saja, manusia belum berhasil menemukan cara terbaik untuk melakukannya dan masih butuh waktu agar kita bisa tiba ke sana.
"Gagal, ya?" Saya mengusap ujung dagu menggunakan jari. "Kalau kasusnya seperti itu ... bukannya kita butuh tubuh yang hidup untuk menciptakan variabel yang berbeda?"
"Maksudnya, Dok?"
Kini, saya tidak lagi menumpu tangan di atas meja melainkan sengaja memutar kursi ke tempat Andreas berada supaya kita bisa saling melihat satu sama lain. "Ya, begitu, masa harus saya jabarkan?" ujar saya agak ketus.
Jari-jarinya bergerak gelisah, remasan di antara mereka menjadikan kulitnya agak kemerahan. "Tunggu apa lagi? Langsung uji sekarang juga. Kita masih punya banyak spesimen, kan?"
"Tapi, resikonya terlalu tinggi, Dok. Kita tidak bisa menjamin apakah spesimen yang masih hidup dapat bertahan selama uji cob–"
"Do it," potong saya cepat, "resiko ya resiko. Semua demi penelitian."
Setelah menegaskan perintah yang tidak menerima penolakan tersebut, saya berdiri kemudian pergi meninggalkan sebuah ruangan luas di bawah tanah itu. Ketika naik ke atas, saya melemaskan rahang untuk menghilangkan kekakuan jika harus tersenyum kepada orang. Menjadi dokter yang bertemu dengan banyak orang agak merepotkan karena menuntut saya agar selalu tersenyum di tiap kesempatan.
"Dok, hasil neurotransmitter test pasien poli jiwa atas nama Bambang sudah keluar." Saya baru saja sampai ke ruang praktek di poliklinik ketika perawat yang sudah tiga tahun bekerja dengan saya masuk ke dalam. Segera, saya menerimanya kemudian membukanya.
Kadar dopaminnya rendah, mungkin inilah penyebab utama dari depresi yang diderita olehnya. Secara keseluruhan, hasil tesnya mengambang– antara normal dan juga tidak. Pasien ini membingungkan. Kata spesialis kejiwaan, delusinya parah karena disertai pula oleh gejala psikosis. Namun ketika tes gelombang otak dilakukan, hasilnya bagus-bagus saja makanya dia sampai disarankan untuk menjalani neurotransmitter test ini.
"Oh, iya, kemarin siang Bu Fai ke rumah sakit."
Saya terdiam. Fai ke rumah sakit? Mau apa? Kenapa dia tidak bercerita tentang yang satu ini? "Oh, ya? Istri saya ke mana, Lun?"
Luna mencoba mengingat-ingat sesuatu di dalam kepalanya, "Kayaknya ... ke Poli Geriatri. Saya liat Bu Fai keluar dari sana sambil ditarik-tarik sama pasien ini, Dok." Pasien ini? Bambang maksudnya? "Kirain sama Dokter Nugraha, tapi saya keingetan kalo Dokter lagi libur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheating on Death: Sebuah Tragedi
Science Fiction[Part of RI 1 Series] Sebuah perjalanan menguak tragedi berisi aksi keji dalam menggugat takdir ilahi. Batas-batas moral dan religius telah hilang tak terpandang berkat sebuah kejumawaan yang berlindung di bawah ilmu pengetahuan. Seseorang pernah b...