4. Awal Mula

983 170 130
                                    

Fai

"Hey, ada pikiran?"

Cepat-cepat aku mematikan kompor saat Mas Nugi membuyarkan lamunan dengan cara memelukku dari belakang. Jika ditunda semenit lagi, pasti ayam serundeng yang aku buat ini akan berbau gosong.

"Nope, cuma soal kerjaan," aku menoleh sampai wajah kita berdua berhadapan. Mas Nugi mengecup bibirku dari posisinya itu. Senyum manisnya terpampang, ia agak sedikit kecewa saat aku melepaskan tangannya yang melingkar di depan pinggang.

"Kamu lagi ada penelitian apa, Mas?" tanyaku sambil membawa dua buah piring yang selanjutnya kuisi dengan nasi dari dalam penanak. Hari ini Mas Nugi libur, makanya dia belum mandi dan masih memakai kaos serta celana pendek yang semalam.

"Tumben pengen tau?" ucapnya. Begitu piring untuk Mas Nugi sudah komplit diisi nasi dan juga ayam serundeng buatanku, aku mengantarkannya ke meja makan supaya dia bisa segera sarapan. Jangan salah, gini-gini aku pinter masak. Nggak ada satu pun menu lokal yang gak bisa aku buat selama ada resep dan petunjuk penyajian.

Percaya deh, masak itu bukan cuma perihal skill, tapi juga tentang sense membumbui karena di sanalah kunci kenikmatan sebuah masakan tersimpan. Dan aku, aku punya sense yang baik soal itu.

"Biasanya kamu gak pernah nanya karena selalu bilang gak ngerti." Aku mana paham dengan istilah-istilah medis yang rumit itu, makanya aku jarang nanya topiknya apa. Tapi kali ini, aku penasaran.

"Yaaa, siapa tau kamu mau cerita ke aku. I listen to you."

"Memori," katanya, "aku lagi bikin penelitian tentang memori manusia."

"Menyangkut otak?" tanyaku. Bidang spesialisasinya kan saraf, tentu fokusnya kebanyakan tentang otak dan sumsum tulang belakang.

Kedua pipinya tampak penuh ketika sedang mengunyah sarapannya. Mas Nugi mengangguk bersemangat, "Yap, otak. Kita cuma tau sedikit sekali tentang isi alam semesta. Lewat sains, sesuatu yang gak kita ketahui mungkin akan terbuka. Salah satunya tentang tubuh manusia?"

Suamiku ini ... gimana ya bilangnya? Dia sangat berlogika dalam segala hal. Mas Nugi nggak percaya takhayul karena menurutnya, fakta itu adalah tentang segala sesuatu yang hanya bisa dibuktikan kenyataannya lewat ilmu pengetahuan.

"Lalu, apa yang pengen kamu teliti dari memori manusia?" Rasa penasaranku berhasil mengalihkan seluruh atensi Mas Nugi dari sarapannya. Tampaknya dia lebih tertarik untuk menjawab pertanyaanku deh daripada makan dengan menu favoritnya.

"Mungkin atau enggak kalau memori manusia bisa ditransfer, dipindahkan, atau diawetkan? Itu sih yang pengen aku ketahui. Apakah ketika tubuh seseorang mati, memorinya masih bisa diselamatkan?"

Bukannya takjub, aku malah merinding. Mas, ini manusia, bukan komputer yang memorinya bisa dioper-oper ke hardisk sama flashdisk! Tapi sayangnya, aku nggak berani buat bilang gitu ke dia.

"Aku nggak ngerti sama keingintahuan kamu itu," heran kan kenapa orang sepintar dia mau-maunya nikahin polisi berkepala kosong yang paling berat mikirnya cuma tentang teori-teori kriminologi? "Terus, gimana? Bisa?" tanyaku lagi.

Wajahnya tidak menampilkan keoptimisan, "Almost impossible. Aku udah nyoba mengawetkan otak. Ternyata yang bertahan hanya jaringan struktural atau fisiknya aja, sementara jaringan fungsional untuk proses ingatan seperti saraf dan ujung-ujung saraf, zat kimiawi di dalam dan di antara saraf, semua rusak dalam prosesnya."

"Aku sedang dalam proses percobaan mengawetkan saraf dan zat kimiawinya. Tapi masih ada masalah, yaitu tentang gimana menangkap, memindahkan, dan menerjemahkan struktur fisik pada saraf dan ujung-ujung sarafnya agar bisa menjadi sebuah data yang dapat dipindahkan."

Cheating on Death: Sebuah TragediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang