#6

0 0 0
                                    

   Mia merasakan kegelisahan mendalam, hatinya dipenuhi kekhawatiran untuk Reon meskipun hubungan mereka tidak sebaik dulu. Dengan cepat, ia berlari menuju sekolah, ingin menyusul Reon yang berdiri di atas atap sebelum terlambat.



   Sementara itu. Reon, di atas atap sekolah, merenung tentang hubungannya yang kini tak menentu. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang bagaimana ia bisa mengembalikan semuanya seperti dulu saat pertama kali ia dan Mia menjalin cinta.
Reon menghela nafas berat, menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. "Langit yang gelap aja bisa cantik karna bintang sama bulannya, lah gw..." keluhnya. Ia melepaskan gelang dari tangannya, mengangkatnya ke atas, mencoba menyamakan hiasannya dengan bintang di langit. Namun, gelang itu tidak sengaja terlepas dan jatuh ke bawah.
Dengan tatapan cemas, Reon menunduk ke bawah untuk mencari arah jatuhnya gelangnya, ekspresinya menunjukkan keinginan untuk melompat turun mengikuti gelang yang terjatuh.

"Duh, pake jatuh lagi," gumam Reon. Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya, membuatnya berbalik. Terkejut, ia melihat Mia, gadis yang selama ini ada di pikirannya. Mia, yang masih bernapas berat setelah berlari, langsung berteriak, "Lo gila?! Gw nggak tau masalah lo apa, tapi gw nggak suka lo atasinnya dengan bunuh diri. Lo fikir semua bakal berakhir dengan lo akhirin hidup?"

"Bentar, siapa yang mau bunuh diri?" tanya Reon, membuat Mia ikutan bingung. "Tadi lo mau lompat," sergah Mia. Reon menjelaskan, "Itu tadi gelang gw jatuh." Mia terkejut, "Trus yang Inna bilang?"

Keduanya sama-sama bingung dengan kejadian tersebut. Ternyata, tidak ada yang benar-benar ingin mengakhiri hidup. Semua itu hanyalah cerita karangan yang dibuat oleh Inna agar Mia datang, sementara Reon berada di atap karena suruhan Evan yang berjanji akan menemui Reon di atas sekolah. Mia dan Reon menyadari bahwa mereka telah dipermainkan oleh Inna dan Evan yang bersekongkol untuk mempertemukan mereka.

"Emang nggak papa kita biarin mereka di atas kek gitu?" tanya Galih pada Inna yang sedang asik makan tanpa rasa bersalah malah merasa bangga. "Nggak usah khawatir, tenang aja," jawab Inna. Galih masih bertanya, "Tapi kenapa harus alasan bunuh diri? Nggak terlalu bahaya emang?" Evan menjawab, "Yah, mau gimana lagi. Kalau nggak diancem, nggak bakal mau dateng Mia kan." Fitri berharap, "Semoga aja abis ini mereka bisa baikan deh," dan diangguki oleh semua orang.



Kini, dua insan itu telah duduk di pinggiran atap, sama-sama canggung. Tampaknya, tak ada yang memiliki niat membuka perbincangan.

"Jadi, lo kesini karena khawatir sama gw?" akhirnya Reon memberanikan diri untuk memulai perbincangan, berharap dapat memulai semuanya kembali. Mia menatap Reon sekilas, lalu kembali menatap ke depan dan mengangguk pelan. Terdengar suara tawa Reon.
"Kenapa ketawa? Nggak ada yang lucu perasaan," ujar Mia.

"Gw nggak nyangka lo ternyata masih khawatir sama gw."

"Ya, siapa yang nggak khawatir coba? Inna bilang lo mau lompat dari atap."

"Dan lo percaya?"

"Ya... ya iya."

Lagi Reon tertawa, membuat Mia jadi sedikit malu. Dalam hati, ia sudah menyumpahi Inna karena memberikan informasi palsu.

"Berhenti nggak ketawanya? Nggak lucu tau."

Bukannya berhenti, Reon malah semakin tertawa.
"Reon, nggak lucuuu."

"Nggak, cuma lucu aja gitu. Setelah gw yang udah perlakuin lo dengan jahat, lo malah khawatirin gw sampai-sampai nyusul kesini, padahal lo harus kerjain tugas," jelas Reon.

Mia terdiam, memikirkan apa yang harus ia katakan lagi pada pria di sampingnya itu.

"Gw... sebenarnya nggak sesibuk itu," Mia kemudian menatap Reon, menunggu untuk melanjutkan ucapannya. "Ngerjain tugas... bukan alasan utama gw." Mia tampak ragu mengatakan alasan sebenarnya, tapi otak dan hatinya tidak sepaham.
"Gw... Gw cuman... Gw..." ujar Mia terbata-bata.

"Gw tau kok," Reon kini menatap lekat wanita tersebut. "Lo sebenarnya nggak mau kan ketemu gw? Gw tau ngerjain tugas cuman alasan. Lo bukan Evan yang serajin itu ngerjain tugas di malam minggu."

Mia menatap Reon, manik mata kecoklatan Reon bertemu dengan manik mata hitam legam milik Mia.

"Gw rasa itu wajar, gw udah sejahat itu sama lo. Kalau gw diposisi lo, gw juga pasti bakal lakuin hal yang sama..." ujarnya lalu menatap ke depan.

"Lo tau nggak sih, kalau tiap malem tuh gw selalu mikirin lo. Contohnya tadi, gw mikirin lo. Gw pengen hubungan kita kembali baik, tapi..." Reon menghentikan ucapannya sesaat.
"Tapi kenapa?" tanya Mia.

Reon pun tersenyum, "Untuk orang yang udah nyakitin dan ninggalin lo, gw nggak berhak minta lo balik lagi," jawab Reon.

"Gw nggak sebenci itu sama lo. Ya, gw cuman kesel aja. Lo pergi gitu aja tapi nggak ngasih alasan ke gw. Gw juga intropeksi diri, mungkin gw ada salah sama lo. Dan gw juga nggak berharap kita secanggung ini," jelas Mia.
"Mia... Lo itu terlalu baik. Gw udah nyakitin lo dengan pergi tanpa kabar. Harusnya sekarang lo mukul gw, atau harusnya lo seneng denger gw mau bu-" ucapan Reon terpotong saat sebuah tangan halus mendarat di wajahnya dengan keras.

Reon sedikit terkejut dan menatap Mia yang kini sudah menahan tangisnya.

"Tamparan itu buat lo, karna udah ninggalin gw tanpa alasan, dan tamparan itu juga buat fikiran lo yang terlalu sempit," ujar Mia tegas.

"Reon, kita bukan anak kecil lagi, yang kalau marah pengennya balas dendam. Kita udah gede, Reon. Gw emang marah sama lo, gw kecewa. Tapi karna gw belum tau alasan lo pergi, gw juga nggak berhak simpulin kalau lo itu jahat," ucap Mia panjang kali lebar.

"Gw nggak tau kenapa lo tiba-tiba pergi. Lo tinggalin gw, bener-bener pergi. Gw kira hari itu lo cuman lupa, gw kira besok lo bakal datang lagi. Tapi justru lo malah hilang tanpa kabar. Gw pengen benci sama lo, tapi gw nggak bisa... Lo tau kenapa?" Mia berhenti sejenak, menatap mata Reon dengan penuh pertanyaan.

"Karna gw sayang sama lo, Reon!" Tangis Mia kini pecah di hadapan laki-laki yang sudah lama menjadi beban fikirannya.

Sementara Reon, ia hanya diam. Terkejut. Tak bisa menjawab apapun. Hatinya begitu teriris melihat wanita yang ia kasihi menangis dihadapannya terlebih karena dirinya.

"Gw... minta maaf," hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya.

"Gw udah lama nunggu lo, nunggu lo datang trus minta maaf ke gw... 5 bulan gw tunggu lo. Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang, Reon?"

"Gw... Gw takut, takut lo nggak nerima maaf gw."

Lagi Mia menampar Reon, walau tidak sekeras tadi.

"Gw pengen tampar lo berkali-kali sampai gw puas... Tapi gw tau gw sendiri yang bakal sedih liat lo terluka, lo emang nyebelin."

"Gw emang nyebelin," akunya, dan tersenyum sambil mengelus kepala Mia yang tertutup jilbab.

       𝑔𝑤 𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑏𝑜𝑑𝑜ℎ 𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑖𝑛 𝑐𝑒𝑤𝑒𝑘
               𝑘𝑎𝑦𝑎𝑘 𝑙𝑜 𝑀𝑖𝑎.. 𝑚𝑎𝑎𝑓𝑖𝑛 𝑔𝑤..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PERBEDAAN yang MENYULITKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang