4: Noda di Atas Topeng

0 0 0
                                    

Rekaman yang menyebar seperti api di seluruh sekolah akhirnya sampai ke telinga Sarah. Guru wanita itu seperti tidak bisa percaya apa yang dia lihat.

Dengan bukti nyata yang hadir, Olivia tidak bisa menghindar lagi. Sepulang sekolah, di ruangan detensi yang diselimuti cahaya emas matahari senja, Olivia meremas rambutnya frustasi.

Selepas Sarah melihat rekaman video dan foto-foto Olivia dan Fanya di gudang, dia segera memasukkan Olivia ke ruang detensi dan menyuruhnya menulis essay 20.000 kata untuk mengintrospeksi kembali apa yang telah ia lakukan.

Awalnya Olivia menangis dan melempar tantrum seperti anak kecil yang tidak tahu apa kesalahannya. Tapi setelah Rendra muncul, tangisan Olivia menjadi amukan dan jeritan. Gadis gila itu menjadi sangat tidak terkendali dan hampir melempar kursi ke arah Rendra.

Amarahnya wajar, karena Rendra yang mengambil video itu. Jika bukan karena Rendra tiba-tiba muncul, drama yang diciptakan Olivia akan sempurna dan Fanya pasti dikeluarkan dari sekolah akibat kasus perundungan.

Sebelum masalah berkembang terlalu jauh, orang tua dari Fanya dan Olivia dipanggil ke sekolah untuk bermusyawarah. Pihak sekolah berhasil meyakinkan pihak orang tua Fanya agar tidak mengambil jalur hukum atas tindakan Olivia yang kelewat batas. Sebagai gantinya, orang tua Olivia akan membayar ganti rugi uang tunai dengan jumlah yang cukup besar.

"... sat!" Olivia menggeram lirih di ruang detensi. Dia melirik kertas folio di hadapannya, kemudian goresan tangannya di atas kertas folio itu.

Dia hampir tidak bisa berpikir dengan benar karena kepalanya dipenuhi ketakutan tentang apa yang harus ia lakukan saat menghadapi orang tuanya sepulang sekolah.

Belum lagi tugas essay dari Sarah. Isi kepala Olivia sangat kacau sekarang. Dia mulai menggigit tutup pulpen dan menggerak-gerakkan kakinya dengan tidak sabar.

Sampai seseorang membuka pintu ruang detensi dan menarik perhatian Olivia. Tapi melihat siapa orang itu, darah Olivia kembali mendidih karena murka.

"LO BOCAH ANJ*NG—" Omongannya terputus karena orang lain yang mengikuti di belakang Rendra.

Seorang pria dewasa di awal 40-an dengan setelan rapi melotot ke arah Olivia. Pembuluh darah di wajahnya membengkak seolah-olah akan pecah di detik berikutnya.

Pria itu berjalan melewati Rendra dan mendekati Olivia yang gemetar ketakutan di kursinya. "A-ayah..." rintih gadis itu.

Olivia masih sempat melayangkan pandang kepada anak laki-laki yang sebelumnya mengantar ayahnya ke ruang detensi, tapi Rendra sudah pergi secepat angin.

Dengan kaki yang lemas dan tubuh yang gemetar, Olivia memaksakan diri untuk menghadapi ayahnya. Sekarang hanya ada dirinya dan pria itu di ruang detensi.

"Kamu anak b*ngs*t! Bisanya cuma nyusahin orang tua!" geram ayah Olivia. Wajahnya yang dipenuhi keriput seolah-olah bertambah 10 tahun lebih tua hanya dalam satu hari.

"Ma-maaf, ayah—"

"Diem kamu! Kamu bukan anak saya lagi! Saya udah muak sama kelakuan kamu!"

Olivia tersentak. Bola-bola air mata mulai terbentuk saat ia menatap pria yang dipanggil ayahnya. Di saat yang bersamaan, amarah terpendam yang selama ini ditahan oleh Olivia mulai menguak keluar.

"Emang lo aja yang muak?! Gwe juga udah muak! Tiap hari kalian berdua berantem terus. Emang kalian pernah perhatian sama gwe?! Enggak, 'kan?!" seru Olivia ke wajah ayahnya.

"K-kamu—"

Melihat wajah ayahnya yang membiru, Olivia malah memberikan tantangan. "Apa?! Mau pukul?! Sini! Pukul sepuasnya! Biar semua orang tahu seberapa busuk kelakuan lo kalo di rumah!" kata Olivia sambil menunjuk pipi kanannya, tempat yang paling sering menerima bekas tangan ayahnya.

"..."

Keributan di antara orang tua dan anak hampir menarik perhatian kerumunan para siswa. Untungnya ada guru yang tahu situasinya dan langsung membubarkan mereka.

Di antara murid-murid yang dibubarkan, Rendra tenggelam ke dalam pikirannya. Dia punya banyak sekali pertanyaan. Namun, entah dia akan mendapatkan jawabannya tidak ada yang tahu.

"Juan," panggil seseorang sambil menepuk lembut rambut Rendra.

Mengenali suara yang memanggilnya, Rendra menoleh ke belakang. "Bunda..."

Wanita dengan paras lembut bak bunga kamboja yang bermahkotakan rambut kecokelatan tersenyum kepada putra semata wayangnya. Fransiska Plumaria, nama wanita itu.

Sambil mengacak-acak rambut Rendra, dia berkata dengan suara lembut, "Nanti kita pulang sambil jemput ayah, yuk? Abis itu kita mampir ke gramedia bertiga."

Bukannya menjawab, Rendra tanpa sadar menanyakan sesuatu yang mengganggu pikirannya, "Bunda gak marah?"

Ada jeda beberapa saat sebelum Fransiska menjawab, yang membuat Rendra merasa resah. Namun bertentangan dengan harapan Rendra, Fransiska malah tersenyum seolah-olah melihat hal yang mengemaskan.

"Kenapa bunda harus marah? Emang Juan salah apa? Kalau itu tentang video Olivia yang kamu ambil, malah bunda ingin muji kamu. Kamu hebat bisa mencegah tindakan dzalim yang mau dilakukan oleh teman kamu," tutur Fransiska.

Rendra benar-benar dibuat terkejut. Reaksi Fransiska sama sekali berada di luar prediksinya. Padahal, dia sudah siap jika harus dimarahi atau dihukum...

Karena pernyataan Fransiska yang ingin memuji Rendra, berbagai pertanyaan yang ada di kepala Rendra mulai bertambah. Seperti, 'Apa yang membuat perbuatanku benar padahal jelas-jelas aku merugikan Olivia?'

Tags:
#SometimesIForgor
#NoBetaWeDieLikeAutumnLeaves
#IWriteThisInsteadOfSleeping

True Nature [DROPPED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang