Ayah tidak pernah menganggap kami anak. Sekalipun dalam pikiranku, aku tidak pernah memikirkan orang yang disebut 'ayah' itu menganggapku. Bahkan disaat terakhirnya ia tidak mengatakan apapun kecuali "jaga putraku"
Bukankah bodoh mengatakan hal tersebut didepan 6 putranya. Lalu ia mati dengan tenang. Sampai akhir putranya hanya satu orang. Si lemah tak berguna. Yah, aku tak peduli sih walau tak dianggap. Maksudku kami berenam tidak ada yang peduli. Karena kami dibesarkan sebagai alat bukan manusia.
Kulirik jauh ke suatu kamar yang penghuninya sedang bergelung dalam selimut. Ketukan dipintu menarik atensinya. Kepala bermahkotakan coklat gelap itu menyembul keluar dari dalam selimut. Mata merahnya memicing tajam pada pintu kamar. Tak lama masuklah seorang pemuda berpakaian butler dengan kereta makanan. Iris emas itu meredup melihat tingkah si manik merah yang mengintipnya dari sela-sela selimut.
Menyembunyikan tawanya dengan sopan, si butler melirik kearah jendela merasakan keberadaan seseorang dari balik dedaunan. Bibirnya membunyikan 'hoh' pelan sambil diam-diam menyeringai. Berpura-pura tak melihat kehadiranku dibalik jendela, butler mendekati ranjang tidur dengan secangkir teh hangat.
"Selamat pagi tuan muda, waktu untuk sarapan sudah tiba. Sebelum memulai sarapan, minumlah teh ini dulu untuk menghilangkan kantuk"ujar butler ramah.
Si manik merah menurunkan selimut yang menutupinya dan meraih cangkir teh tersebut. Merasakan rasa teh yang menenangkan, tubuhnya menjadi rileks sementara butler mulai menyusun sarapan.
Sarapan pagi itu tenang dengan manik merah yang menyelesaikan sarapannya dengan cepat.
Aku terus memperhatikannya. Dari mimik wajah, gelagat dan suara ku perhatikan dengan seksama. Karena dia targetku. Aku menyeringai merasa ini akan mudah namun detik berikutnya si emas menoleh kearahku dan menatap tajam. Aku mendengus akan insting tajamnya. Dia seperti tau saja apa yang kupikirkan.
Si manik merah berdiri. Sepertinya ia ingin membersihkan diri. Ku dengar butler itu akan membantunya namun ditolak dengan wajah yang agak bersemu. Ehmm... Apa dia malu?
Setelah si merah pergi, aku masuk kedalam kamar. Begitu masuk sebuah pisau buah melayang kearah ku yang untungnya bisa ku hindari. Ku tatap tajam si pelaku pelemparan.
"Begitukah caramu menyambutku Gem?" marahku.
Ia mendengus. Sifatnya langsung berubah dari ramah menjadi dingin. "Kurasa jika kau tidak memandang Halilintar dengan niat membunuh seperti itu aku akan lebih ramah" ujarnya. Aku mendengus mendengarnya.
"Katakan Gem, kenapa kau melayaninya sebagai butler pribadi? Apa karena dia 'putra' yang diakui ayah?" Tanyaku.
Gempa membuang muka. Aku agak kesal dengan sikapnya. Bukankah dia alat yang terlalu penurut. Orang yang disebut ayah itu saja sudah mati membusuk didalam tanah. Sebelum Gempa membuka suara, pintu kamar mandi terbuka memperlihatkan sosok si manik merah. Ia menatapku dan Gempa. Gempa membungkuk hormat.
"Anda sudah selesai mandi tuan muda, akan saya siapkan pakaian untuk anda" ujar Gempa berlalu pergi keruangan sebelah untuk mengambil pakaian si manik merah.
Melihat Gempa pergi, atensinya beralih padaku. Ia mengangkat dagu keatas. Perbedaan tinggi kami membuatku terpaksa agak menunduk. Kulihat dahinya mengerut. Kurasa ia juga tidak suka perbedaan tinggi badan kami yang terlalu jauh. Seperti orang dewasa dengan anak kecil. Ku mengalah dan merendahkan sedikit tubuhku. Ia tersenyum puas membuatku mendengus pelan. Hampir kupanggil dia pendek.
"Siapa namamu?" Pertanyaan terdengar seperti nada memerintah. Rupanya bocah ini arogan juga. Aku sedikit menyeringai
"Taufan" ujarku.
Kulihat tidak ada reaksi yang berarti dari wajahnya. Ia hanya memandangi wajahku saja.
"Sama seperti butler.."gumamnya pelan.
Huh, apa maksudnya wajahku mirip ya memang. Walau sepertinya ia tidak sadar kalau wajahnya juga mirip walau dominan chubby.
Aku tidak menyombongkan atau apa, tapi memang wajahku itu tampan. Kulitku eksotis tapi cenderung tidak gelap, rahang tegas, pipi tirus, hidung mancung, mata sapphire, tubuh dengan roti sobek sempurna, dan tinggi. Perempuan manapun yang melihatnya selalu tergila-gila padaku. Apalagi kamu yang lagi baca hihi.Intinya aku dan saudaraku yang lain adalah gepeng impian.
Berbeda dengan manik merah didepanku ini. Ia pendek, tubuhnya tanpa otot, pipinya chubby, mata merah rubynya besar namun tajam, kulitnya putih berbeda dengan aku maupun saudaraku yang lain. Sepertinya ia tidak dibesarkan sebagai alat melihat bagaimana tingkahnya.
Gempa kembali dengan satu set pakaian. Bocah ini melirikku dan mengusirku pergi seolah aku orang mesum yang akan mengintipi seorang gadis. Itu tidak adil karena Gempa bahkan tidak diusir. Aku jadi mulai mencurigai Gempa.
Yah, bodo amatlah. Kuputar langkahku meninggalkan kawasan rumah tersebut. Tempat dimana boneka cantik ayah dikurung. Aku hanya menyeringai merasa bahwa ini hari yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coppelion
Teen FictionAyah tidak pernah menganggap kami anak. Sekalipun dalam pikiranku, aku tidak pernah memikirkan orang yang disebut 'ayah' itu menganggapku. Bahkan disaat terakhirnya ia tidak mengatakan apapun kecuali "jaga putraku" Bukankah bodoh mengatakan hal ters...