1. Angkat kepala, lihat angkasa

31.1K 2.8K 260
                                    

1. Angkat kepala, lihat angkasa












"Cheeeeerrrsssss!!!"

Gelas-gelas itu berdenting ketika permukaannya saling dipertemukan. Gemerlap lampu di atas kepala dan suara musik yang kencang memekakkan telinga, menambah semangat dari beberapa orang yang kini meneguk minuman di masing-masing gelas. Meliuk-liukkan tubuh, menggila hilang sadar, menjeritkan tawa, makin tenggelam dalam euforia pesta yang semakin malam semakin heboh saja.

Seorang gadis berjalan sempoyongan, memeluk botol yang nyaris kosong di dada sambil cekikikan. Sesekali berhenti sebab tubuhnya menubruk segala macam hal yang ia lewati. Bibirnya yang penuh menggerutu, matanya yang merah dan sipit makin menyipit saat coba melihat sekitar yang temaram. Si pemilik pesta, sang bintang acara. Salah satu kelab terbesar di pusat ibukota itu sudah ia bayar full malam ini. Merayakan peluncuran album terbarunya yang siang tadi mulai beredar di pasaran. Orang-orang bilang sudah pasti albumnya meledak lagi, tapi ia sendiri tak yakin demikian. Karena itu lah ia mengadakan pesta, sebagai bentuk pelarian agar tak terlalu stress di kamarnya. Lagi, mumpung manajernya yang bawel sedang sibuk bulan madu dengan suami barunya yang sialan.

"Ssshuuh, sshuuhh ... Jangan berisik, nanti Teresa marah," ia menepuk bahu --entah siapa-- dan mendekatkan telunjuk di bibir, merem melek sambil berkicau hilang sadar. Ia cengengesan lagi, melanjutkan langkah sambil menoleh kanan kiri, seperti kebiasaannya ke mana pun pergi.

Memastikan tak ada moncong kamera yang menakutkan di sini, tak ada wartawan jahat yang selalu menyulut emosinya dengan tanya menyebalkan di sekitar, dan tak ada pula kekhawatiran bahwa kelakuannya sekarang akan jadi berita esok hari.

Genawa hanya ingin bebas saat ini.

Memikirkan kata 'bebas' saja tubuhnya langsung ringan. Seolah ia bisa terbang sekarang juga hanya dengan membayangkan orang-orang tak lagi mencaritahu apa pun tentangnya.

"Beebaaasss," racaunya, melebarkan sebelah tangan sambil berputar. Ia baru menengadahkan kepala saat tiba-tiba, suara yang amat familiar mengusik ketenangan. Kening Nawa berkerut, menggumam kata 'huh?' dengan mata yang dipaksa terbuka, memerah mabuk lantas menoleh ke segala arah. Dikiranya ia berhalusinasi, tapi makin dilihat, sosok perempuan tinggi, kurus dan berkulit pucat itu makin dekat padanya. Dari kejauhan, matanya seperti laser merah yang siap mencacah habis tubuh Genawa saat itu juga. Padahal Genawa mabuk, tapi tetap saja ia ngeri.

"GENAWAAAAA!!!!!"

Ia nyaris menubruk jejeran botol di atas meja saat coba berlari, menghindar sejauh mungkin agar tidak mati. Tapi sial, tubuhnya terlalu banyak kemasukan alkohol hingga tak seimbang melangkah. Ia limbung, disusul bunyi ribut gelas-gelas yang pecah. Nawa meringis, belum sempat bangkit saat si setan di belakang menarik tubuhnya bangkit, mendelik dengan rahang mengetat, siap melumat Nawa sampai jadi bubur.

"Ehehe,"

"Bener-bener ya ni anak!" Perempuan itu berdecak sengak, tak lupa melayangkan toyoran di kepala sang artis sekaligus sahabat yang sudah tinggal seperempat kewarasannya. Mulutnya komat-kamit memaki, berteriak lantang sembari memapah tubuh Nawa berjalan ke luar. "MINGGIIIIIIIRRRRR!!!!" jeritnya, menyepaki orang-orang yang ia lewati tanpa takut. "MINGGIR ANAK ANJING, MINGGIIIIRRRR!!"

"Minggir-minggir, anak anjing. Minggiiir," tiru Nawa cengengesan, memeluk pinggang Tere sambil ketawa-tawa. "Ibu anjing maraaahh."

Jika ada lomba dengan kategori makhluk Tuhan paling sabar, tolong ingatkan Teresa untuk mendaftar. Barangkali ia bisa menang sebab track record-nya dalam mendampingi si gila bin sinting, Genawa Maestraloka selama empat tahun penuh tanpa kehilangan akalnya. Kalau tidak menang, Tere siap menjomplangkan kursi para juri. Pokoknya bagaimanapun caranya ia harus menang. Ia yakin ia adalah makhluk tersabar di bumi!

Di ujung nanti, mari jatuh hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang